Kamis, 30 November 2017

Keserakahan dan Kebenaran



Keserakahan itu memiliki dampak mental-spiritual yang sama dengan passion, minat atau obsesi yang kuat, membuat kita akhirnya dibanjiri energi, "penglihatan", "pembimbing" dan "pengawal", "kesadaran" untuk mencapai apapun tujuan kita, apapun yang kita serakahi.


Sayangnya, keserakahan itu mengumpulkan  energinya dari "merampok" energi yang biasa kita gunakan untuk berbuat adil, jujur, baik, benar, lurus, pintar, bermoral, berbelas kasih. Dia harus dihidupi dari pengabaian terhadap itu semua, dari penyikapan-penilaian-penganggapan tidak penting hal-hal di luar apa yang kita serakahi. Jika kita serakah terhadap harta, hanya informasi yang menuju didapatnya harta itu yang akan dengan mudah "terlihat", tidak peduli informasi itu masuk akal atau tidak, benar atau salah, merugikan atau tidak bagi diri dan orang lain.


Akibatnya, sulit bagi siapapun yang gagal mengendalikan keserakahannya untuk tidak jatuh menjadi egois, bodoh, sesat, jahat, pragmatis, oportunis, fasis, rasis, seksis hingga bahkan teroris. Mereka dalam status "mabuk parsial", kesulitan menilai-mengukur secara adil dan obyektif apapun yang terkait dengan hal-hal yang diserakahinya, mudah tersesatkan. Bahkan Tuhanpun akan kalah jika berhadapan dengan orang serakah, akan dengan mudah diperbudaknya, akan hanya dijadikan pemoles agar keserakahannya menjadi tampak dan dirasakan suci.


Keserakahan jelas bukan hanya perkara harta, tahta atau wanita, tapi juga meliputi perkara pikiran, perasaan, prasangka, harapan, angan-angan. Pikiran, perasaan, prasangka, angan-angan berlebihan kalau kita benar, ada di jalan Tuhan, diberkahi, dirahmati, akan masuk surga, itu sama merusaknya dengan keserakahan berlebihan terhadap harta, tahta atau wanita, akan membuat apapun yang tidak mengarah pada diraihnya pikiran, perasaan, harapan, angan-angan kalau kita benar, ada di jalan Tuhan, diberkahi, dirahmati, akan masuk surga, diabaikan termasuk kebenaran-kebaikan hakiki.


Esensi agama adalah sarana pengendalian terhadap keserakahan. Jika agama tidak tidak mampu membuat keserakahan pemercayanya terkendali, agama akan gagal membawa pemercayanya pada jalan lurus, sudah tidak layak lagi disebut agama. Sayangnya, banyak orang relijius sekarang  justru menunjukkan gejala makin serakah, ini adalah musibah tapi dikira berkah, orang menjadi tersesat dan tergelapkan justru di tempat yang harusnya terbimbing dan tercerahkan...

Rabu, 29 November 2017

Candu Prasangka



Dulu, di perguruan saya, pada suatu malam, pernah diadakan meditasi bersama di suatu tempat yang dianggap angker. Setelah beberapa jam meditasi, kemudian satu persatu murid ditanya apa yang mereka lihat. Jawabannya beragam, ada yang mengaku melihat anak kecil lewat di depan mereka, ada yang mengaku melihat ular besar dan ada pula yang mengaku tidak melihat apa-apa termasuk saya.


Karena niat saya "ngaji" adalah untuk melihat hal-hal ghaib, tentu saya jadi kecewa, saya merasa tak berbakat, tidak ada gunanya saya membuang-buang waktu dan tenaga untuk sesuatu yang bukan tempat terbaik saya. Tapi kemudian guru saya menjelaskan, justru yang tidak melihat apa-apalah yang berbakat untuk mendapat pengetahuan yang lebih tinggi..., tempat ini tidak ada apa-apanya, prasangka mereka yang mengaku melihat apa-apalah yang kemudian memicu halusinasi mereka kalau tempat ini ada apa-apanya.


Kalau kita ingin melihat betapa bahayanya prasangka, belajarlah mistik atau spiritualitas. Di situ akan terlihat jelas dampak langsung dari prasangka yaitu ilusi, delusi hingga halusinasi. Jika kita berprasangka suatu tempat dihuni hantu, hantulah yang akhirnya akan muncul saat kita bermeditasi di situ, bukan hantu betulan tapi hanya hantu angan-angan. Jika kita berprasangka Yahudi, Asing, Aseng, Syiah, Jokowi dan lain sebagainya sebagai biang segala masalah, hanya informasi yang akan mendukung prasangka kita itu juga yang akan tampak-menghampiri hidup kita..., yang akhirnya memicu ilusi, delusi dan halusinasi kalau Yahudi, Asing, Aseng, Syiah, Jokowi dan lain sebagainya adalah betul biang segala masalah.


Menahan diri untuk tidak berprasangka itu memiliki dampak yang sama dengan menahan diri untuk tidak makan, menahan diri untuk tidak berbicara atau menahan diri untuk tidak tidur..., itu adalah salah satu bentuk "tapa brata" yang berujung pada dicapainya kesadaran-pengetahuan..., berujung pada terhindarnya kita dari kejahilan dan kezaliman.


Menahan diri untuk tidak berprasangka harusnya menjadi standar utama perilaku orang-orang relijius. Sebab tanpa itu, kita sejatinya sedang menutup diri dari mendapat pengetahuan yang asli, yang benar, yang nyata..., kita akan terus terjerumus pada pengetahuan semu, kejahilan, klenik, tahayyul, ilusi, delusi atau halusinasi yang memundurkan, menyesatkan dan menzalimkan.


Sayangnya, sekarang terbalik, justru orang-orang relijiuslah yang paling sering berprasangka hingga bahkan menganggap itu bagian dari ibadah atau aqidah. Sungguh tragis, di satu sisi, mereka gemar mengklaim sebagai pemilik pengetahuan atau kebenaran tapi di sisi lain, jalan-jalan menuju didapatnya pengetahuan dan kebenaran itu justru ditutupnya rapat.


Ikhlas mengakui ketidaktahuan hanya perlu mengorbankan sedikit ego kita, tapi dengan itu kita telah membuka pintu-pintu pengetahuan tanpa batas. Membiarkan ketidaktahuan berkembang menjadi prasangka adalah cermin gagalnya kita mengendalikan ego kita, kegagalan yang kelihatannya menguntungkan dan menyenangkan tapi menjerumuskan...

Senin, 27 November 2017

Yang Beragama, yang Mengendalikan Ego



Istikharah kita tidak akan pernah bisa membawa kita pada petunjuk jodoh terbaik jika sedari awal kita sudah memendam obsesi, prasangka atau gambaran akan bagaimana jodoh yang kita anggap terbaik itu. Jika sedari awal kita terobsesi pada kecantikan atau kekayaan, kecantikan atau kekayaan jugalah ilham-petunjuk yang akhirnya kita dapatkan, bukan yang terbaik.


Kenyataan sama terjadi saat kita istikharah untuk memilih partai atau pemimpin, kalau sedari awal kita sudah terobsesi pada relijiusitas, pada ideologi tertentu, pada penampilan, wibawa atau kegagahan, tidak mungkin kita akan bisa mendapat petunjuk partai atau pemimpin terbaik dalam istikharah kita..., obsesi kita itulah yang akhirnya akan mengambil alih, menyamar sebagai Tuhan-kebenaran, memberi kita petunjuk yang salah.


Selama kita tidak mampu mengendalikan hasrat-hasrat ragawi-duniawi kita, ego-hawa nafsu kita, jangankan akal atau tingkat pendidikan kita, agama atau spiritualitaspun tetap takkan mampu membawa kita pada pemahaman atas hakikat kebenaran. Sekhusuk apapun ritual, doa atau ibadah kita, seheroik apapun perjuangan kita demi agama atau Tuhan, hanya akan sampai pada ilham-petunjuk bagaimana memenuhi hasrat-hasrat ragawi-duniawi, ego-hawa nafsu kita itu..., kebenaran hanya akan menjadi mimpi, angan-angan, delusi.


Memang, terpenuhinya hasrat-hasrat ragawi-duniawi, ego-hawa nafsu kita itu akan terasa sangat menguntungkan dan menyenangkan, akan tampak sebagai berkah atau rahmat, bukti benarnya jalan atau agama yang kita ikuti. Tapi itu sebenarnya hanya godaan, tipuan dan jebakan yang menjerumuskan, yang akan menjauhkan kita dari niat awal kita beragama-berspiritual yaitu dipahaminya hakikat kebenaran. Jika kita terpaku pada itu semua, merasa telah benar hanya karena beruntung, diberkahi, telah kaya, berkuasa atau beristri lima, terpaku juga sebenarnya kemampuan kita memahami kebenaran, tidak akan berkembang lebih jauh. Jadi ingat teman saya, merasa dagangannya menjadi laris hanya karena setiap subuh menjelang membuka kios, dia selalu berdoa sambil menebar garam keliling pasar. Ironis, dagangan laris, rejeki lancarnya telah membuatnya jatuh dalam kebodohan dan kekonyolan tanpa ada banyak peluang untuk sadar.


Masalahnya sekarang, orang yang paling keras mengklaim kebenaran sering adalah orang yang justru paling tidak mampu mengendalikan hasrat-hasrat ragawi-duniawi, ego-hawa nafsunya..., mereka ibarat preman mengklaim baik hati, sikap-perilakunya sendiri sudah membantah keras apa yang diklaimnya itu...

Minggu, 26 November 2017

Bagong Dadi Guru



Bagong, panakawan atau pengiring Pandawa pada suatu hari menemukan pakaian kebesaran Batara Guru, raja kahyangan Suralaya di sebuah gua. Pakaian itu kemudian dikenakannya. Setelah dikenakan, mendadak dia berubah, tampak sebagai Batara Guru. Dewa-dewa kemudian menjadi hormat dan tunduk kepadanya, apapun perintahnya dituruti, gagal mengenalinya sebagai Bagong.


Tapi namanya juga Bagong, memakai pakaian kebesaran Batara Guru tidak otomatis membuatnya menjadi Batara Guru yang sesungguhnya, malah membuatnya menjadi tampak konyol, terlihat dari perkataan, ide dan perilaku-kebijakannya yang hanya sesuai seleranya sendiri. Dari mengadakan kontes kecantikan bidadari, menyuruh para bidadari memakai rok mini, mewajibkan dewa-dewa memakai blangkon sampai mengganti makanan dewa-dewa dari jambu nirmolo-pelem pertonggo jiwo dengan dawet, minuman kesukaannya. Setiap ada dewa yang protes atau mengkritisi kebijakannya, dia langsung memerintahkan Yamadipati untuk mencabut nyawanya. Bedanya apa dengan perilaku banyak "Ulama" sekarang?. Hanya dengan modal (sedikit) teks agama, jubah atau sorban, mereka merasa telah menjadi Ulama, masyarakatpun percaya. Mereka berkata-berfatwa sesukanya, kalau ada yang protes atau mengkritisi, langsung dihakiminya sesat, layak dihukum mati.


Memakai jubah Ulama, Pandita atau Brahmana tapi memiliki kesadaran hanya setingkat Sudra. Itulah fenomena "Bagong dadi Guru" yang marak terjadi di alam nyata sekarang. Orang yang harusnya dibimbing malah membimbing. Orang yang sebenarnya tidak tahu apa-apa akan apa-apa yang hakikat, yang baik dan yang benar, malah dijadikan panutan. Orang yang hidup masih hanya bisa mengikuti kebiasaan, tradisi, prasangka, naluri, ego-hawa nafsu, malah mengajarkan kesucian.


Ilmu-kesadaran itu tidak terletak pada teks-teks agama apalagi hanya pada pakaian kebesaran agama, itu hanya teori dan simbol dari ilmu. Merasa dan mengklaim menjadi-berkesadaran Ulama, Pandita atau Brahmana hanya karena telah mempelajari teks-teks agama apalagi hanya karena telah memakai pakaian kebesaran agama itu ibarat Bagong dadi Guru, kalau tidak menjadi lucu ya menyesatkan...

Sabtu, 25 November 2017

Hakikat Hijrah



Berhijrah dari satu agama, aliran agama atau cara beragama ke agama, aliran agama atau cara beragama yang lain tanpa diikuti hijrahnya kesadaran atau makrifat kita ke tingkat yang lebih tinggi itu seumpama kita lepas dari mulut harimau tapi kemudian jatuh ke mulut buaya, hakikatnya masih sama, belum kemana-mana, belum berhijrah, hanya berbeda bungkusnya saja, masih sama-sama tergigit dan terbelenggu.


Lucu sekaligus mengenaskan, banyak orang relijius sekarang merasa dan mengklaim sudah berhijrah tapi pemikiran-sikap-perilakunya malah menunjukkan tanda-tanda yang sebaliknya, sedang berbalik mundur ke belakang. Mereka justru menjadi semakin egois, keras, gemar berprasangka dan menghakimi, merasa baik, benar dan menang sendiri..., "wirid-tarikat-laku" yang jelas hanya akan mencegah mereka dari didapatnya pengetahuan akan jalan-jalan yang lurus, sebaliknya, mengembalikan mereka pada kegelapan, kejahilan, setan, kezaliman..., kebalikan dari hijrah. 


Jadi ingat dulu waktu masih menjadi orang relijius, perkara jenggot saja bisa memicu ribuan prasangka dan penghakiman, seolah jenggot adalah pengukur sempurna relijiusitas, moralitas bahkan aqidah. Yang tidak berjenggot berarti bukan "saudara" saya, tidak sepemahaman dengan saya, agama dan moralnya masih lemah, diragukan. Saya pikir dulu saya telah berhijrah, selangkah lebih dekat pada agama, Tuhan, kebenaran, tapi sekarang saya menyadari, saya hanya sedang tergelapkan "jargon" hijrah, berdelusi tentang hijrah. Akibatnya fatal, saya "bangkrut", berhijrah cuman semeter tapi kemudian memicu sepuluh meter berbalik mundur ke belakang..., selangkah mengikuti aturan atau syariat agama tapi kemudian memicu sepuluh langkah penurunan kesadaran...

Rabu, 22 November 2017

Konsekwensi Sembah



Memuja atau menyembah gunung akan membuat kita terhubung dengan gunung, berujung pada dipahaminya karakter gunung itu, membuat kita lebih bisa mengunduh berkahnya, menghindari bahayanya. Memuja atau menyembah leluhur, pahlawan atau orang suci, akan membuat kita terhubung dengan spirit-energi-memori leluhur, pahlawan atau orang suci itu, berujung pada didapatnya spirit-energi-memori cinta, pengetahuan, semangat atau pengayoman mereka. Memuja atau menyembah dewa-dewa akan membuat kita terhubung dengan dewa-dewa itu, berujung pada didapatnya berkah atau kekuatan dari dewa-dewa itu.


Pertanyaannya, bagaimana dampak akhirnya jika yang kita puja itu Tuhan yang maha esa? Itu ibarat kita menyembah "kertas kosong", bisa diisi apa saja atau bahkan tidak diisi apa-apa. Konsekwensinya, kalau beruntung, kita tidak sembarangan mengisinya, kita akan mencapai "kasunyatan", kekosongan, makrifat, persepsi tunggal akan hakikat kebenaran, pencerahan, tapi kalau gagal, kita sembarangan mengisi kertas kosong itu-mengisi hanya sesuai keinginan atau prasangka kita, hampir pasti, menyembah Tuhan yang maha esa hanya akan berujung pada kesesatan, penyembahan terhadap setan-ego-hawa nafsu kita sendiri.


Wajar saja, Tuhan yang esa sekalipun indah didengar-tampak sempurna tapi tidak punya obyek yang bisa dikenali-dideteksi langsung oleh indra dan kesadaran kita bagaimanapun khusuk penyembahan kita, paling hanya bisa dikenali kehendak atau hukum-hukum dasarnya. Agama Buddha tidak mengenal atau mengabaikan Tuhan itu wajar karena memang sosok Tuhan tidak bisa dijangkau-diamati, tidak seperti sosok leluhur, gunung atau dewa-dewa..., berarti Buddha telah memilih membiarkan "kertas kosongnya" tidak diisi apa-apa. 


Manakah agama-cara-obyek yang disembah yang benar...?. Agama adalah "laku-tarikat" memahami kehendak Tuhan-alam semesta-kebenaran, bukan Tuhan atau kebenaran itu sendiri. Mengimani atau mengklaim ada agama yang benar boleh-boleh saja, itu hak masing-masing, tapi kalau dipandang lebih dalam, semua agama bisa benar tapi juga bisa salah. Yang jelas, kalau "ditirakati" dengan benar, mungkin semua agama pada akhirnya akan membawa kita pada kebenaran...

Sabtu, 18 November 2017

Iman, Kebenaran dan Surga



Kekuatan iman, pikiran, prasangka, harapan, motivasi, sugesti, memang sanggup membuat kita menang duel melawan sepuluh orang, lelaki berbalik merasa sebagai wanita, wanita menyukai sesama wanita, pasir disabda jadi emas, orang sakit disentuh sembuh, memfitnah, menindas, menganiaya, membunuh dirasakan sebagai kesucian dan kenikmatan..., tapi apakah kekuatan iman, pikiran, prasangka, harapan, motivasi, sugesti itu sanggup mencegah satu sel saja di tubuh kita untuk tidak menua dan mati...?.


Tidak akan sanggup, nyatanya, kalaupun ada orang berhasil mencapai puncak iman-obsesi untuk hidup abadi, yang akhirnya menjadi abadi paling hanya sebatas spirit, ide, keinginan, kesadaran dan (dalam batas tertentu) struktur DNA, sifat-sifat genetiknya..., yang kemudian berpindah dari satu tubuh ke tubuh lainnya, dari satu generasi ke generasi berikutnya. Tidak ada keabadian (fisik) pada organisme multi seluler termasuk manusia.


Ada batas dimana kekuatan iman, pikiran, prasangka, harapan, motivasi, sugesti bisa digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan-keinginan kita, melampaui batas itu, kekuatan iman takkan berguna..., kita akan seumpama berdoa-berusaha membalikkan arah terbit matahari, sia-sia saja, kita sedang melawan takdir, sunatullah, kehendak-hukum-hukum dasar alam semesta, ngotot memaksakan diri hanya akan berujung pada hancurnya diri kita, rusaknya otak kita, kita menjadi tidak lagi mengenali arah, mengira timur sebagai barat..., sama seperti saat saya dulu terobsesi dengan wong KAE..., melihat istri orang lewat, tampak sebagai wong KAE, bikin malu aja, sudah kadung menyapa dan merayunya je, jebul dudu wong KAE... ^^


Sekarang banyak orang relijius begitu yakin hanya dengan iman bisa mengantarkan mereka pada semua keinginan mereka terutama keinginan akan kebenaran dan surga. Akibatnya tragis, keyakinan itu sering memicu perilaku yang sangat kontraproduktif terhadap terwujudnya obsesi-keinginan mereka itu, justru menjauhkan mereka dari kebenaran dan surga itu sendiri. Lihat saja, mereka mati-matian berusaha memanipulasi diri dan masyarakat agar tetap beriman termasuk dengan menggunakan cara-cara yang malah mematikan pemahaman atas jalan-jalan hakiki menuju kebenaran dan surga itu sendiri, melalui pembodohan, intimidasi, teror hingga hasutan pada keserakahan. Akibatnya pasti, persis seperti saya dulu gagal mengendalikan keyakinan-keinginan-obsesi untuk hidup bersama wong KAE, ilusi, delusi dan halusinasi beratlah yang terjadi.


Kebenaran dan surga itu seperti arah datang terbit matahari..., tidak akan bisa "dimanipulasi" melalui iman, hanya bisa dipahami-digapai melalui kesadaran, makrifat, pencerahan. Iman yang tidak berujung pada itu semua atau minimal, perilaku yang bersumber dari itu semua, hanya akan berujung pada ilusi, delusi akan kebenaran dan surga...

Kamis, 16 November 2017

Menghakimi, Menzalimi Diri



Apakah mungkin orang yang sedari kecil sudah didoktrin anjing itu najis, bisa bersikap ramah terhadap anjing...?. Tidak mungkin, bagaimanapun baik dan lucunya anjing, mereka akan memandang anjing sebagai setan atau monster mengerikan, dipandang dengan penuh kebencian, ketakutan, amarah, memicu fobia, paranoia dan trauma. Satu teman saya dulu, mendengar suara anjing dari jauh saja reflek langsung lari tunggang langgang bahkan naik pohon, sementara satu teman yang lainnya, langsung ingin membantainya.


Apakah mungkin orang yang sedari kecil sudah didoktrin kalau orang yang tidak seagama itu buruk, jahat, sesat atau salah bisa ikhlas bersikap ramah terhadap orang yang tidak seagama...?. Tidak mungkin, bagaimanapun ramah dan baiknya orang yang tidak seagama, akan dipandangnya dengan penuh kecurigaan, akan ada beribu alasan untuk tetap membencinya, menjauhinya, menzaliminya bahkan menganiayanya. Saya dulu, kalau pengin makan mangga tapi gak punya duwit, langsung melirik kebun mangga milik tetangga saya yang China, lalu dengan entengnya menghibur diri, "gak papalah nyolong mangga toh yang dicolong mangga milik China kafir".


Semakin banyak kita menumpuk atau memendam prasangka-penghakiman kalau orang lain itu buruk, jahat, sesat atau salah, semakin mungkin untuk akhirnya kita sendirilah yang jatuh dalam keburukan, kejahatan, kesesatan atau kesalahan. Tidak akan banyak gunanya kita berusaha menutupi-menetralisir itu dengan hanya sedikit "polesan".


Memendam prasangka-penghakiman kalau orang lain buruk, jahat, sesat atau salah itu sama dengan kita memendam kekesalan, kekecewaan atau amarah, mau tidak mau, suka tidak suka, pada akhirnya itu akan meledak menjadi tindak kekerasan atau amukan hanya dengan sedikit pemicu..., mau tidak mau, suka tidak suka, itu akan membunuh "makrifat" kita, melemahkan nalar, menutup hati, membuat kita kehilangan kemampuan menilai apa-apa yang benar dan maslahat.


Semakrifat-makrifatnya kita-manusia, hanya punya kapabilitas menilai buruk, jahat, sesat atau salahnya pandangan-perbuatan seseorang sebatas didasari pada merugikan tidaknya pandangan-perbuatan orang itu bagi diri-orang lain. Tidak perlu "kemaruk", mengambil hak dan wewenang yang bukan milik dan kapabilitas kita, mengumbar prasangka-penghakiman kalau orang lain buruk, jahat, sesat atau salah termasuk dengan dalih agama. Lebih baik belajar sadar diri, sesuatu yang kita tidak tahu pasti, diikhlaskan saja untuk sang maha benar dan tahu yang menghakimi-mengambil keputusan...

Antara Kebenaran dan Susu Kuda Liar


Mengimani susu kuda liar mampu menyembuhkan segala penyakit, memang betul (dalam batas tertentu) akan membuat iman-kepercayaan kita itu mewujud menjadi kenyataan, membuat apapun sakit kita, sembuh hanya dengan minum susu kuda liar.

Tapi mengimani kalau diri kita ada di jalan yang benar, jalan Tuhan, kecil kemungkinannya untuk bisa membawa hal yang sama, membuat iman-kepercayaaan kita mewujud menjadi kenyataan, membuat kita dipahamkan pada jalan yang benar, jalan Tuhan. Justru sebaliknya, itu adalah "wirid" bagi tertutupnya nalar dan hati kita..., dampaknya jelas, hanya akan mengantarkan kita pada DELUSI tentang jalan yang benar, jalan Tuhan atau bahkan, menjerumuskan kita pada jalan sesat, jalan setan. Kalaupun kita benar, itu hanya kebetulan, kebenaran spekulasi, tidak disadari.

Sekarang, banyak orang relijius-di satu sisi sangat keras dalam merasa, mengklaim dan berbicara jalan yang benar, jalan Tuhan, tapi di sisi lain, cara mereka mengimani agama-jalan kebenaran-jalan Tuhan itu persis seperti cara orang mengimani khasiat susu kuda liar..., tidak jauh beda dengan mereka yang mengimani klenik, jimat, dukun atau tahayyul..., hanya ditumbuhkan dari prasangka, sugesti, motivasi, afirmasi bahkan indoktrinasi..., cara yang mudah, indah dan dramatis memang, tapi jelas justru menjauhkan mereka dari kebenaran itu sendiri, sesuatu yang mereka obsesikan. Mereka merasa-mengklaim anti klenik, jimat, perdukunan dan tahayyul tapi hakikinya masih percaya dan memuja itu semua, masih membangun iman hanya dari angan-angan..., tanpa dasar, tanpa sadar, tanpa pengetahuan.

Susu kuda liar itu baiknya bukan hanya untuk diimani, tapi juga untuk diteliti. Sebab kesembuhan, "kebenaran" karena iman-kepercayaan-sugesti itu terbatas dan rapuh, tak bisa diandalkan, tak bisa dijadikan sandaran-patokan. Pun dengan (hakikat) kebenaran, harusnya untuk dibaca-dipahami dengan segenap sumber daya tinggi-non egoistik kemanusiaan kita, akal dan hati-nurani kita, kesadaran-pengetahuan lebih tinggi kita, bukan hanya sekedar diimani. Iman hanya untuk sesuatu yang tak bisa diukur, dijangkau, diketahui, diprediksi..., dan hanya untuk yang secara nyata mendatangkan maslahat-kebaikan, bukan iman yang memudaratkan, menjahilkan, menzalimkan, mengazabkan...

Rabu, 15 November 2017

Ironi Janji Surga


Janji surga (sebagai tempat mengumbar syahwat-hawa nafsu) itu sama dengan janji uang bisa digandakan, janji investasi berbunga fantastis atau janji daun sirsak 10 ribu kali lebih ampuh dari kemoterapi..., hanya berguna bagi orang bodoh dan atau orang egois-hedonis-serakah..., hanya efektif untuk mendorong orang melakukan atau tidak melakukan sesuatu, bukan mendorongnya memahami apa yang harus dilakukan-hakikat kebenaran..., hanya akan melemahkan kesadaran, membuat orang mudah terdoktrin, termanipulasi, terhipnotis untuk kemudian tereksploitasi.

Jika surga dan neraka tak pernah ada, masihkah kau bersujud menyembahnya...?. Tepat sekali kritik pedas kaum Sufi atas fenomena ibadah-beragama yang hanya didasari harapan akan surga ini. Justru pamrih dan ketertarikan-imajinasi berlebihan terhadap (kenikmatan) syurga menjadi penghalang terbesar kekhusukan kita beribadah, bersujud, berzikir, bermeditasi-menghening. Itu akan membuat pikiran kita meliar-sulit dikendalikan, terus merampok-membelenggu-mengunci ibadah-sujud-zikir-meditasi kita tetap sebatas sebagai amalan lahiriyah semata, tanpa mampu meningkatkan kesadaran-makrifat, tanpa bisa membawa kita pada petunjuk-pengetahuan.

Melakukan atau tidak melakukan sesuatu karena kita tahu-sadar konsekwensinya, tahu-sadar baik buruknya pada akhirnya akan menjadi yang lebih mudah, "murah" dan menentramkan, sama seperti saat kita berpegang pada dokter untuk menyembuhkan sakit kita atau berpegang pada saintis dalam memahami alam semesta ini...

Aku Tak Bisa Hidup Tanpamu...


Aku tak bisa hidup tanpamu..., darahku, nafasku, jiwaku telah kutambatkan kepadamu. Jangankan melihat kenyataan engkau pergi, membayangkan engkau pergi saja sudah membuat jantungku serasa berhenti berdetak, tubuhku mendingin dan melemas, ilang bebayune.

Hanya engkaulah yang sempurna..., yang setia, yang terindah, termanis, terbaik, tercinta, terpuja..., hanya engkaulah yang membuatku berani menghadapi dunia-membuat dadaku mengembang bak pahlawan, ototku mengeras bak Hercules, semangatku membaja bak Gajah Mada, otakku mencerdas bak Albert Einstein, pedeku melambung bak Tora Sudiro..., siap menghadapi siapapun yang mengganggumu, siap berbuat apapun demi kebahagian dan kemuliaanmu. Hanya engkaulah yang mampu mengisi seluruh pikiran, rencana, mimpi dan imajinasiku tentang masa depan, tanpa keraguan sedikitpun akan keterwujudannya.

Begitulah gambaran dramatis saat saya kedanan wong KAE, mengalami ilusi, delusi bahkan halusinasi berat, tak lagi mampu memandang dunia dengan adil dan obyektif..., semua dari dia tampak indah, matanya, bibirnya, senyumnya, tawanya, pipinya, pinggulnya, susunya, bicaranya, sedihnya, rajuknya, marahnya, tak ada yang cela, tampak sempurna, penuh pesona..., sementara di sisi lain, kelemahan, kekurangan dan bahkan kesalahan apapun dari dia, selalu ada beribu alasan, dalih dan alibi untuk menyangkal sekaligus memaklumi dan memaafkannya.  "Mabuk" yang indah memang pada awalnya, tapi nestapalah di penghujungnya..., benar memang yang kuyakini, tapi sesatlah yang sejatinya, kuat memang kelihatannya, tapi kerapuhanlah yang sebenarnya melanda.

Kenyataan sama terjadi saat saya mengalami ilusi, delusi dan halusinasi disebabkan agama, Tuhan, kebenaran, "mabuk" agama..., akibatnyapun sama, kejahilan, kezaliman, azab.

Ilusi, delusi dan halusinasi apapun pemicunya, seindah dan sesuci apapun dirasakannya, esensinya tetaplah sama, dia adalah candu, alkohol, narkotik..., tak lebih dari upaya ego-hawa nafsu kita mengumpulkan energi agar hasrat-hasratnya tergapai. Sayangnya, dia memberi itu tidaklah gratis, harus ditebus dengan lumpuhnya akal hingga bahkan matinya nurani kita.

Kalau ilusi, delusi dan halusinasi kita hanya disebabkan wanita, tentu dampaknya akan terbatas, tersadarnyapun mudah bahkan akhirnya itu akan pasti menjadi pelajaran sangat berharga..., menjadi masalah besar kalau ilusi, delusi dan halusinasi kita itu menyangkut agama, Tuhan atau kebenaran..., itu sama saja kita sedang membiarkan diri bertaruh untuk keseluruhan hidup dan martabat kita-masyarakat kita dengan harga hanya sebotol oplosan.

Sayangnya, sekarang banyak orang relijius dengan mudahnya merendahkan, meremehkan, mencibir mereka yang berilusi, berdelusi dan berhalusinasi disebabkan wanita tapi mereka sendiri sedang berilusi, berdelusi dan berhalusinasi disebabkan agama, Tuhan, kebenaran..., sesuatu yang jauh lebih beresiko dan berbahaya..., mereka ibarat merendahkan perokok sementara diri mereka sendiri penyabu...

Kamis, 09 November 2017

Kekuatan Dibalik Kegagalan


Kegagalan yang meruntuhkan keakuan itu masih lebih berharga dari kesuksesan yang meninggikannya.

Keakuan yang runtuh itu ibarat runtuhnya dinding rumah tempat harta karun tertimbun, terlihat sebagai musibah tapi hakikatnya anugrah, kehilangan yang sedikit untuk akhirnya mendapat banyak. Sebab karena itu, akan berarti terlihat dan didapatnya harta karun yang kita cari dan dambakan..., akan berarti terbukanya pintu hati kita, tempatnya kesadaran, pengetahuan, kekuatan lebih tinggi kita..., modal sangat berharga kita untuk bangkit, membangun kembali kekuatan, kehormatan dan kemuliaan kita.

Kegagalan yang terus disangkal-diingkari-tidak diakui itu ibarat kita hanyut dan tenggelam tapi menolak meminta tolong hanya karena kita merasa lebih pandai, kuat, benar, diberkahi, akan selamat tanpa harus meminta tolong. Penolakan yang akan pasti membuat kesadaran-pengetahuan-kekuatan lebih tinggi kita tidak terpanggil dan tergugah menolong kita, terus tertutup dan tertidur. Penolakan yang akan membuat kita-maksud hati ingin mendapat banyak, malah akhirnya tak mendapat apapun.

Sayangnya, banyak orang relijius sekarang, sudah jelas gagal tapi justru keakuannya menjadi semakin meninggi, mereka-bukannya berusaha mencari pemecahan di dalam dirinya sendiri, malah sibuk mencari kambing hitam di luar sana. Bukannya belajar menyadari-mengenali kelemahan dan kekuatan diri tapi malah terus memupuk prasangka akan keburukan dan kejahatan orang lain.

Jauh panggang dari api, mereka mengabaikan permata dalam dirinya hanya karena silau pada kilauan pecahan kaca di kejauhan...

Rabu, 08 November 2017

Mukjizat Bekerja dengan Cinta


Jikalau kau bekerja dengan rasa cinta, engkau menyatukan dirimu dengan dirimu.

Kau satukan dirimu dengan orang lain, dan sebaliknya..., serta kau dekatkan dirimu kepada Tuhan.

Dan apakah yang dinamakan bekerja dengan rasa cinta?.

Laksana menenun kain dengan benang yag ditarik dari jantungmu, seolah-olah kekasihmulah yang akan mengenakan kain itu.

Bagai membangun rumah dengan penuh kesayangan, seolah-olah kekasihmulah yang akan mendiaminya di masa depan.

Seperti menyebar benih dengan kemesraan, dan memungut panen dengan kegirangan, seolah-olah kekasihmulah yang akan makan buahnya kemudian.

(Khalil Gibran)

Teman-teman saya dulu (banyak yang sarjana tapi masih menganggur) sering meminta saya membimbing-mengajarinya cara beternak itik petelur dan ayam kampung sebagaimans profesi yang saya jalankan dulu. Sayangnya, walau sudah sekuat tenaga saya membimbing-mengajari sekaligus memotivasi, tidak ada satupun di antara mereka yang berhasil, kalau tidak menyerah karena kesulitan menangani beragam masalahnya ya menyerah karena merugi terus-terusan.

Mengapa itu bisa terjadi...?. Tiadanya cinta, passion, minat yang kuat..., mungkin mereka ingin beternak karena terpaksa saja, hanya profesi sela, batu loncatan sebelum mendapat pekerjaan yang sesuai dengan cita-cita atau ijazahnya. Keadaan yang membuat mereka, bagaimanapun pintar dan cerdasnya, masih hanya seumpama robot, anjing atau burung beo..., boleh saja sangat responsif, hebat dalam mencontoh, meniru apa yang (tampak) saya ajarkan tapi tidak akan bisa mencontoh spirit, jiwa, jantung, "wahyu-pulung" dari cara beternak itik dan ayam kampung. Padahal spirit, jiwa, jantung, wahyu-pulung itulah yang membuat kita akan terus dibanjiri petunjuk bagaimana memecahkan masalah, bagaimana berinovasi, bagaimana tetap eksis di tengah situasi yang sangat sulit-menantang.

Cinta, passion, minat yang kuat akan membuat "suket godong dadi rowang", membuat kita menjadi sangat efektif dan efisien dalam belajar dan menggapai sesuatu. Tugas utama seorang guru atau orang tua jelas, bukan hanya menyampaikan, mengajari apalagi mendoktrin melainkan mengarahkannya untuk memiliki cinta, passion, minat yang kuat utamanya pada ilmu, pengetahuan, kebaikan...

Minggu, 05 November 2017

Yang Sesat, yang Anti Hakikat


Sesat adalah saat kita gagal memahami sekaligus mengikuti apa kata kesadaran-pengetahuan lebih tinggi kita, jati diri kita, pamomong kita, makrifat kita, "Gusti" yang bersemayam di dalam diri kita. Apakah yang dikatakannya...?, apa-apa yang terbaik-termaslahat kecilnya bagi diri pribadi kita, keluarga kita, etnis kita, bangsa kita, besarnya bagi umat manusia-alam semesta secara keseluruhan.

Karenanya, sesat itu sangatlah fleksibel secara baju-syariat tapi sangat keras secara esensi-hakikat. Hari ini, di tempat ini, dalam kondisi ini, mungkin profesi berdagang bagi saya adalah profesi sesat, tapi besok, di tempat lain, dalam kondisi lain, mungkin justru sebaliknya, berdaganglah profesi paling lurus bagi saya. Pun demikian dalam perkara berbudaya, berideologi, berpolitik bahkan beragama, kesesatan itu sangat kontekstual-kondisional, apa yang baik-tidak sesat pada masa lalu belum tentu masih menjadi yang baik pada masa kini apalagi pada masa depan.

Ask yourself..., heningkan diri..., satu-satunya jalan agar kita konsisten untuk tidak sesat ya pahamilah yang esensi termasuk esensi apa yang sesat itu..., sebab yang esensi itu kuat dan pasti, tidak akan bisa dimanipulasi, dipoles atau dikamuflase dengan dalih dan dalil sekuat apapun, siapapun yang terjerumus di dalamnya, akan "terhukum" dengan sendirinya. Sebab itu sama saja sedang melawan kehendak alam-kehendak esensi Tuhan, sunatullah..., sama saja membendung sungai dengan tumpukan merang atau memaksa matahari agar terbit dari barat, sia-sia saja, sekuat apapun iman kita, tidak akan sanggup membantu-menolong kita...

Sabtu, 04 November 2017

Antara Relijiusitas dan Hedonitas


Agama adalah perkara pengendalian diri..., perkara pengendalian ego-hawa nafsu kita, kehendak "daging" kita. Sesaat sesudah kita gagal mengendalikan keinginan kita untuk kaya, berprasangka, berkuasa atau beristri "lima", saat itu juga kita sebenarnya sudah tidak relijius..., sudah akan sangat sulit mendapat berkah-manfaat hakiki dari agama yaitu keterbimbingan, pengayoman, keterhubungan dengan jati diri kita, kesadaran-pengetahuan lebih tinggi kita, Gusti yang bersemayam dalam diri kita.

Jangan berdalih bahkan termasuk dengan kitab suci..., kalau kita memang masih (sangat) ingin kaya, berprasangka, berkuasa atau beristri lima, konsekwen saja, lepas semua atribut agama, jangan lagi bicara tentang agama, tentang Tuhan atau tentang kebenaran..., jangan pula mengatasnamakan agama, Tuhan atau kebenaran untuk (bahkan) niat baik kita sebab kita sendiri sudah menutup jalan-jalan hakiki menuju pemahaman-keterhubungan dengan mereka semua. Kita tidak akan tahu apakah yang kita lakukan dan pengatas-namaan kita itu betul direstui-selaras dengan kehendak agama, Tuhan, hakikat kebenaran. Kita bicara tentang agama, Tuhan dan kebenaranpun hampir pasti cenderung hanya untuk mendukung terpenuhinya ego-hawa nafsu kita.

Energi emosional-spiritual kita itu ibarat sumur timba, jika ember yang satu naik, ember yang lainnya pasti akan turun, jika energi itu lebih kita manfaatkan untuk memenuhi ego-hawa nafsu kita, bagian yang untuk "Tuhan", kesadaran-makrifat kita otomatis pasti akan berkurang. Sekarang banyak bermunculan orang-orang "kreatif" yang berusaha menyatukan kehendak Tuhan dengan kehendak setan..., menutupi keserakahannya, ego-hawa nafsunya dengan agama-kesucian-Tuhan. Mereka berbohong, berprasangka buruk, menumpuk harta, berpolitik, berpoligami bahkan berperang katanya demi agama dan Tuhan. Mereka mengira itu akan menguntungkan dan menyelamatkannya, membuat dunianya sukses, akhiratnyapun tergapai padahal bisa jadi, akan membuat mereka gagal menggapai keduanya.

Jadi ingat bantahan teman debat saya dulu saat saya memintanya untuk sedikit menghormati Kyai (Ulama), dia mengatakan (kurang lebih), "kalau masih sama-sama doyan wanita dan duwit, gak perlulah dipandang lebih benar atau mulia". Dulu siech saya menuduh bantahannya ngawur, gak ada dasarnya..., tapi sekarang, saya mengakui bantahannya itu tepat. Nilai kemuliaan dan kebenaran kita memang bisa diukur dari sejauh mana pengendalian hasrat kita pada wanita, uang, kekuasaan, prasangka atau hal-hal egoistik-ragawi lainnya. Kalau itu masih tinggi, baju relijius menjadi tidak ada artinya, kita masih sama-sama seumpama anak bermain di bibir jurang di hadapan hakikat kebenaran, ringkih, rapuh, akan terpeleset jatuh dalam kesesatan hanya dengan sedikit bergerak dan pemicu.

Tidak (tampak) relijius bukanlah sesuatu yang hina sepanjang kita masih taat hukum dan nilai-nilai moral universal, tidak perlu kita takut akan status itu. Justru, keinginan untuk tampak dan disebut relijius tapi kita mengingkari semua konsekwensinya adalah kemunafikan-penipuan besar...