Sekarang ini, saya sebenarnya sudah tidak percaya lagi terhadap hantu sebagaimana digambarkan dalam budaya-kepercayaan masyarakat kita. Gendruwo, pocong, kuntilanak, wewe gombel, jin dll tidak lebih dari delusi, ilusi atau halusinasi akibat kuatnya pikiran-prasangka-khayalan yang ditanamkan di alam bawah sadar kita.
Tapi nyatanya, tiap kali saya melewati tempat-tempat yang sedari kecil dimitoskan berhantu, bulu kuduk ini masih berdiri, jantung berdegup kencang. Rasa takut itu masih cukup banyak tersisa, masih mengambil alih "separuh" kesadaran saya. "Rasa" yang membuatku sering zalim terhadap diri sendiri, menjadi kehilangan begitu banyak peluang, kenyamanan dan kegembiraan.
Ketakutan hanya akan mengarahkan kita menghindari apa-apa yang kita takutkan, bukannya mengarahkan kita pada pemahaman atas apa-apa yang secara esensi pantas dan harus ditakuti.
Karenanya, membangun keimanan atau moral diri-masyarakat menggunakan ketakutan itu sebenarnya sama saja sedang menempatkan diri-masyarakat dalam spekulasi bahkan bahaya besar. Diri-masyarakat kita menjadi tidak punya otoritas, "wujud" akhirnya tergantung sepenuhnya dari orang-orang yang menghasut-mengafirmasikan-menanamkan ketakutan pada diri-masyarakat kita itu. Kalau orang yang menghasut-mengafirmasi-menanamkan ketakutan itu ternyata orang yang bodoh atau egois, diri-masyarakat kita pasti akan dijerumuskan ke jurang kesesatan-kerugian yang dalam tanpa sedikitpun disadari.
Untuk bisa menuju "syurga", kita harus lebih dulu mampu menguasai ketakutan kita pada neraka. Sebab selama kita masih belum mampu menguasainya, akal kita sebenarnya masih lemah, hati kita masih tertutup, padahal itulah "alat" yang membuat kita mampu memahami "jalan-jalan" yang secara hakikat akan mengantarkan kita ke syurga. Tanpa akal yang kuat dan hati yang terbuka, kita akan sering berdelusi, berilusi, berhalusinasi tentang jalan-jalan menuju syurga sebagaimana dialami para fundamentalis-teroris itu...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar