Jumat, 10 Maret 2017

Tak Mengerti, Tak Menghormati




Orang Jawa tradisional biasanya sangat suka memanggil apa dan siapapun dengan sebutan "Kyai". Orang yang dituakan atau dihormati, pusaka yang dikeramatkan hingga hewan yang ditakuti pasti akan dipangilnya "Kyai".


Sekilas adat ini bodoh-konyol, tidak masuk akal atau bahkan bertentangan dengan agama, dihukumi syirik, bid'ah, khurafat atau tahayyul. Tapi kalau kita pandang lebih dalam dan lebih hening sebenarnya tidak, justru sebaliknya, adat ini adalah cermin kecerdasan spiritual orang-orang tua kita yang mengawali-menciptakannya dulu.


Untuk setiap penghormatan yang kita beri pada apa dan siapapun akan berarti dilemahkannya satu ego kita, sesuatu yang akan memicu terbukanya satu "tirai" di hati kita. Terbukanya tirai hati akan berarti kesiapan kita menerima anugrah-petunjuk-kekuatan baik dari dalam diri kita sendiri maupun dari luar diri kita. 


Kita memanggil orang tua, alim, atau saleh dengan sebutan "Kyai" berarti kita menyiapkan diri untuk menerima karomah-barokahnya, menyelaraskan diri dengan spirit-batinnya. Kita menamai-menyebut sebuah pusaka dengan sebutan "Kyai" berarti kita sedang mewiridkan-menanamkan energi-spirit-khodam-kekuatan diri kita pada pusaka itu. Kita menyebut macan dengan sebutan "Kyai" berarti kita sedang memanggil petunjuk-kekuatan dari hati-alam bawah sadar kita sehingga pada akhirnya akan membuat kita lebih mampu mencegah bahaya dari hewan itu, kecilnya akan membuat kita terhindar dari berjumpa dengannya, besarnya akan membuatnya kehilangan kebuasannya jikapun kita berjumpa.


Sering ada hikmah besar dibalik adat, sebelum kita memahami hikmahnya itu, tidaklah elok untuk kita gegabah-membabi-buta menyerangnya, itu sama saja sedang menyerang-melemahkan diri kita sendiri...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar