Sabtu, 29 April 2017

Agama dan Pengheningan Diri



Bagaimana sebenarnya cara beragama dengan benar itu bisa diukur-diketahui dengan kita berkontemplasi, bermeditasi atau mengheningkan diri.

Terlalu dominannya ego-hawa nafsu, prasangka-harapan menguasai, akan membuat kontemplasi, meditasi, pengheningan diri kita jatuh pada ilusi, delusi atau halusinasi, kesesatan, setan. Kita akan sering merasa benar, merasa kuat, merasa diberkahi, merasa mendapat wahyu, bertemu malaikat bahkan Tuhan padahal itu palsu, hanya merupakan tipu daya hawa nafsu kita sendiri.

Terlalu dominannya akal atau logika menguasai, akan membuat kita susah memasrahkan diri, membuka "tutup cangkir" pengetahuan kita, selalu mempertanyakan bahkan menyangkal apapun yang dianggap akal atau logika kita tidak "masuk". Padahal kebenaran-kebaikan yang mampu dipersepsikan akal atau logika itu terbatas, seumpama komputer, tergantung pada seberapa banyak data masuk..., tergantung pada seberapa banyak indra kita menerima informasi. Kalau kita bukan tipe pembelajar yang selalu berfikiran terbuka-haus akan ilmu, kebenaran-kebaikan yang kita pahami akan menjadi kurang valid, cenderung parsial. Akal atau logika yang terlalu kuat akan menyempitkan jangkauan pemahaman kita akan apa yang disebut sebagai kebenaran-kebaikan.

Agama adalah "tarikat-laku" pengendalian ego-hawa nafsu, "laku" pemasrahan diri. Jika cara, mazhab atau tafsir keagamaan kita tidak memicu melemahnya ego-hawa nafsu dan tidak mengurangi ketergantungan-pemujaan kita pada akal atau logika kita, agama sudah kehilangan jiwa-hakikat tujuannya, sudah pasti akan gagal mengantarkan penganutnya pada jalan yang lurus, esensi kebenaran-kebaikan...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar