Sabtu, 25 Juni 2016

Beragama-Bertapa Brata, Sarana Kita Mengguncang "Kayangan"





Akibat terus-menerus diancam keselamatannya oleh Betari Durga melalui tangan suaminya, Betara Guru-penguasa kayangan Suralaya, Wisanggeni, putra Pandawa kemudian "gugat", dia melakukan pertapaan di sebuah hutan, menyamar menjadi seorang Pandita.


Khusuknya dia bertapa membuat Kayangan Suralaya guncang, mengalami prahara, "goro-goro", dewa-dewa kalang kabut. Betara Guru kemudian menyuruh anak buahnya, Kala, Yama, Brahma dkk turun ke dunia, mencari penyebab goro-goro itu. Setelah tahu ternyata yang menyebabkan goro-goro itu hanya seorang titah ngarcapada, dewa-dewa-tentu karena merasa kuat dan berkuasa, langsung ingin menghabisinya. Sayang sekali, mereka gagal, dewa-dewa kalah. Di akhir cerita, akhirnya Betara Guru mengakui kekeliruannya, dia kemudian mengabulkan gugatan Wisanggeni agar dia-Betara Guru dan Betari Durga berhenti mengancam keselamatan dia dan keluarganya-para Pandawa.


Sekilas cerita dalam pertunjukan wayang kulit purwa itu hanya sekualitas dongeng, penuh tahayyul, mengada-ada bahkan konyol. Tapi kalau kita perhatikan secara lebih mendalam, cerita itu jelas memiliki makna filosofis dan relijius-spiritual yang luar biasa, hampir pasti cerita itu disusun oleh orang yang memiliki kawruh tinggi, orang-orang ma'rifat-tercerahkan.


Beragama hakikatnya adalah bertapa brata, sarana kita menghubungkan diri-mengguncang kayangan, "memaksa" dewa-dewa untuk bersedia "adil" terhadap kita, menghidayahi kita, memberkahi kita, menganugrahi kita. Kayangan dan dewa-dewa itu sejatinya tidaklah berada di atas langit, di puncak gunung Himalaya atau di dasar laut selatan melainkan di kedalaman diri kita sendiri.


Sayang sekali, banyak orang beragama sekarang bukannya menjadikan agama sebagai sarana bertapa brata-melemahkan ego badaniahnya melainkan sebaliknya, menjadikannya sarana berangkara murka, dijadikannya alat memenuhi kehendak ego-badan-hawa nafsunya. Akibatnya bisa ditebak, agama bukannya menghubungkan kita dengan "kayangan", "dewa-dewa", Tuhan Yang Maha Esa malah sebaliknya, menjauhkannya, membuat agama tidak lagi mampu, memberkahi, menghidayahi, menganugrahi kita...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar