Kamis, 20 April 2017

Fanatisme dan Kebenaran



Saya ini, fanatik NU pernah, fanatik Muhamadiyah pernah, fanatik Salafi juga pernah. Ada satu hal yang bisa saya ambil kesimpulan-pelajaran dari sikap fanatik, ketidakjujuran, ketertutupan dan egoisme.

Sikap fanatik, keras, ekstrim atas dasar agama, ras, suku, kelompok atau hal-hal sangat primordial lainnya jelas tidaklah menunjukkan kalau seseorang telah dipahamkan pada hal-hal yang secara hakikat benar melainkan hanya menunjukkan kalau seseorang itu hendak mendudukkan-memaksakan hal yang dipandang ego-prasangkanya benar.

Agama, ras, suku, kelompok atau hal-hal sangat primordial lainnya di mata ego kita itu seumpama sepotong daging di mata seekor kucing, hanya akan menggugah-menarik ego-naluri primitifnya. Kucing melihat sepotong daging sudah pasti akan langsung ditubruknya, tidak peduli itu milik siapa, halal atau tidak, beracun atau tidak, menjebak atau tidak. Pemujaan berlebihan terhadap agama, ras, suku, kelompok atau hal-hal sangat primordial lainnya hanya akan membuat kita jatuh kembali menjadi "hewan-kucing", melemahkan akal, menutup hati, membuat kita gagal memahami apa-apa yang secara hakikat benar dan salah, baik dan buruk, adil dan zalim.

Memang, apapun yang terkait agama, ras, suku, kelompok atau hal-hal sangat primordial lainnya akan memberi kita limpahan motivasi dan energi, membuat kita merasa lebih kuat dan mampu mencapai apapun keinginan kita. Tapi motivasi dan energi itu sebenarnya sama seperti yang diberikan alkohol atau narkotik, semu dan menipu, hanya sebatas perasaan saja, hanya sebatas di fisik saja, selebihnya, kita akan kehilangan begitu banyak anugrah-sumber daya "tinggi" kemanusiaan kita, akal dan hati kita...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar