Rabu, 29 Juni 2016

Gendruwo, Agama dan Tuhan





Cukup kita bayangkan di depan kita ada gendruwo, jika kita mampu memfokuskan pikiran kita sepenuhnya, pada akhirnya di depan kita akan muncul sosok gendruwo betulan, tampak nyata, bisa dilihat semua orang, tapi gendruwo itu tidak akan lebih dari "virtual reality", sama seperti bayangan slide yang jatuh di sebuah layar bioskop. Gendruwo yang sebenarnya itu tidak pernah ada, itu hanya ilusi, halusinasi, hanya merupakan proyeksi pikiran-imajinasi kuat kita saja.


Pikiran (termasuk di dalamnya iman-kepercayaan, prasangka, harapan, khayalan) adalah alat terburuk memahami kebenaran, sayangnya, banyak orang hanya mengandalkan pikiran saat berusaha memahami agama dan Tuhan. Akibatnya fatal, sama seperti saat kita membayangkan ada gendruwo di depan kita. Bayangan itu perlahan berkembang menjadi delusi, kita merasa yakin di depan kita ada gendruwo padahal sejatinya tidak ada apa-apa. Selanjutnya berkembang menjadi halusinasi, kita melihat gendruwo betulan, tapi orang lain tidak bisa melihatnya, gendruwo itu hanya ada di otak kita saja. Sampai puncaknya kita bisa melihat gendruwo sebagaimana orang lain juga melihatnya, tapi sekali lagi, itu hanya gendruwo angan-angan, gendruwo ilusi, produk-proyeksi pikiran kuat kita.


Beragama kalau hanya mengandalkan pikiran, pakai "hidung" (jarene Gusdur) hanya akan mengantarkan kita pada kebenaran virtual-halusinatif-delusional, bukan kebenaran yang hakiki, sama seperti saat kita melihat sosok gendruwo di depan kita, muncul akibat kuat dan fokusnya pikiran kita, bukan akibat dari pemahaman, "penglihatan" sebenarnya kita atas adanya gendruwo itu.


Delusi-halusinasi-virtual reality adalah tipu daya ego-hawa nafsu-setan yang sebenarnya, dia sering "menggoda" orang-orang yang justru sangat relijius, sangat anti setan. Hampir pasti para teroris itu mau melakukan perbuatan sekeji itu hingga bahkan rela bunuh diri disebabkan kuatnya mereka berdelusi-berhalusinasi-bervirtual reality kalau di syurga sana sudah ada 72 bidadari yang montok-montok melambaikan tangan, tersenyum genit sambil mengerlingkan mata, mengajak mereka untuk segera mendatangi dan "menjamah"nya. Pikiran yang tak terkendali, mengantarkan mereka-para teroris itu pada kesia-siaan dan kebinasaan...

Senin, 27 Juni 2016

Pembatasan Membawa "Kesadaran"





Seorang teman wanita saya, makan mie kalau belum dikasih minimal 20 buah cabe rawit katanya belum terasa enak. Sementara teman kost saya dulu (cowok) lebih gila lagi, makan cabe rawit sudah seperti makan ciplukan, kletas-kletus santai tanpa ekspresi, tanpa rasa takut apalagi "bersalah". Padahal saya makan mie dikasih 4 cabe aja udah mangap-mangap kepedasan godres banjir keringat. Kedua teman saya itu cerita, dulu mereka juga seperti saya, tapi setelah dibiasakan dan ditambah dosisnya sedikit demi sedikit, pedasnya cabe menjadi sulit dirasakan lagi.


Hawa nafsu itu sama dengan cabe, alkohol atau narkotik, semakin diperturutkan akan semakin mencandu, semakin meminta dosis lebih, semakin membunuh "urat" kesenangan kita hingga akhirnya bahkan membunuh kita. Jadi, bohong saja kalau ada orang mengatakan poligami bisa mencegah perzinahan atau pemerkosaan, gaji tinggi pejabat akan membuatnya tidak korupsi. Justru saat seorang lelaki merasakan enaknya wanita yang berbeda atau saat seorang pejabat merasakan enaknya punya uang banyak, dorongan untuk memiliki lebih banyak wanita dan uang akan lebih kuat. Lihat saja raja-raja Arab, Turki atau China jaman dulu, sudah punya ratusan bahkan ribuan selir saja masih ingin menambah lagi, sudah punya jajahan begitu luas saja masih belum merasa cukup.


Hawa nafsu itu untuk dibatasi, bukan untuk diperturutkan. Terlalu banyak makan cabe itu bukan tidak ada resikonya, pada akhirnya itu akan memicu tukak lambung yang tidak bisa diobati, kalau sudah parah bisa membuat kita hanya boleh makan bubur, memicu pendarahan bahkan hingga kematian. Pun demikian dengan terlalu banyak wanita atau uang, itu akan membuat "kesadaran" kita menurun, kesadaran yang turun akan berarti lebih sulitnya kita hidup di jalan yang lurus secara hakikat, membuat kita gagal mengalirkan diri dengan kehendak alam semesta, Tuhan yang maha esa...

Minggu, 26 Juni 2016

Menyadari-Mengakui Dosa, Pintu menuju Karunia





Nurani kita itu kuat. Ada batas dimana alam bawah sadar kita bisa ditanami-dibungkam-dimanipulasi dosa, ego-hawa nafsu, prasangka buruk, afirmasi atau indoktrinasi salah..., melampaui batas itu, nurani kita akan berontak, menyerang diri kita sendiri dalam bentuk masalah atau kegagalan hidup baik fisik ataupun mental.


Salah satu terapi yang biasa dilakukan praktisi pengobatan alternatif-spiritual (juga menjadi tradisi dalam agama Kristen) adalah terapi "pengakuan dosa". Biasanya,dalam situasi hypnogagic atau trance, pasien disuruh mengakui setiap dosa-kezaliman yang pernah dilakukan untuk kemudian-kalau memungkinkan, minta maaf pada pihak-pihak yang pernah dizalimi-didosainya itu, kalau tidak mungkin, menggantinya dengan kebaikan yang lain, misalnya dengan sedekah. Hanya dengan itu pasien biasanya akan "terlahir" kembali, masalah-masalah hidupnya banyak yang teratasi, yang stress waras, yang sial beruntung, yang sakit sembuh, tubuhnya dibanjiri energi positif-penyembuhan, nur atau auranya menguat pesat.


Kenyataan yang menunjukkan kalau dosa itu sejatinya tak bisa "dibungkam" dengan dalih, kamuflase atau pembenaran apapun termasuk pembenaran agama. Dia bukan hanya persoalan akhirat, dia langsung mempengaruhi-menghancurkan diri kita selagi di dunia. Sementara kesediaan introspeksi-mengakuinya adalah pintu "ajaib" bagi terhapusnya dampak buruk dari dosa-dosa itu minimal dampak duniawinya.


Menurut riset, umat Islam adalah umat yang pikirannya paling dipenuhi prasangka buruk terutama prasangka buruk terhadap umat agama lain. Prasangka buruk, apapun dasarnya, dilabeli halal atau syar'i sekalipun hakikatnya tetaplah merupakan dosa besar, tumbuh dari ego-hawa nafsu yang akan merusak diri. Barangkali karena itu berikut keengganan untuk mengakuinya, umat Islam menjadi terus ditimpa masalah, "sakit", sulit bangkit, sulit "terlahir" kembali...

Sabtu, 25 Juni 2016

Beragama-Bertapa Brata, Sarana Kita Mengguncang "Kayangan"





Akibat terus-menerus diancam keselamatannya oleh Betari Durga melalui tangan suaminya, Betara Guru-penguasa kayangan Suralaya, Wisanggeni, putra Pandawa kemudian "gugat", dia melakukan pertapaan di sebuah hutan, menyamar menjadi seorang Pandita.


Khusuknya dia bertapa membuat Kayangan Suralaya guncang, mengalami prahara, "goro-goro", dewa-dewa kalang kabut. Betara Guru kemudian menyuruh anak buahnya, Kala, Yama, Brahma dkk turun ke dunia, mencari penyebab goro-goro itu. Setelah tahu ternyata yang menyebabkan goro-goro itu hanya seorang titah ngarcapada, dewa-dewa-tentu karena merasa kuat dan berkuasa, langsung ingin menghabisinya. Sayang sekali, mereka gagal, dewa-dewa kalah. Di akhir cerita, akhirnya Betara Guru mengakui kekeliruannya, dia kemudian mengabulkan gugatan Wisanggeni agar dia-Betara Guru dan Betari Durga berhenti mengancam keselamatan dia dan keluarganya-para Pandawa.


Sekilas cerita dalam pertunjukan wayang kulit purwa itu hanya sekualitas dongeng, penuh tahayyul, mengada-ada bahkan konyol. Tapi kalau kita perhatikan secara lebih mendalam, cerita itu jelas memiliki makna filosofis dan relijius-spiritual yang luar biasa, hampir pasti cerita itu disusun oleh orang yang memiliki kawruh tinggi, orang-orang ma'rifat-tercerahkan.


Beragama hakikatnya adalah bertapa brata, sarana kita menghubungkan diri-mengguncang kayangan, "memaksa" dewa-dewa untuk bersedia "adil" terhadap kita, menghidayahi kita, memberkahi kita, menganugrahi kita. Kayangan dan dewa-dewa itu sejatinya tidaklah berada di atas langit, di puncak gunung Himalaya atau di dasar laut selatan melainkan di kedalaman diri kita sendiri.


Sayang sekali, banyak orang beragama sekarang bukannya menjadikan agama sebagai sarana bertapa brata-melemahkan ego badaniahnya melainkan sebaliknya, menjadikannya sarana berangkara murka, dijadikannya alat memenuhi kehendak ego-badan-hawa nafsunya. Akibatnya bisa ditebak, agama bukannya menghubungkan kita dengan "kayangan", "dewa-dewa", Tuhan Yang Maha Esa malah sebaliknya, menjauhkannya, membuat agama tidak lagi mampu, memberkahi, menghidayahi, menganugrahi kita...

Jumat, 17 Juni 2016

Lihatlah ke Dalam dan Sambutlah Kekuatan!




Saat Sunan Kalijaga dikalahkan Sunan Bonang, yang kemudian timbul justru adalah sikap takzim, introspeksi dan kepasrahan, Sunan Kalijaga kemudian berguru pada Sunan Bonang. Sekarang, pemikiran-pola keberagamaan Sunan Kalijaga mendominasi pemikiran-pola keberagamaan orang Jawa. Saat Jepang dikalahkan Amerika, bukannya dendam-kebencian yang kemudian timbul, dipupuk dan dipelihara, sebaliknya, keinsyafan dan kekaguman, Jepang kemudian berguru pada Amerika, mereformasi total sistem pendidikan dan ekonominya menjadi sepenuhnya Amerika, hanya dalam waktu setengah abad, Jepang sudah menyamai Amerika tanpa banyak menghilangkan jati dirinya sebagai bangsa.


Introspeksi, bercermin, mengakui kelemahan itu bukanlah suatu aib, bahkan sebaliknya, kecerdasan besar, sebab saat itu, kita membuka pikiran-hati bagi datangnya ide-ide dan kekuatan baru yang pada akhirnya akan membesarkan diri kita.


Sudah 500 tahun umat Islam jatuh dalam keterpurukan tapi belum juga ada tanda-tanda mau bangkit, ini adalah "azab" yang luar biasa besar. Umat Islam terlalu terpaku pada cerita kesuksesan di awal-awal kemunculannya sehingga menjadi menutup diri, enggan introspeksi atas keterpurukan yang kemudian timbul, ngotot memegang-mempercayai sebab dari sebuah kekuatan di masa lalu di jaman sebab kekuatan itu sudah tidak lagi berarti-bisa diandalkan..., ngotot membesarkan otot dan kuantitas disaat otak dan kualitas menjadi penentu kuat-maju tidaknya suatu masyarakat..., bahkan yang lebih parah, ngotot terus meyakinkan diri kalau keterpurukan umat Islam itu disebabkan fitnah, konspirasi umat agama lain...

Selasa, 14 Juni 2016

Pilih Rendang atau Kaviar?





Makanan terlezat di muka bumi ini adalah rendang yang harganya paling hanya ratusan ribu, bukannya kaviar yang harganya ratusan juta. Tapi mengapa tetap saja banyak orang sangat tertarik pada kaviar...?.


Kelezatan rendang adalah kelezatan yang nyata, kelezatan esensial, kelezatan "realitas", sementara kelezatan kaviar lebih dibentuk karena pikiran, prasangka, mitos dan imajinasi akibat kelangkaan dan tingginya harga, kelezatan yang semu, placebo, rasa kaviar mungkin hanya sedikit lebih lezat daripada rasa telur ikan biasa.


Kenyataan yang sama terjadi saat kita beragama. Menerima "rendang" realitas atau kebenaran yang hakiki itu sejatinya jauh lebih murah dan lebih lezat, lebih membahagiakan daripada berusaha mendudukkan atau menciptakan realitas atau kebenaran keberagamaan yang semu, kebenaran "kaviar".


Tapi ego atau hawa nafsu memang tidak pernah rasional, hedonisme relijius telah membuat banyak orang berusaha mendudukkan agama sebagai sama dengan kaviar, menghargainya mahal bukan karena kebenaran hakiki yang terkandung di dalamnya tapi semata karena harapan, prasangka, mitos dan imajinasi yang berusaha dibentuk-tercipta karenanya...

Sabtu, 11 Juni 2016

Kita Ditakdirkan sebagai "Raksasa", Jangan Berkecil Hati!





Tiap-tiap manusia memiliki kekuatan "raksasa" di dalam dirinya. Kekuatan itu terpendam-tertidur sampai kita mau-berhasil membuka-membangunkannya. Kekuatan itu sering disebut sebagai jati diri kita, dewa kita atau Gusti (yang bersemayam dalam diri) kita.


Pantai selatan adalah tempat faforit bagi perguruan-perguruan silat di Jawa untuk latihan, meditasi atau uji kenaikan tingkat. Sampai sejauh mana tenaga dalam yang dimiliki seorang murid biasanya diukur dengan sampai sejauh mana kemampuannya "memukul" ganasnya ombak laut selatan, siapa yang berhasil membuat ombak tidak bisa mendekat atau paling tidak membuatnya pecah atau menyingkir, berarti dia sudah cukup mumpuni, berhasil dalam mengasah-mempraktikkan jurus-jurus tenaga dalam yang diajarkan perguruan kepadanya.


Bobot-kekuatan ombak laut selatan saya yakin setara dengan ratusan bahkan ribuan ton, tapi manusia yang hanya berbobot beberapa kilogram ternyata mampu menundukannya. Tidak perlu heran kalau Musa mampu membelah laut Merah, Ibrahim selamat dari upaya pembakaran, Yesus mampu menghidupkan orang mati, Nuh menyelamatkan kaumnya dari banjir besar, Muhammad menguasai jazirah Arab. Tiap-tiap kita memiliki kekuatan raksasa-energi Ilahiyah-mukjizat yang jika berhasil dibangunkan akan membuat kita menjadi "Nabi", "Dewa", "Buddha" "Wali" atau "Santo"..., membuat "suket godong dadi rowang", Tuhan-alam semesta menjadi pembimbing, pelindung sekaligus penguat kita...

Tundukkan Ego dan Jadilah Manusia Sejati!





Hampir semua wanita pasti pernah mengatakan, "lebih baik dijujuri walau sakit daripada bahagia karena dibohongi".


Kata-kata yang kelihatannya bijak, indah dan ideal, mencerminkan tercerahkan serta kuatnya pribadi wanita yang mengatakannya. Tapi ternyata hanya sedikit saja wanita yang mampu memegang-melaksanakan kata-kata itu. Riset mengatakan, 90 persen wanita-melalui intuisinya-sebenarnya tahu seorang lelaki itu jujur atau tidak, setia atau tidak, tapi hanya sedikit wanita yang mau dan mampu mengikuti petunjuk intuisinya itu. Petunjuk intuisi itu akan segera dicampakkan jika yang dihadapinya adalah lelaki yang dipandangnya menarik, wanita akan tetap memilihnya sekalipun tahu betul kemungkinan besar dirinya akan disakiti, dibohongi atau dikhianati.


Kenyataan yang menunjukkan kalau sebagian besar wanita memang lebih memilih dibohongi asal kehendak ego-hawa nafsunya terpenuhi..., asal hidupnya jadi indah, senang, bahagia..., daripada dijujuri tapi hidupnya jadi gak asyik, gak senang, gak berwarna.


Kenyataan sama sebenarnya terjadi pada kehidupan beragama kita, saya yakin, 90 persen kita sebenarnya tahu kalau banyak sisi dari agama yang berisi kebohongan, tapi berhubung agama sering tampak sangat menarik di mata ego-hawa nafsu kita, dengan mudahnya kita membutakan diri, membunuh akal-menutup hati, rela mempertaruhkan segalanya demi harapan-prasangka-bayangan-imajinasi akan kesenangan-kebahagiaan yang boleh jadi hanya kosong belaka.


Wanita sejati, wanita yang cerdas dan dewasa takkan mau membangun kebahagiaannya dari kebohongan, pun demikian dengan manusia sejati, dia pasti hanya akan mau memegang-percaya pada sisi "jujur" dari agama...

Mengheninglah dan Dengarkan Suara Tuhan!





Suara Tuhan, suara alam semesta, suara kebenaran, suara hati, suara kesadaran-pengetahuan lebih tinggi kita itu seumpama suara tangis bayi diantara riuhnya hujan badai, hanya bisa didengar jika kita mampu fokus, bersedia mengabaikan suara-suara pengganggu..., dan itu hanya bisa terjadi jika di hati kita ada cinta, ada keinginan kuat untuk mendekap sang bayi.


Suara Tuhan hanya bisa didengar jika kita bersedia untuk hening dan pasrah, mengabaikan riuhnya suara ego-hawa nafsu, pikiran, prasangka, panca indra kita..., dan itu hanya bisa terjadi jika di hati kita ada cinta, kenginan kuat untuk "manunggal" dengannya.


Sekarang banyak orang terobsesi dengan suara Tuhan-ingin mewakili Tuhan tapi enggan melatih mengheningkan diri-mengabaikan riuhnya suara ego-hawa nafsu, enggan membangun cinta..., dan bahkan yang lebih ironis, mereka membid'ahkan dan mensesatkan semua sisi agama yang mengajarkan cinta dan pengheningan diri.


Akibatnya fatal, mereka menjadi mabuk, berilusi, berdelusi bahkan berhalusinasi..., tersesat kaffah, mengira kalau suara hujan badai adalah suara tangis bayi, mengira kalau suara ego-hawa nafsunya sendiri adalah suara Tuhan...

Selasa, 07 Juni 2016

Kuasai Ego dan Bangunlah!





"Datanglah padaku yen sliramu wis dadi randa, senajan anakmu lima, aku kan tetap menerima...".


Kata-kata itu pernah kuucapkan di hadapan seorang wanita dalam suasana hati yang begitu emosional dan dramatis, bibir gemetar, badan dingin dan lemas, mata basah..., ingin rasanya waktu itu aku nangis gulang-guling, sambat-sambat ngaruoro sambil mencium kakinya, berharap dia tuwuh welas, wurung tego wurung mentolo, bersedia membatalkan keputusannya menyewiyah-wiyah aku..., ingin rasanya waktu itu aku mendem, nyemplung kedung atau kalungan dadung, membebaskan diri dari beban duka yang terasa begitu mencekik.


Tapi kini setelah aku tersadar, aku malah jadi tedtawa saat mengingat kejadian itu, aku jadi tahu kalau kata-kata, perilaku dan pikiranku waktu itu ternyata sangat ngawur, lebay, lucu, wagu, ngisin-isini, norak bahkan HINA. Coba seandainya dia sekarang betul dadi randa dan punya anak lima, terus menuntut aku memenuhi kata-kataku dulu untuk menikahinya, cilaka njaba njero to aku, wong sudah hilang rasa..., coba seandainya aku kelakon nyemplung kedung atau kalungan dadung, jadi gak bisa facebookan dong sekarang...!.


Kenyataan sama akan terjadi pada orang-orang yang sangat cinta-fanatik buta, menjadi "bigot" dalam beragama, hanya menggunakan ego-hawa nafsu saat beragama. Boleh saja sekarang mereka merasa sangat benar, sangat syahdu, sangat dirahmati, sangat dramatis dan emosional, tapi pasti itu hanya merupakan ilusi-delusi-perasaan mereka saja, saat mereka tersadar nantinya, mereka akan tahu kalau pola pikir, perasaan dan perilaku beragama mereka sekarang akan terasa dan terlihat sangat lucu, wagu, norak, memalukan, sesat bahkan hina.


Begitulah suratan ego-hawa nafsu, begitu mencekik, menipu, membutakan, menghinakan bahkan membunuh, membuat kita kehilangan kewarasan, akal dan hati sehingga tidak mampu lagi menilai apa-apa yang baik bahkan untuk diri kita sendiri...

Puasa itu Menyehatkan, Menguatkan dan Mencerahkan





Mengapa puasa itu menyehatkan baik secara fisik, mental maupun spiritual...?.


Puasa itu ibarat vaksin di tubuh kita, dia adalah tekanan, "serangan" yang akan melatih-menguatkan saraf-saraf di tubuh kita, saraf yang kuat akan berarti lebih banyak prana, chi atau tenaga dalam dari otak kita yang bisa kita alirkan ke seluruh tubuh dan lingkungan kita untuk apapun tujuan-kepentingan kita termasuk untuk menyehatkan tubuh, hingga bahkan menguasai lingkungan-alam semesta.


Lemahnya fisik saat berpuasa juga akan memicu kuat-terbukanya hati-intuisi-alam bawah sadar kita-kesadaran-pengetahuan lebih tinggi kita. Hati-intuisi-alam bawah sadar yang kuat akan berarti "makrifat", mudah mendapat "penglihatan", ilham, petunjuk atau hidayah..., pikiran, harapan, perkataan dan doa-doa kita akan lebih mudah  "terdengar-terhubung" dengan Tuhan-alam semesta sehingga menjadi lebih berkekuatan, lebih mudah terwujud menjadi kenyataan.


Apapun agama kita bahkan tidak beragama atau atheist sekalipun, puasa itu sangat penting, semua agama pasti menjadikan puasa sebagai ritual utama, hanya cara atau jangka waktunya saja yang mungkin berbeda. Hormatilah orang berpuasa dalam segala bentuknya dan dari budaya atau tradisi-syariat agama apapun karena sejatinya mereka sedang terhubung dengan Tuhan-alam semesta, sedang "mberkahi"..., tapi jangan pernah minta dihormati karena kita sedang berpuasa, karena jelas, puasa kita akan batal secara hakikat..., manfaatnya akan segera terhapus oleh pamrih kita itu...

Minggu, 05 Juni 2016

Energi Cinta akan Abadi





Anak-anak orang Jawa jaman dulu jika sering rewel atau sakit-sakitan biasanya akan dipakaikan atau diselimutkan baju atau sarung bekas peninggalan kakek-nenek atau leluhurnya yang sudah meninggal dunia. Ajaibnya, hanya dengan sarana itu, sang anak biasanya akan menjadi lebih tenang atau lebih cepat sembuh dari sakitnya.


Sekilas tradisi ini tampak konyol di mata orang-orang "modern-terpelajar" atau syirik di mata orang-orang relijius-fundamentalis tapi sebenarnya tidak, justru tradisi ini sangat cerdas jika dilihat secara spiritual. Hampir pasti tradisi ini berasal dari orang-orang saleh, ma'rifat, atau tercerahkan dulu yang sadar-tahu persis kalau tradisi itu akan menyerap energi cinta-kesembuhan dari orang-orang yang sudah tiada, mendatangkan banyak maslahat-kebaikan.


Prana, chi atau energi cinta itu akan hidup abadi, menembus dimensi ruang dan waktu, melekat pada benda, lambang, bacaan, tradisi yang terkait dengan para pecinta itu. Tidak perlu malu atau merasa berdosa saat kita mempraktekkan tradisi itu toh mereka yang menganggap itu konyol sebenarnya juga sering melakukan praktik yang hakikatnya sama, hanya dengan wajah atau baju yang berbeda. Termasuk juga dengan orang-orang fundamentalis yang menganggap itu syirik, mereka beragama tertentu, meniru budaya dan cara hidup pendiri agama itu atau berziarah ke makam dan kota asal/yang disucikan pendiri agama itu juga mempunyai maksud yang sama, "ngalap berkah", menyerap energi cinta, spirit dari pendiri agama itu...

Yang Beriman, yang Berkekuatan




Saat kekeringan atau kemarau panjang melanda, di daerahku ada dua ritual atau tradisi berbeda dalam menyikapinya-meminta diturunkannya hujan. Yang satu (di kampung saya) melaksanakan salat minta hujan (istisqo) berjamaah di masjid atau lapangan terbuka diikuti istighotsah-wirid-zikir-doa bersama. Sementara yang satu lagi (kampung tetangga saya) melaksanakan upacara "cowongan", upacara adat Jawa meminta-mendatangkan Dewi Sri agar segera diturunkan hujan. Beberapa saat atau hari setelah diadakan salat istisqo atau upacara cowongan, biasanya langit akan menjadi mendung diikuti dengan hujan atau paling tidak, gerimis.


Kenyataan yang mencerminkan kalau realitas atau hakikat kebenaran itu satu meskipun syariatnya bisa saja sangat jauh berbeda. Yang meminta hujan dengan melakukan ritual salat istisqo hakikatnya sama dengan yang meminta hujan dengan ritual-upacara cowongan, sama-sama sedang membangkitkan prana-energi Ilahiyah manusia..., sama-sama sedang berusaha memodifikasi-mempengaruhi alam semesta, sama-sama akan "didengar" dan dikabulkan Tuhan.


Saat kita mampu membaca realitas atau hakikat kebenaran, rasa hormat kita pada perbedaan pasti akan tumbuh. Karena memang, perbedaan seringkali hanya masalah "baju" yang tidak perlu dipermasalahkan apalagi dipertentangkan. Yang mempermasalahkan atau mempertentangkannya akan rugi sendiri, mereka akan kehilangan banyak kesempatan dan energi yang seharusnya bisa digunakan untuk kebaikan diri dan iman mereka sendiri.


Yang akhirnya paling berkekuatan, paling dekat dengan Tuhan-paling mendapat berkat dan rahmatnya adalah yang paling beriman, paling khusuk doanya, paling "gentur" tapa atau tirakatnya dan yang paling menyadari-mengakui kelemahan atau ketidakberdayaannya, bukan yang memeluk suatu agama atau kepercayaan tertentu. Jangan merasa aman dan benar hanya karena kita telah beragama tertentu..., itu masih belum punya nilai apa-apa di hadapan hakikat kebenaran...

Jadikan Agama sebagai Jalan Pulang





Bagaimanapun rumit teorinya, tujuan hakiki agama sebenarnya sangat sederhana, sebagai sarana kita membangkitkan kembali fitur-fitur hebat kemanusiaan kita yang makin melemah dan terpendam akibat semakin minimnya tantangan hidup, fitur-fitur itu adalah prana, chi atau energi spiritual dan intuisi, fitur yang membantu kita memudahkan "berselancar", mengalirkan diri dengan arah dan kehendak alam semesta yang sangat dinamis ini.


Dengan iman dan doa, kita membangkitkan prana, semakin kuat iman kita, semakin kuat prana kita, semakin dikabulkan doa-doa kita, semakin mudah harapan dan keinginan kita terwujud. Dengan ibadah dan pengorbanan, kita menurunkan ego, menaikkan "kesadaran-pengetahuan-kawruh", ego yang lemah-kesadaran yang tinggi akan berarti tingginya intuisi-empati.... hanya dengan intuisi-empati yang tinggi kita tetap bisa menjalani hidup di jalan yang lurus, "dipayungi malaikat", jalan yang paling maslahat-paling membawa kebaikan-keberuntungan bagi kita dan alam semesta secara keseluruhan.


Tidak perlu banyak berdebat tentang benar-tidaknya suatu agama-cara beragama atau sesat-lurusnya suatu pandangan, kita kembalikan saja pada tujuan awal-hakiki agama yang sangat sederhana itu. Jika agama-cara beragama atau pandangan kita tidak membuat prana dan intuisi-empati kita menguat-ego kita melemah, tidak membuat doa-doa kita dikabulkan, tidak membuat kesadaran-pengetahuan-kawruh kita naik, tidak membuat hidup kita lebih lurus, lebih beruntung, lebih empatik, lebih membawa "rahmatan lil 'alamin", kita sesat secara hakikat bagaimanapun benar teorinya...

Spiritualitas, Penjaga "Kebenaran" Agama





Hanya dengan "mentirakati", mempelajari sisi spiritual dari agama kita akan bisa memahami hikmah-rahasia agama-agama untuk kemudian menafsirkan dan mendudukkannya di tempat yang semestinya, tempat yang paling akan membawa kemaslahatan bagi umat dan masyarakat secara keseluruhan.


Kita akan menjadi tahu mana sisi ajaran agama yang memiliki kebenaran mutlak, abadi dan universal dan mana yang hanya memiliki kebenaran relatif, terikat konteks, waktu, situasi, tempat, budaya dan pandangan subyektif pendiri atau penafsirnya. Kita akan tahu apa itu sejatinya wahyu, pahala-dosa, setan-malaikat, berkah, wasilah, mukjizat, karomah, tauhid, hidayah dan berbagai terminologi agama lainnya sehingga kita tidak terus menjadikan agama hanya sebatas teori, tahayyul dan jargon tanpa makna, tanpa keterhubungan dengan yang hakiki. Yang sering hanya diucapkan dan diperdebatkan tapi tak pernah dipahami dan "dirasakan" spirit-jiwanya. Kita akan tahu rahasia-hikmah dibalik pandangan ketuhanan, tata perilaku, tata cara ibadah hingga ritual fase-peristiwa kehidupan semua agama sehingga timbul rasa hormat-toleransi yang ikhlas tanpa syarat.


Agama tanpa spiritualitas itu ibarat orang buta memandang gajah, hampir pasti akan berujung pada spekulasi, bid'ah dan tahayyul..., hampir pasti akan memunculkan pandangan yang parsial, tidak lengkap bahkan egoistis, sesuai selera dan persepsi pemandangnya..., hampir pasti akan memicu kekakuan, kesombongan, kezaliman hingga kesesatan...