Malam jum'at, malamnya para demit-setan atau malamnya para malaikat-Tuhan?.
Tradisi penyikapan terhadap malam jum'at di Jawa mencerminkan betapa pemaknaan-kepercayaan yang kuat terhadap obyek apapun akan sanggup menciptakan "realitas" baru (sekalipun sering semu-delusional) lengkap dengan aura mistis-spiritual-kesyahduan yang melingkupinya. Obyek yang sama bisa dipersepsikan sangat berbeda bahkan bertolak belakang. Sebagian orang memandang malam jum'at sebagai malam yang angker, malamnya para demit, setan, hantu dan arwah bergentayangan. Sementara sebagian yang lainnya memandang malam jum'at sebagai malam penuh berkah, malamnya para malaikat, malam yang tepat untuk beribadah dan berdoa, mendekatkan diri pada Tuhan. Keduanya tentu sama-sama merasa-mengklaim persepsinyalah yang benar, wajar saja, itulah ujung pasti dari iman-kepercayaan yang terus ditanamkan, "mental block", akan terjadi penolakan terhadap apapun yang dianggap akan mengancamnya bahkan termasuk kebenaran hakiki.
Apa yang terjadi pada malam jum'at di Jawa ini sebenarnya sama dengan yang terjadi pada Tuhan pada hampir semua budaya dan agama. Sepanjang yang kita kedepankan saat berusaha menyikapi atau memahaminya (Tuhan) itu hanya dalil atau dogma, prasangka, pikiran, harapan, angan-angan, Tuhan tidak akan pernah bisa dipersepsikan sama..., akan merealitas-mewujud, bersifat, berbentuk, berkehendak sesuai ego atau selera-keinginan pemercayanya saja.
Semua malam hakikatnya sama termasuk malam jum'at, kitalah yang memberinya makna berbeda, demikian juga dengan Tuhan, hakikatnya sama-satu, ego-agamalah yang membuatnya tampak berbeda. Tauhid-pengesaan Tuhan tergapai saat kita tidak lagi memberi makna-gambaran atas Tuhan melainkan ikhlas menerima makna-gambaran yang diberikan-ditunjukkannya. Dan itu jelas, hanya terjadi jika kita bersedia mengheningkan diri, mengekang ego kita..., meluruhkan hasrat kita untuk memperbudak-menciptakan Tuhan...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar