Kamis, 23 Maret 2017

Di Manakah Tuhan?





Semua pencarian akan Tuhan yang esa akan berakhir di titik yang sama, hati kita, alam semesta ini. Saat doa kita dikabulkan, yang mengabulkan sejatinya adalah hati kita..., saat kita diberi berkah, rahmat, hidayah atau petunjuk, yang memberi berkah, rahmat, hidayah atau petunjuk itu adalah hati kita..., demikian juga saat kita diberi karomah atau mukjizat, yang memberipun sebenarnya tak lain adalah hati kita. Sementara alam semesta ini..., dialah "sumber" ayat-firman yang sebenarnya, untuk tiap sifat dan kehendak yang berhasil kita pahami, disitulah ayat-firmannya secara hakikat telah turun-tercetak-mewahyu.


Wajar kemudian akhirnya orang-orang Sufi-spiritualis akan memandang kalau Tuhan itu adanya di hati kita, alam semesta ini adalah "citra-cermin-ayat" Tuhan yang sebenarnya. "Manunggaling kawula lan Gusti" terjadi saat hati kita terhubung sepenuhnya dengan diri "sadar-raga" kita, menjadi "raja" atas diri keseluruhan kita, pencapaian yang membuat kita menjadi memahami sepenuhnya sifat dan kehendak hakiki alam semesta-kehendak hakiki Tuhan. Siapa yang memahami kehendak hati-alam semesta, dialah yang sebenarnya beriman-bertuhan, siapa yang menaatinya, dialah yang bertakwa.


Lalu bagaimana dengan posisi agama?. Agama adalah potret-pencerminan kehendak-ayat Tuhan-hati-alam semesta pada satu waktu, satu tempat dan satu situasi-kondisi. Karenanya, dia tidak mungkin bisa berlaku mutlak dan abadi..., tidak akan bisa mewakili sifat-kehendak Tuhan-alam semesta yang hidup, berubah dan berkembang. Memandangnya berlaku mutlak dan abadi sama saja sedang mengesampingkan Tuhan itu sendiri, sama saja sedang menyembah-menuhankan agama, bukan Tuhan. Agama yang tidak mampu membantu kita membuka hati, memahami sifat-kehendak alam semesta, sudah pasti salah atau dipahami dengan cara yang salah...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar