Sabtu, 04 Maret 2017

Carilah yang Esensial, Bukan yang Seremonial




Ekstrimisme beragama selalu muncul dari ekstrimisme kejahilan-kebodohan atau ekstrimisme egoisme-hawa nafsu.


Kehendak alam semesta baik terhadap diri pribadi, masyarakat atau umat manusia secara keseluruhan itu kuat, otonom, berubah dan berkembang, tidak bisa dipaksa, dipenjara atau diframe oleh teks-teks atau ritual agama sesuci atau sebenar apapun. Pemaksaan, pemenjaraan, pemframe-an kehendak alam semesta itu seumpama kita berdoa memaksa matahari terbit dari barat, pada akhirnya hanya akan memicu delusi-halusinasi, merasa kalau matahari betul telah terbit dari barat padahal yang terjadi adalah telah terbaliknya persepsi otak kita, mengira timur sebagai barat.


Tugas suci keberagamaan kita adalah berusaha memahami-menghubungkan diri pribadi kita, masyarakat kita atau umat manusia secara keselurahan dengan kehendak alam semesta. Peran teks-ajaran atau praktek-ritual agama hanya sebagai alat-jalan, bukan fokus dan tujuan. Kita beribadah, berderma, berkurban, berpuasa, bertapa-brata, berzikir, berkomplasi itu tujuan akhirnya adalah agar ego dan indra kita bisa ditekan dan dikuasai. Ego dan indra kita yang terkuasai akan berarti berkuasanya akal dan hati, pintu pemaham-penghubung utama dengan arah-kehendak alam semesta-kehendak hakiki Tuhan, sang maha benar.


Kalau pemahaman atas teks-ajaran dan praktek-ritual agama tidak mampu memahamkan-menghubungkan kita dengan arah-kehendak alam semesta, secara esensi jelas, kita telah salah dalam memahami-menyikapi teks-ajaran dan praktek-ritual agama. Dan itu penyebabnya pasti, kita telah bodoh, salah tafsir dan salah fokus atau kita terlalu egois, terlalu melibatkan "rasa", prasangka, emosi-perasaan, hawa nafsu saat memahami agama...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar