Jumat, 31 Maret 2017

Dilema Agama




Ajaran agama Kristen atau Buddha saja yang sebenarnya minim kekerasan-sangat penuh "laku-tarikat" "spiritual-tasawuf", dalam sejarahnya terus terlibat dalam permusuhan, kekerasan dan peperangan, apalagi agama yang lain?.


Mengapa hal itu bisa terjadi?. Karena para pemeluk agama sebenarnya hanya sedikit saja yang menjadikan agamanya sebagai alat-sarana-alasan-metode untuk bertarikat, bertasawuf, bertapa-brata, upaya mengendalian ego-hawa nafsunya-tujuan hakiki agama. Sebaliknya, justru kebanyakan hanya menjadikan agamanya sebagai alat-sarana memenuhi-mengkamuflase ego-hawa nafsunya agar tampak dan dirasakan suci. Kebanyakan mereka memandang-menyikapi agama seperti halnya memandang-menyikapi harta, wanita atau tahta, menjadi simbol-ikon-representasi dari ego-hawa nafsunya. Akibatnya sama, semakin mendapat banyak malah semakin "melekat", semakin membuat "gila"..., semakin soleh, semakin relijius bukannya semakin "sadar" dan tercerahkan malah sebaliknya, semakin "mabuk" dan tergelapkan.


Agama di mata ego badaniah kita itu seumpama seorang gadis yang manis, penuh pesona, sangat menggoda. Di satu sisi memang akan memberi semangat dan gairah termasuk semangat dan gairah untuk menjadi baik, tapi di sisi lain, di tengah orang-orang yang berkesadaran rendah-yang memiliki akal dan hati yang lemah-tertutup, gadis manis akan sangat mudah memicu fitnah-keburukan, menjadi sumber kesalahpahaman, permusuhan, perpecahan, kekerasan bahkan pembunuhan. Saya saja yang termasuk kalem dan berhati-hati dalam perkara "gadis manis", kerap kali menghadapi masalah serius, diganggu, ditantang berkelahi bahkan pernah juga diancam mau dibunuh..., ironisnya, mereka yang melakukan itu selalu saja mengatasnamakan cinta, tidak ingin kehilangan orang yang sedang dicintainya, katanya..., pengalaman perlakuan buruk yang sama terjadi saat saya berurusan dengan "gadis manis" berujud agama.


Karenanya, sejatinya, tugas terpenting relijiusitas-spiritualitas kita bukanlah menebar "gadis manis", menjual-mendakwahkan agama, melainkan menaikkan "kesadaran" calon-calon peminang-pemeluknya. Gadis manis-agama yang "dikerubuti" orang-orang berkesadaran rendah, hampir pasti, yang mengerubuti akan semakin beringas dan egois, yang dikerubutipun akan segera "rusak", diperbudak dan dieksploitasi...

Rabu, 29 Maret 2017

Ketakutan dan Pencerahan




Pernah mendengar cerita ada orang sampai rela-berani tidur di kuburan demi mendapat wangsit nomer buntut yang akan keluar?.


Mengapa dunia mistik-spiritual dari aliran, budaya atau agama manapun hampir pasti akan selalu berisi "laku-ritual-tarikat" yang pada dasarnya adalah upaya perlawanan atas rasa takut seperti itu?.


Rasa takut bagi akal dan hati kita itu memiliki dampak seperti halnya rasa marah, cinta, benci, birahi serta kehendak raga-ego-pikiran lainnya..., menjadi penghalang utama bagi akal-hati kita dari memahami hakikat kebenaran-kebaikan. Keberhasilan kita menguasainya akan berarti keberhasilan kita menaikkan tingkat kecerdasan, kesadaran, pencerahan atau ma'rifat kita.


Saat kita dicekam ketakutan pada kuburan atau tempat lain yang dipandang angker atau berhantu, tapi kemudian kita berani melawan rasa takut itu..., berani melewati, duduk berdoa-bermeditasi atau bahkan tidur di atasnya, kita (dalam batas tertentu) akan tercerahkan. Wajar saja, akal dan hati kita pasti akan "tercambuk", "terpaksa" membuka demi mengatasi gejolak rasa takut yang mendera tubuh-indra-pikiran-ego kita itu. Terbukanya akal dan hati akan berarti terbukanya juga pintu kekuatan, pengetahuan dan kebijaksanaan. Orang yang berani tidur di kuburan atau tempat lain yang dipandang angker atau berhantu-bahkan jikapun motifnya mencari nomer buntut, dia sedang bertarikat, bertasawuf atau bermeditasi, pada akhirnya akan mengantarkannya pada kekuatan, pengetahuan dan kebijaksanaan. Mungkin saja dia tidak mendapat petunjuk nomer buntut yang akan keluar tapi pasti di kemudian hari akan lebih mudah mendapat petunjuk atas apa-apa yang baik bagi dirinya. Cukup banyak orang jaman dulu pergi nyantri dengan niat ingin sakti, menang judi, sukses mencuri dll tapi toh ujungnya sama, menjadi orang baik.


Masalahnya sekarang, banyak orang "soleh", pemuka agama, bukannya berusaha menyedikitkan-membatasi rasa takut umat malah justru sebaliknya, berusaha memperbanyak bahkan mendramatisirnya..., hendak menjadikan apapun sebagai obyek ketakutan..., Yahudi, Syiah, Cina, Komunis, Liberal, Demokrasi, Jin, Dajjal, Kuntilanak. Mereka boleh saja mengklaim melakukan itu atas nama agama atau Tuhan tapi hakikatnya jelas sebaliknya, atas nama setan-ego-hawa nafsu. Mereka sedang menjerumuskan umat ke jurang kelemahan, kebodohan, kegelapan, kesesatan dan kezaliman melalui penutupan-pembunuhan sumber-sumber daya utama kemanusiaannya, akal dan hatinya.


Orang mencari nomer buntut yang benar saja mau dan berani kok melawan ketakutannya terhadap hantu bernama gendruwo, kuntilanak, pocong..., mosok banyak di antara kita yang katanya sedang mencari Tuhan yang benar justru terus memelihara ketakutannya terhadap "hantu" bernama Yahudi, Syiah, Kristen, Kafir, Aseng, Asing, Komunis, Liberal dsb...?

Kekuatan Hati




Kucing seliar apapun kalau didekati dengan hati, sabar dan ikhlas membaikinya, rajin memberinya makan, membelainya lembut, dalam beberapa minggu saja akan mengkalem, akan tunduk, jatuh dalam pelukan, tidak lagi takut apalagi agresif terhadap kita.


Pun demikian dalam mengambil hati orang dengan tujuan apapun..., harta, tahta, wanita atau agama..., modal terbaik, terbesar dan termanusiawi tetaplah hati-keikhlasan, kesabaran dan kebaikan. Seandainya semua orang menyadari-memahami realitas itu sekaligus bersedia ikhlas menerapkannya, alangkah indahnya hidup ini..., persaingan dalam mengejar harta atau tahta, mengambil hati seorang wanita atau menyebarkan agama, benar-benar akan menjadi "fastabiqul khairat", kontes kebaikan.


Masalahnya, hanya orang yang kuat yang akan mampu menggunakan hati..., untuk bisa ikhlas, sabar dan baik itu perlu perjuangan-tarikat-wirid-afirmasi yang lama-tidak mudah..., bagi mereka yang egonya kelewat tinggi seperti halnya banyak orang-orang "relijius" sekarang, pasti tidak akan mau dan mampu menjalaninya..., mereka akan lebih memilih jalan pintas..., membodohi, menjebak, menipu, menyikut, mengintimidasi, memaksa hingga menteror saat berusaha mendapatkan apa yang mereka inginkan. Hati-keikhlasan, kesabaran atau kebaikan adalah bid'ah, tidak ada cukup dalil pendukungnya, begitu mungkin pikir mereka.


Jadi ingat satu teman saya dulu, kalau melihat-menginginkan kucing yang manis..., dia akan berusaha secara kasar menangkapnya, akibatnya, kalau dianya yang gak tergigit atau tercakar, kucingnya yang trauma, kabur, terluka atau bahkan mati..., cintanya pada kucing berakhir menjadi petaka hanya karena dia tidak mau dan mampu belajar sedikit ikhlas, sabar dan baik..., belajar memperlakukan orang dan makhluk lain dengan hati...

Senin, 27 Maret 2017

Agama : Antara Penyepian dan Peramaian




Wujud dari ritual-ibadah agama apapun pasti sama, kalau tidak penyepian atau pengheningan diri tentu peramaian, perayaan atau pensyukuran atas suatu anugrah.


Penyepian-pengheningan diri baik berujud "tapa nyepi", menyepikan-mengheningkan tubuh-indra-pikiran dalam segala bentuk dan ekspresinya : meditasi, zikir, i'tikaf, puasa, kezuhudan dan sebagainya ataupun "tapa ngrame", menyepikan ego-melatih empati-berbuat baik pada sesama dalam segala bentuk dan ekspresinya : mengasihi, memberi, menolong, menghormati dan sebagainya pada akhirnya akan membuat kita dipahamkan pada apa-apa yang secara hakikat benar dan baik, modal utama agar kita selalu terayomi, terberkahi dan terbimbing di jalan yang lurus. Sementara peramaian, perayaan atau pensyukuran dalam segala bentuk dan ekspresinya adalah "wirid-afirmasi" bagi nasib baik yang pada akhirnya akan membuat alam bawah sadar kita-hati kita, tempatnya petunjuk dan kekuatan "mencandu", berusaha mengulang atau bahkan melipatgandakan kebaikan-keberuntungan-kebahagian yang telah datang dalam hidup kita.


Benar-tidaknya agama atau pemahaman agama kita jelas bisa dilihat dari sejauh mana agama atau pemahaman agama kita itu memicu penyepian-pengheningan tubuh-indra-pikiran, pengendalian ego-hawa nafsu dan peramaian-perayaan-pensyukuran atas anugrah kebaikan-kebahagaiaan-keberuntungan kita. Agama atau pemahaman agama yang tidak memicu itu semua sudah pasti salah, semakin banyak memicu itu, semakin tinggi agama itu akan mampu membimbing pengikutnya ke jalan yang secara hakikat lurus.


Sekarang menyedihkan, atas nama pemurnian agama, banyak orang terbalik logika-pemahaman beragamanya..., justru menjadi semakin "ramai" tubuh-indra-pikiran-ego-hawa-nafsunya, sebaliknya, semakin "sepi" rasa syukurnya. Mereka mensesatkan tradisi penyepian-pengheningan diri seperti tasawuf atau meditasi, meremehkan tapa ngrame-berbuat baik pada sesama dan sulit sekali bersyukur atas suatu hal hanya karena dianggapnya masih banyak kekurangan. Ada orang berusaha mendekatkan diri pada Tuhan, dimusuhi..., ada orang mengumbar syahwat, fitnah, amarah, kebencian, keserakahan, dikiranya sedang beribadah..., ada orang syukuran ulang tahun, kehamilan, kelahiran dan sebagainya, katanya bid'ah..., negara sedamai ini dengan pemimpin begitu baik dan demokratis saja masih dicaci maki, disesatkan, dikafirkan..., bagaimana itu kemudian tidak memicu azab...?.

Minggu, 26 Maret 2017

Ego Kita, Aqidah Kita




Di mana tingkat ego kita diletakkan, di situ kemurnian tauhid atau aqidah kita terukur, makin rendah ego kita diletakkan, makin tidak murni tauhid kita. Yang pernah menjalani tradisi-praktek spiritual pasti memahami itu.


Sepanjang ego kita masih diletakkan di titik terendah, di diri pribadi kita, daging-fisik kita, syahwat kita, harta, wanita atau tahta..., kita bermeditasi atau menjalani tarekatpun, yang akan kita dapat hanya petunjuk-pengetahuan untuk mendapatkan itu semua..., dan petunjuk-pengetahuan itu tentu, sering akan sangat "liar", tidak peduli baik atau buruk, melanggar agama-hukum atau tidak. Orang Jawa jaman dulu kalau bertapa dengan maksud mencari kekayaan atau kekuasaan, biasa mendapat petunjuk untuk menumbalkan anak atau orang tuanya, darah 40 perawan hingga kepala 100 pandita/ulama, wajar saja, itulah "olah raga-penguji batin" terhebat, siapa yang kuat-mampu mengorbankan itu, secara batin akan kuat-mampu pula melakukan apa saja demi mendapat kekayaan atau kekuasaan..., lihat Nabi Ibrahim, petunjuk untuk mengorbankan putranya Ismail dan dilaksanakannya dengan sepenuh hati adalah cermin kuatnya ego-hasrat dia untuk dekat dengan Allah-menjadi Nabi sehingga ego dia akan diri-keluarganya sanggup diabaikannya..., atau lihat perilaku banyak politisi kita sekarang, sering berubah 180 derajatnya perilaku mereka, menjadi sangat egois-pragmatis-oportunisnya mereka, mengorbankan idealisme akan kerakyatan, demokrasi, kebangsaan, humanisme, toleransi, mencerminkan betapa kuatnya hasrat-ego mereka akan kekuasaan.


Sepanjang ego kita masih diletakkan di titik terendah, di diri pribadi kita-harta, tahta, wanita..., di keluarga kita, agama kita, etnis kita, ras kita..., tauhid murni itu hanya akan menjadi delusi, hanya akan merupakan proyeksi pikiran, prasangka, hawa nafsu kita saja...

Kamis, 23 Maret 2017

Di Manakah Tuhan?





Semua pencarian akan Tuhan yang esa akan berakhir di titik yang sama, hati kita, alam semesta ini. Saat doa kita dikabulkan, yang mengabulkan sejatinya adalah hati kita..., saat kita diberi berkah, rahmat, hidayah atau petunjuk, yang memberi berkah, rahmat, hidayah atau petunjuk itu adalah hati kita..., demikian juga saat kita diberi karomah atau mukjizat, yang memberipun sebenarnya tak lain adalah hati kita. Sementara alam semesta ini..., dialah "sumber" ayat-firman yang sebenarnya, untuk tiap sifat dan kehendak yang berhasil kita pahami, disitulah ayat-firmannya secara hakikat telah turun-tercetak-mewahyu.


Wajar kemudian akhirnya orang-orang Sufi-spiritualis akan memandang kalau Tuhan itu adanya di hati kita, alam semesta ini adalah "citra-cermin-ayat" Tuhan yang sebenarnya. "Manunggaling kawula lan Gusti" terjadi saat hati kita terhubung sepenuhnya dengan diri "sadar-raga" kita, menjadi "raja" atas diri keseluruhan kita, pencapaian yang membuat kita menjadi memahami sepenuhnya sifat dan kehendak hakiki alam semesta-kehendak hakiki Tuhan. Siapa yang memahami kehendak hati-alam semesta, dialah yang sebenarnya beriman-bertuhan, siapa yang menaatinya, dialah yang bertakwa.


Lalu bagaimana dengan posisi agama?. Agama adalah potret-pencerminan kehendak-ayat Tuhan-hati-alam semesta pada satu waktu, satu tempat dan satu situasi-kondisi. Karenanya, dia tidak mungkin bisa berlaku mutlak dan abadi..., tidak akan bisa mewakili sifat-kehendak Tuhan-alam semesta yang hidup, berubah dan berkembang. Memandangnya berlaku mutlak dan abadi sama saja sedang mengesampingkan Tuhan itu sendiri, sama saja sedang menyembah-menuhankan agama, bukan Tuhan. Agama yang tidak mampu membantu kita membuka hati, memahami sifat-kehendak alam semesta, sudah pasti salah atau dipahami dengan cara yang salah...

Kamis, 16 Maret 2017

Malam Jumat




Malam jum'at, malamnya para demit-setan atau malamnya para malaikat-Tuhan?.


Tradisi penyikapan terhadap malam jum'at di Jawa mencerminkan betapa pemaknaan-kepercayaan yang kuat terhadap obyek apapun akan sanggup menciptakan "realitas" baru (sekalipun sering semu-delusional) lengkap dengan aura mistis-spiritual-kesyahduan yang melingkupinya. Obyek yang sama bisa dipersepsikan sangat berbeda bahkan bertolak belakang. Sebagian orang memandang malam jum'at sebagai malam yang angker, malamnya para demit, setan, hantu dan arwah bergentayangan. Sementara sebagian yang lainnya memandang malam jum'at sebagai malam penuh berkah, malamnya para malaikat, malam yang tepat untuk beribadah dan berdoa, mendekatkan diri pada Tuhan. Keduanya tentu sama-sama merasa-mengklaim persepsinyalah yang benar, wajar saja, itulah ujung pasti dari iman-kepercayaan yang terus ditanamkan, "mental block", akan terjadi penolakan terhadap apapun yang dianggap akan mengancamnya bahkan termasuk kebenaran hakiki.


Apa yang terjadi pada malam jum'at di Jawa ini sebenarnya sama dengan yang terjadi pada Tuhan pada hampir semua budaya dan agama. Sepanjang yang kita kedepankan saat berusaha menyikapi atau memahaminya (Tuhan) itu hanya dalil atau dogma, prasangka, pikiran, harapan, angan-angan, Tuhan tidak akan pernah bisa dipersepsikan sama..., akan merealitas-mewujud, bersifat, berbentuk, berkehendak sesuai ego atau selera-keinginan pemercayanya saja.


Semua malam hakikatnya sama termasuk malam jum'at, kitalah yang memberinya makna berbeda, demikian juga dengan Tuhan, hakikatnya sama-satu, ego-agamalah yang membuatnya tampak berbeda. Tauhid-pengesaan Tuhan tergapai saat kita tidak lagi memberi makna-gambaran atas Tuhan melainkan ikhlas menerima makna-gambaran yang diberikan-ditunjukkannya. Dan itu jelas, hanya terjadi jika kita bersedia mengheningkan diri, mengekang ego kita..., meluruhkan hasrat kita untuk memperbudak-menciptakan Tuhan...

Selasa, 14 Maret 2017

Antara Primbon dan Agama




Primbon Betaljemur Adammakna itu akurat sekali dalam menganalisis karakter orang Jawa berdasar weton atau tanggal lahirnya. Pertanyaannya, apakah Betaljemur Adammakna akan akurat juga jika itu digunakan untuk menganalisis karakter orang Sumatra, katakanlah?. Saya yakin tidak atau paling tidak, berkurang keakuratannya. Betaljemur Adammakna disusun berdasarkan pengamatan lahir-batin pujangga-spiritualis Jawa atas karakter seseorang dikaitkan dengan waktu, tempat dan iklim-musim yang sedang terjadi saat lahir, mirip dengan fengshui di Cina. Konsekwensinya jelas, Betaljemur Adammakna akan semakin menurun-berkurang bahkan kehilangan keakuratannya saat menyikapi-menilai karakteristik orang non Jawa, orang yang lahir di tempat, waktu, iklim-musim yang berbeda.


Pun demikian sebenarnya dengan agama. Semua agama hakikatnya benar bahkan agama primitif yang menjadikan manusia sebagai ritual pengorbananpun benar asal ditempatkan pada konteks, waktu, tempat, situasi dan kondisi yang benar pula, yaitu yang sama persis dengan saat agama itu datang. Seiring berubahnya konteks, waktu, tempat, situasi dan kondisi, kebenaran-keakuratan agama dalam menyikapi, menganalisis, "menghukumi" pasti akan menurun, berkurang bahkan hilang sama sekali. Saat itulah agama mulai membutuhkan pembaharu, orang-orang yang menghubungkan teks-dalil-dogma agama yang mati dengan realitas terkini yang hidup, berubah dan berkembang. Yang jelas, pembaharu ini harus memiliki kualifikasi mendekati kualifikasi para pendiri agama terutama kualifikasi spiritualnya.


Radikalisme, fundamentalisme atau pemurnian agama sekalipun kelihatannya ada alasan pembenarnya tapi secara esensi sebenarnya tidak, itu justru bisa "membunuh" agama atau penganutnya..., akan mencerabut hubungan-keterikatan agama dengan realitas-situasi dan kondisi terkini-teraktual yang pasti membutuhkan penyikapan berbeda dari saat agama itu datang..., akan mencerabut hubungan antara manusia dengan dirinya sendiri-alam semesta-Tuhannya. Radikalisme pada akhirnya akan membuat agama kehilangan fungsinya sebagai pembawa kemaslahatan..., sesuatu yang tidak membawa maslahat akan ditinggalkan orang cepat atau lambat...

Senin, 13 Maret 2017

Jalan Hakiki menuju Kebenaran




Muslim jahat lebih baik dari kafir baik. Begitulah kurang lebihnya klaim-jargon-retorika yang diteriakkan banyak orang sekarang. Mungkin jargon itu ada dasar pembenar dalil-dogmanya, tapi secara esensi jelas tidak ada. Sebab kejahatan sendiri sudah menunjukkan kalau seseorang itu telah kafir, gagal memahami, mempercayai sekaligus mengikuti arah-kehendak-hukum dasar alam semesta yang hakikatnya adalah arah-kehendak-hukum dasar Tuhan. Sementara yang baik apapun agamanya, secara esensi dia telah beriman, hanya akan terlihat kafir di mata syariat-sebagian manusia.


Ajaran-ajaran kebaikan universal agama-yang mencerminkan-mewakili arah-kehendak-hukum dasar alam semesta seperti kasih, kejujuran, keramahan, kemurahan, keadilan, keikhlasan, kepasrahan, kezuhudan, pengheningan, kurban, puasa, prasangka baik dll itu tidak bisa diremehkan, diabaikan, direndahkan apalagi diharamkan dengan alasan apapun. Sebab itulah penentu berjalan ke arah yang lurus-tidaknya pemahaman-tafsir agama kita. Meremehkan, mengabaikan, merendahkan, mengharamkannya itu hakikatnya sama saja sedang menutup diri-membentengi akal-hati dari peluang mendapat pemahaman-pengetahuan yang lebih tinggi temasuk pemahaman-pengetahuan tentang kebenaran dan tauhid-pengesaan Tuhan, jantung-tujuan relijiusitas-spiritualitas. 


Sekarang banyak orang merasa-mengklaim dirinya paling benar atau paling bertauhid tapi jalan-tarikat menuju pemahaman terhadapnya justru seringkali diremehkan, diabaikan, direndahkan bahkan diharamkan, biasanya disebabkan motif-alasan-kepentingan politik atau karena pemahaman agama yang cenderung parsial, tekstual, fasis, simbolis atau egois. Akibatnya jelas, yang berteriak paling keras tentang kebenaran dan tauhid hampir pasti akan menjadi yang paling menjauh dari hakikat kebenaran dan tauhid, mereka hanya akan sampai pada kebenaran dan tauhid teori-bid'ah-tahayyul, kebenaran dan tauhid yang hanya dibentuk dari ego, pikiran dan prasangkanya sendiri...

Minggu, 12 Maret 2017

Hakikat Menyembah Berhala




Apa siech bedanya menyembah berhala dengan menyembah Tuhan yang esa?. Bedanya seperti antara wirid (mengafirmasikan, menguatkan) dengan zikir (memahamkan, menyadarkan).


Menyembah berhala hakikatnya adalah menyembah ego, keinginan atau hawa nafsu. Berhala itu diciptakan sesuai ego terbesar yang menguasai seseorang atau suatu masyarakat. Ketika ego terbesar seseorang atau suatu masyarakat adalah menang dalam peperangan, maka diciptakanlah dewa perang, biasanya diambil dari tokoh yang seumur hidupnya selalu menang dalam peperangan. Pun demikian jika yang dominan diinginkan adalah kekayaan, dewa kekayaanlah yang kemudian akan muncul dan dipuja. Dengan menyembah berhala, kita menyelaraskan diri dengan spirit dari sosok yang diberhalakan..., kita juga mewiridkan-mengafirmasikan, memasukkan spirit-energi dari ego dominan kita pada berhala itu untuk kemudian menyerapnya kembali saat itu dibutuhkan. Mengapa menyembah berhala dipandang buruk oleh agama Samawi/Abrahamik?, sederhana saja alasannya, sesuatu yang tumbuh dari ego cenderung akan melemahkan kesadaran-kemampuan memahami apa yang secara hakikat benar dan baik. Siapa yang bisa menjamin kalau berhala yang kita atau masyarakat puja adalah sosok yang betul baik-menyadarkan-mencerahkan?.


Sebaliknya, menyembah Tuhan yang esa hakikatnya adalah "menghinakan" ego atau hawa nafsu, berusaha ikhlas memahami sifat, arah dan kehendak hakiki Tuhan, tanpa prasangka, tanpa pamrih egoistik. Sebenarnya, pengesaan Tuhan adalah revolusi besar relijiusitas-spiritualitas yang pada akhirnya akan menyatukan persepsi seluruh umat beragama dan umat manusia akan Tuhan, tapi sayang sekali, dalam praktiknya, justru itu malah sering memicu kemunduran besar, hanya mengalihkan bentuk berhala, dari yang semula berwujud menjadi tidak berwujud. Bukan hanya itu, penghakiman buruk pengesa Tuhan terhadap penyembah berhala dalam sejarahnya selalu memicu penindasan dan kejahatan yang tak terperi.


Tanda orang sukses menyembah berhala adalah masuknya energi-memori-spirit atau khodam dari sang berhala. Efeknya, bisa membuat orang menjadi sangat baik dan sadar-ma'rifat-meningkat menjadi menyembah Tuhan yang esa, tapi bisa juga membuat orang menjadi sangat jahat dan bodoh, sesuai karakter berhala yang disembahnya saja. Sementara tanda orang yang berhasil menyembah Tuhan yang esa adalah melemahnya ego, menguatnya empati, mampu melaksanakan ajaran-ajaran mulia-universal agama seperti kesabaran, kezuhudan, keikhlasan-kepasrahan, kejujuran, toleransi. kemurahan hati, prasangka baik dsb.


Masalahnya sekarang, banyak orang yang dihakimi sedang menyembah berhala sering justru secara hakikat lebih dekat pada penyembahan terhadap Tuhan yang esa, sementara yang merasa-mengklaim sedang menyembah Tuhan yang esa, hakikatnya malah sedang menyembah berhala, hanya saja berhalanya diganti menjadi tidak berwujud, ego mereka sendiri...

Sabtu, 11 Maret 2017

Iman yang Sehat




Membangun iman melalui indoktrinasi, afirmasi atau cuci otak itu memiliki nilai yang sama dengan membangun motivasi dari jargon-retorika, membangun keberanian dari alkohol atau membangun cinta dari materi, rupa, hipnotis, sihir atau pelet. Boleh jadi dalam jangka pendek akan memberi kita limpahan energi-kekuatan tanpa batas, mengantarkan kita pada apa yang kita inginkan-harapkan, tapi dalam jangka panjang pasti tidak, justru energi-kekuatan kitalah yang akhirnya akan terkuras demi menjaga cinta yang hakikinya ringkih itu.


Membangun iman tanpa dasar-ditopang kebenaran hakiki itu seumpama kita sedang berusaha "menegakkan benang basah", sesuatu yang secara esensi tidak mungkin berhasil. Sama saja kita sedang memaksa orang untuk percaya kalau bumi ini datar, perlu upaya pembodohan-penipuan bahkan pemaksaan yang sangat intensif, luar biasa, terus-menerus bahkan keras. Wajar saja, karena yang sedang kita lawan-ingkari-tutup adalah nalar dan hati kita sendiri, kehendak dan hukum-hukum dasar alam semesta, sesuatu yang pasti kuat dan independen, tidak bisa dimanipulasi apalagi dikuasai manusia yang lemah dan fana, hanya bisa dipahami dan diikuti.


Iman tidak untuk diindoktrinasikan-diafirmasikan-dicuci-otakkan tapi untuk dicarikan dasar-alasan pendukung-pembenar hakikinya. Sebab hanya dengan itu iman akan memberkahi, merahmati, membimbing, menjaga hidup kita, bukan kita yang harus menjaganya, memberi kita energi, bukan kita yang harus memberinya energi, memahamkan kita pada kebenaran, bukan kita yang harus mendudukkannya sebagai kebenaran...

Yang Meluruhkan Ego, Membukakan Hati




Orang-orang tua kita dulu biasanya akan menasihati kita untuk tidak berfikir, berkata dan berbuat yang buruk-buruk saat kita sedang berada di tengah hutan, gunung, pantai atau di tempat suci/keramat/ibadah seperti saat kita mengunjungi masjid, makam, kota Mekah atau Madinah. Setiap pikiran, perkataan, perbuatan yang buruk konon katanya bisa langsung berefek-terwujud menjadi keburukan seketika itu juga.


Dulu siech, jiwa muda, rasional, modern, terpelajar, pembrontak ditambah jiwa relijius saya sama sekali tidak bisa memahami maksud dibalik nasihat itu karenanya saya menganggap-menyikapi nasihat orang tua ini sebagai angin lalu, tak kugubris, hanya nasehat orang cerewet, bodoh, kuno, kolot, ahlul bid'ah dan musyrikin yang tak bernilai, pikirku. Tapi sekarang, setelah melalui pergumulan, pengamatan dan pencarian melelahkan, saya mengerti hikmah besar dibalik nasihat itu.


Setiap tempat yang meluruhkan ego-hawa nafsu, indra kita..., tempat yang indah, mengagumkan, menakutkan, mensyahdukan, menenangkan, dihormati atau disucikan pasti akan menghubungkan kita dengan alam bawah sadar kita, "ladang" tempat membentuk siapa diri kita, tempat tumbuhnya nasib baik atau buruk kita. Apapun pikiran, perkataan dan perbuatan  yang kita paparkan di tempat-tempat itu akan bernilai sebagai wirid-doa makbul, diamini, ditumbuhkan-berusaha diwujudkan alam bawah sadar kita, alam semesta, pemilik sejati pengetahuan, kekuatan dan kekuasaan...

Jumat, 10 Maret 2017

Tak Mengerti, Tak Menghormati




Orang Jawa tradisional biasanya sangat suka memanggil apa dan siapapun dengan sebutan "Kyai". Orang yang dituakan atau dihormati, pusaka yang dikeramatkan hingga hewan yang ditakuti pasti akan dipangilnya "Kyai".


Sekilas adat ini bodoh-konyol, tidak masuk akal atau bahkan bertentangan dengan agama, dihukumi syirik, bid'ah, khurafat atau tahayyul. Tapi kalau kita pandang lebih dalam dan lebih hening sebenarnya tidak, justru sebaliknya, adat ini adalah cermin kecerdasan spiritual orang-orang tua kita yang mengawali-menciptakannya dulu.


Untuk setiap penghormatan yang kita beri pada apa dan siapapun akan berarti dilemahkannya satu ego kita, sesuatu yang akan memicu terbukanya satu "tirai" di hati kita. Terbukanya tirai hati akan berarti kesiapan kita menerima anugrah-petunjuk-kekuatan baik dari dalam diri kita sendiri maupun dari luar diri kita. 


Kita memanggil orang tua, alim, atau saleh dengan sebutan "Kyai" berarti kita menyiapkan diri untuk menerima karomah-barokahnya, menyelaraskan diri dengan spirit-batinnya. Kita menamai-menyebut sebuah pusaka dengan sebutan "Kyai" berarti kita sedang mewiridkan-menanamkan energi-spirit-khodam-kekuatan diri kita pada pusaka itu. Kita menyebut macan dengan sebutan "Kyai" berarti kita sedang memanggil petunjuk-kekuatan dari hati-alam bawah sadar kita sehingga pada akhirnya akan membuat kita lebih mampu mencegah bahaya dari hewan itu, kecilnya akan membuat kita terhindar dari berjumpa dengannya, besarnya akan membuatnya kehilangan kebuasannya jikapun kita berjumpa.


Sering ada hikmah besar dibalik adat, sebelum kita memahami hikmahnya itu, tidaklah elok untuk kita gegabah-membabi-buta menyerangnya, itu sama saja sedang menyerang-melemahkan diri kita sendiri...

Tempat Suci Paling Bertuah




Tempat suci fisik paling megah dan keramat di dunia ini adalah alam semesta ini. Selama kita masih mau dan mampu memahami-mengagumi kebesarannya, kesuciannya, keindahannya, arah dan kehendaknya, selama itu pula kita sejatinya sedang khusuk berzikir-bertasbih-bersujud-beribadah, mendekatkan diri pada yang maha pencipta. Karenanya wajar saja, para pecinta alam, naturalis, pengelana, spiritualis atau Sufi akan dengan mudah mencapai pencerahan. Kedekatan-pemahaman-kekaguman mereka pada alam semesta membuat ego-indra meluruh, membuat mereka mudah terselaras dengan hati-diri sejatinya-pamomongnya, tempatnya kebenaran, keberkahan, pengetahuan dan kekuatan.


Tempat suci non fisik paling "dihuni" Tuhan adalah hati kita. Selama kita masih mau dan mampu membukanya-memahami-membaca-mendengar petunjuk-petunjuknya, selama itu pula kita dalam arah-jalan pintas-terdekat menuju Tuhan. Karenanya jangan heran, orang yang selalu berusaha melibatkan hatinya dalam setiap perkataan, pemikiran dan perbuatannya terlepas apapun agamanya bahkan tidak beragama atau tidak bertuhan sekalipun akan diberkahi hidupnya, akan selalu mendapat bimbingan dan pengayoman Tuhan, terjaga kelurusan-kemaslahatan setiap perkataan dan perbuatannya.


Tidak perlu bersedih hati saat masjid, gereja atau kuil kita dirusak, bersedih hatilah saat kita tidak mampu menjadikan alam semesta ini sebagai masjid, gereja atau kuil. Tidak perlu marah atau takut kita dipandang salah atau sesat, selama kita masih mau mendengar kata hati kita, yang salah dan sesatpun pada akhirnya akan berbelok menuju kelurusan...

Selasa, 07 Maret 2017

Tujuan Hakiki Beragama




Salah satu "ciptaan-penemuan" terbesar manusia adalah agama-Tuhan. Boleh dikata, ini adalah salah satu item evolusi yang membuat manusia mampu menjadi "khalifah-penguasa" di bumi ini.


Dengan beragama-bertuhan berikut konsekwensi-aturan-ritual yang menyertainya, manusia berusaha memanggil kembali kekuatan-kekuatan hebat-mukjizatnya yang terpendam lama-tidak lagi dipakai akibat semakin minimnya tantangan hidup. Kekuatan-kekuatan itu ibarat oasis di tengan padang pasir atau sekoci penyelamat yang menjaga manusia tetap eksis pada keadaan tersulitnya.


Bagaimana keefektifan suatu agama-Tuhan yang kita ciptakan-pilih dalam memanggil kekuatan-mukjizat yang sudah terpendam lama itu, bisa dilihat dari sejauh mana agama-Tuhan itu mampu menciptakan sikap-perasaan pasrah, lemah dan bodoh-tidak tahu..., tergantung pada bagaimana agama-Tuhan mampu melemahkan ego-kesombongan kita.


Mengapa demikian?. Karena alam bawah sadar kita, hati kita-tempatnya kekuatan-mukjizat yang terpendam lama itu hanya akan terbuka-aktif-berfungsi jika keadaan dipandang sudah memaksa, jika dia "diberitahu" kalau kita sedang dalam keadaan lemah dan bodoh-tidak tahu, perlu bantuan-kekuatan-petunjuk-keselamatan segera.


Kalau dengan beragama-bertuhan malah membuat kita menjadi sombong, merasa kuat, pintar-tahu atau benar, kita justru sedang menolak-mengingkari tujuan-hakikat beragama-bertuhan itu sendiri, kita tidak akan mendapat manfaat esensial apapun dari agama-Tuhan..., agama-Tuhan tidak akan bisa menyelamatkan kita...

Sabtu, 04 Maret 2017

Carilah yang Esensial, Bukan yang Seremonial




Ekstrimisme beragama selalu muncul dari ekstrimisme kejahilan-kebodohan atau ekstrimisme egoisme-hawa nafsu.


Kehendak alam semesta baik terhadap diri pribadi, masyarakat atau umat manusia secara keseluruhan itu kuat, otonom, berubah dan berkembang, tidak bisa dipaksa, dipenjara atau diframe oleh teks-teks atau ritual agama sesuci atau sebenar apapun. Pemaksaan, pemenjaraan, pemframe-an kehendak alam semesta itu seumpama kita berdoa memaksa matahari terbit dari barat, pada akhirnya hanya akan memicu delusi-halusinasi, merasa kalau matahari betul telah terbit dari barat padahal yang terjadi adalah telah terbaliknya persepsi otak kita, mengira timur sebagai barat.


Tugas suci keberagamaan kita adalah berusaha memahami-menghubungkan diri pribadi kita, masyarakat kita atau umat manusia secara keselurahan dengan kehendak alam semesta. Peran teks-ajaran atau praktek-ritual agama hanya sebagai alat-jalan, bukan fokus dan tujuan. Kita beribadah, berderma, berkurban, berpuasa, bertapa-brata, berzikir, berkomplasi itu tujuan akhirnya adalah agar ego dan indra kita bisa ditekan dan dikuasai. Ego dan indra kita yang terkuasai akan berarti berkuasanya akal dan hati, pintu pemaham-penghubung utama dengan arah-kehendak alam semesta-kehendak hakiki Tuhan, sang maha benar.


Kalau pemahaman atas teks-ajaran dan praktek-ritual agama tidak mampu memahamkan-menghubungkan kita dengan arah-kehendak alam semesta, secara esensi jelas, kita telah salah dalam memahami-menyikapi teks-ajaran dan praktek-ritual agama. Dan itu penyebabnya pasti, kita telah bodoh, salah tafsir dan salah fokus atau kita terlalu egois, terlalu melibatkan "rasa", prasangka, emosi-perasaan, hawa nafsu saat memahami agama...