Minggu, 30 April 2017

Agama dan Hati



Orang Islam tidak makan babi, orang Hindhu tidak makan sapi, orang Kristen tidak makan merpati, orang Buddha tidak makan hewan apapun.

Kalau kita pernah menjalani "laku" spiritual, riyadoh, salat hajat, istikharoh, meditasi atau yang lainnya, tentu kita akan tahu alasannya. Sama seperti saat saya dan anda melakukan salat hajat untuk tujuan sama misalnya minta rejeki lancar, petunjuk-inspirasi yang didapat hampir pasti akan berbeda, mungkin saya akan mendapat petunjuk untuk bertani, sementara anda berdagang, disesuaikan dengan bakat dan peluang terbaik bagi masing-masing diri kita saja. Demikian juga dengan aturan atau syariat agama tentang apa yang tidak boleh dimakan, menjadi seperti "itu" mungkin disebabkan dulunya babi sering membawa wabah penyakit, sapi membawa begitu banyak manfaat, merpati memberi inspirasi dan daging hewan apapun menghalangi seseorang dari khusuk bermeditasi. Hanya "bahasa" halal-haram, suci-kotor, menginspirasi-mengintimidasi, menenangkan-mengacaukan, syurga-neraka yang membuat orang secara efektif mau mengikuti petunjuk yang didapat para pembawa agama itu.

Agama adalah "potret" persepsi-petunjuk hati pembawanya akan apa-apa yang terbaik bagi dirinya, keluarganya, masyarakatnya, atau tertingginya, umat manusia secara keseluruhan pada satu waktu, satu tempat dan satu situasi-kondisi. Karenanya, tidaklah begitu perlu mempertanyakan-memperdebatkan benar-tidaknya, masuk akal-tidaknya aturan atau syariat suatu agama. Yang sangat perlu dipertanyakan adalah apakah aturan atau syariat itu masih relevan dengan waktu, tempat, situasi dan kondisi obyektif kita sekarang yang sudah pasti berbeda dengan waktu, tempat, situasi dan kondisi saat agama itu muncul. Hanya akal yang kuat dan hati yang suci-terbuka yang mampu memahami itu.

Berusaha ekstrim menganggap-memaksakan aturan agama berlaku sepanjang waktu, di setiap tempat dan masyarakat itu seumpama saya berusaha memaksa anda untuk bertani hanya karena saat salat hajat, saya mendapat petunjuk agar saya bertani..., kemungkinan besar bukannya membuat rejeki anda ikut lancar malah makin seret..., bukanya membawa penganutnya pada kemaslahatan malah sebaliknya, kemudaratan..., wajar saja, saya dan anda, dulu dan sekarang, Arab, India, Eropa dan Indonesia itu berbeda sehingga sudah pasti menuntut perlakuan berbeda pula...

Sabtu, 29 April 2017

Agama dan Pengheningan Diri



Bagaimana sebenarnya cara beragama dengan benar itu bisa diukur-diketahui dengan kita berkontemplasi, bermeditasi atau mengheningkan diri.

Terlalu dominannya ego-hawa nafsu, prasangka-harapan menguasai, akan membuat kontemplasi, meditasi, pengheningan diri kita jatuh pada ilusi, delusi atau halusinasi, kesesatan, setan. Kita akan sering merasa benar, merasa kuat, merasa diberkahi, merasa mendapat wahyu, bertemu malaikat bahkan Tuhan padahal itu palsu, hanya merupakan tipu daya hawa nafsu kita sendiri.

Terlalu dominannya akal atau logika menguasai, akan membuat kita susah memasrahkan diri, membuka "tutup cangkir" pengetahuan kita, selalu mempertanyakan bahkan menyangkal apapun yang dianggap akal atau logika kita tidak "masuk". Padahal kebenaran-kebaikan yang mampu dipersepsikan akal atau logika itu terbatas, seumpama komputer, tergantung pada seberapa banyak data masuk..., tergantung pada seberapa banyak indra kita menerima informasi. Kalau kita bukan tipe pembelajar yang selalu berfikiran terbuka-haus akan ilmu, kebenaran-kebaikan yang kita pahami akan menjadi kurang valid, cenderung parsial. Akal atau logika yang terlalu kuat akan menyempitkan jangkauan pemahaman kita akan apa yang disebut sebagai kebenaran-kebaikan.

Agama adalah "tarikat-laku" pengendalian ego-hawa nafsu, "laku" pemasrahan diri. Jika cara, mazhab atau tafsir keagamaan kita tidak memicu melemahnya ego-hawa nafsu dan tidak mengurangi ketergantungan-pemujaan kita pada akal atau logika kita, agama sudah kehilangan jiwa-hakikat tujuannya, sudah pasti akan gagal mengantarkan penganutnya pada jalan yang lurus, esensi kebenaran-kebaikan...

Minggu, 23 April 2017

Angan-Angan, Indra dan Kebenaran



14: 45. Terbangun dari mimpi jadi manten nanggap calung..., kenyataan yang menunjukkan betapa mudahnya kita ditipu angan-angan dan indra kita sendiri.

Mimpi adalah bentuk godaan-tipu daya dari salah satu "pamomong" kuat kita yaitu hawa nafsu kita. Hanya karena saya tidur sambil memutar musik calung, hanya karena saya terus memelihara angan-angan jadi manten..., itu kemudian mewujud menjadi mimpi-godaan-tipu daya yang terasa begitu dramatis, syahdu, menggembirakan, membahagiakan. Untungnya, saat bermimpi itu, saya masih sedikit sadar kalau saya sedang bermimpi sehingga kemudian tidak larut sepenuhnya dalam atmosfirnya.

Lantas bagaimana dengan mereka yang angan-angan dan indranya terus diisi keyakinan, prasangka dan retorika kalau dirinyalah yang paling benar, dirinyalah yang ada di jalan Tuhan, dirinyalah yang akan masuk syurga, dirinyalah yang akan tidur dengan 72 bidadari fushtun...?. Celakalah mereka, mereka sedang membangun kesesatan diri, menciptakan arak-narkotik di otaknya yang pada akhirnya akan mewujud menjadi mimpi, delusi dan halusinasi tentang kebenaran, tentang Tuhan, tentang syurga, tentang bidadari, bukannya membawa-menunjukkan mereka pada kebenaran, pada Tuhan, pada syurga dan pada bidadari yang sesunguhnya.

Angan-angan dan indra kita adalah penghalang utama kita dari memahami hakikat kebenaran, harusnya itulah yang paling dulu dikendalikan terutama oleh orang-orang soleh-relijius. Adalah sesuatu yang ironis bahkan tragis melihat kenyataan sekarang, justru orang-orang soleh-relijiuslah yang banyak menjadikan itu sebagai "senjata", alat utama menanamkan agama-sesuatu yang harusnya membawa penganutnya pada hakikat kebenaran. Akibatnya fatal, seperti yang baru saya alami itu tadi, kebenaran yang mereka dan umat dapat tidak akan pernah lebih dari kebenaran mimpi, delusi atau halusinasi...

Kamis, 20 April 2017

Fanatisme dan Kebenaran



Saya ini, fanatik NU pernah, fanatik Muhamadiyah pernah, fanatik Salafi juga pernah. Ada satu hal yang bisa saya ambil kesimpulan-pelajaran dari sikap fanatik, ketidakjujuran, ketertutupan dan egoisme.

Sikap fanatik, keras, ekstrim atas dasar agama, ras, suku, kelompok atau hal-hal sangat primordial lainnya jelas tidaklah menunjukkan kalau seseorang telah dipahamkan pada hal-hal yang secara hakikat benar melainkan hanya menunjukkan kalau seseorang itu hendak mendudukkan-memaksakan hal yang dipandang ego-prasangkanya benar.

Agama, ras, suku, kelompok atau hal-hal sangat primordial lainnya di mata ego kita itu seumpama sepotong daging di mata seekor kucing, hanya akan menggugah-menarik ego-naluri primitifnya. Kucing melihat sepotong daging sudah pasti akan langsung ditubruknya, tidak peduli itu milik siapa, halal atau tidak, beracun atau tidak, menjebak atau tidak. Pemujaan berlebihan terhadap agama, ras, suku, kelompok atau hal-hal sangat primordial lainnya hanya akan membuat kita jatuh kembali menjadi "hewan-kucing", melemahkan akal, menutup hati, membuat kita gagal memahami apa-apa yang secara hakikat benar dan salah, baik dan buruk, adil dan zalim.

Memang, apapun yang terkait agama, ras, suku, kelompok atau hal-hal sangat primordial lainnya akan memberi kita limpahan motivasi dan energi, membuat kita merasa lebih kuat dan mampu mencapai apapun keinginan kita. Tapi motivasi dan energi itu sebenarnya sama seperti yang diberikan alkohol atau narkotik, semu dan menipu, hanya sebatas perasaan saja, hanya sebatas di fisik saja, selebihnya, kita akan kehilangan begitu banyak anugrah-sumber daya "tinggi" kemanusiaan kita, akal dan hati kita...

Rabu, 19 April 2017

Ketakutan dan Kebenaran




Sekarang ini, saya sebenarnya sudah tidak percaya lagi terhadap hantu sebagaimana digambarkan dalam budaya-kepercayaan masyarakat kita. Gendruwo, pocong, kuntilanak, wewe gombel, jin dll tidak lebih dari delusi, ilusi atau halusinasi akibat kuatnya pikiran-prasangka-khayalan yang ditanamkan di alam bawah sadar kita.


Tapi nyatanya, tiap kali saya melewati tempat-tempat yang sedari kecil dimitoskan berhantu, bulu kuduk ini masih berdiri, jantung berdegup kencang. Rasa takut itu masih cukup banyak tersisa, masih mengambil alih "separuh" kesadaran saya. "Rasa" yang membuatku sering zalim terhadap diri sendiri, menjadi kehilangan begitu banyak peluang, kenyamanan dan kegembiraan.


Ketakutan hanya akan mengarahkan kita menghindari apa-apa yang kita takutkan, bukannya mengarahkan kita pada pemahaman atas apa-apa yang secara esensi pantas dan harus ditakuti.


Karenanya, membangun keimanan atau moral diri-masyarakat menggunakan ketakutan itu sebenarnya sama saja sedang  menempatkan diri-masyarakat dalam spekulasi bahkan bahaya besar. Diri-masyarakat kita menjadi tidak punya otoritas, "wujud" akhirnya tergantung sepenuhnya dari orang-orang yang menghasut-mengafirmasikan-menanamkan ketakutan pada diri-masyarakat kita itu. Kalau orang yang menghasut-mengafirmasi-menanamkan ketakutan itu ternyata orang yang bodoh atau egois, diri-masyarakat kita pasti akan dijerumuskan ke jurang kesesatan-kerugian yang dalam tanpa sedikitpun disadari.


Untuk bisa menuju "syurga", kita harus lebih dulu mampu menguasai ketakutan kita pada neraka. Sebab selama kita masih belum mampu menguasainya, akal kita sebenarnya masih lemah, hati kita masih tertutup, padahal itulah "alat" yang membuat kita mampu memahami "jalan-jalan" yang secara hakikat akan mengantarkan kita ke syurga. Tanpa akal yang kuat dan hati yang terbuka, kita akan sering berdelusi, berilusi, berhalusinasi tentang jalan-jalan menuju syurga sebagaimana dialami para fundamentalis-teroris itu...

Senin, 17 April 2017

Ibu, Pepunden Kita




Seorang ibu sejati, ibu yang baik, kalau boleh memilih pasti akan lebih memilih dia sendiri yang sakit dan menderita daripada harus melihat anak-anaknya sakit dan menderita.


Ibu adalah cermin, contoh, gambaran sempurna telah berkuasanya ego-naluri tinggi-mulia-mutmainah-kesadaran Tuhan dalam diri seorang anak manusia. Ego yang hanya berisi cinta, kasih, empati, darma tanpa mengharap balas karena tumbuh-bersumber dari pengetahuan-kesadaran hati-lebih tingginya kalau anak-anaknya adalah citra-pecahan daging kulitnya sendiri, menyayanginya sepenuh hati hakikatnya sama saja sedang menyayangi dirinya sendiri, menyia-nyiakannya akan berarti menyia-nyiakan dirinya sendiri.


Pun demikian jika seseaorang telah mencapai pencerahan, ma'rifatullah, "manunggaling kawula lan Gusti", berkesadaran Tuhan..., dia akan memiliki kesadaran sebagaimana kesadaran seorang ibu atas anak-anaknya, hanya akan memiliki cinta, kasih, empati, darma terhadap sesama manusia dan sesama makhluk penghuni alam raya ini. Karena hati-kesadaran lebih tingginya tahu, itu adalah bagian dari dirinya sendiri, menyayanginya sepenuh hati tanpa syarat hakikatnya sama saja sedang menyayangi dirinya sendiri, membenci atau menzalimi mereka sama saja dengan membenci dan menzalimi dirinya sendiri. 


Sampai seberapa tinggi kesadaran-ma'rifat-iman-takwa-tauhid hakikat kita tergapai, bisa diukur dari sampai seberapa dalam kita telah menjadi "ibu"..., sampai seberapa dalam cinta, kasih, empati, darma kita terhadap sesama manusia dan sesama makhluk penghuni alam raya ini.


Bukannya gunung, tempat kau meminta
Bukan lautan, tempat kau memuja
Bukan pula dukun tempat kau menghiba
Bukan kuburan tempat memohon doa
Tiada keramat yang ampuh di dunia
Selain dari doa ibumu jua...


Satu-satunya obyek yang secara default layak dijadikan "jimat", "kuil", "sesembahan", "pepunden" kita di dunia ini adalah ibu kita. Karena di sanalah kehendak hakiki Tuhan atas diri kita yaitu puncak kebaikan bersemayam..., menyayangi, menghormati, berbakti kepadanya sama saja sedang mengunduh kekuatan, berkah dan rahmat Tuhan yang maha luas...

Selasa, 11 April 2017

Yang Konsekwen, yang Terberkati




Alam bawah sadar kita tidak bisa ditanami 2 hal yang saling bertentangan pada satu waktu. Itu ibarat kita memasang mesin pemanas dan pendingan sekaligus pada ruangan kita, menghabiskan begitu banyak modal dan energi tapi suhu ruangan tetap, tidak menjadi lebih nyaman-lebih panas atau lebih dingin. Pada akhirnya kita akan "bangkrut", menjadi lemah bahkan hancur akibat "peperangan" yang kita ciptakan sendiri di dalam diri kita.


Banyak orang sekarang percaya korupsi itu dosa tapi tetap korupsi juga..., selingkuh itu jahat tapi tetap selingkuh juga..., Pancasila itu thoghut tapi tetap tidak mau pergi dari Indonesia..., dan di Eropa, banyak pendatang percaya demokrasi, emansipasi, kapitalisme, liberalisme dan sekulerisme itu buruk tapi toh tetap nyari makan di sana. Itu adalah tragedi, sama saja sedang menumpuk kefrustrasian yang pada akhirnya akan berujung pada berbagai masalah dan benturan baik fisik, psikologis, sosial bahkan spiritual.


"Satunya kata dan perbuatan" dan "di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung" adalah prinsip yang mutlak kebenarannya. Dan untuk itu tentu kita harus belajar membatasi ego-hawa nafsu kita, belajar berkompromi, membatasi prasangka, membuka nalar dan hati sehingga-di satu sisi, kita bisa memahami apa-apa yang esensial dari hidup ini untuk kemudian tetap kita pegang, sementara di sisi lain, kita memahami yang tidak esensial untuk kemudian belajar ikhlas melepas-mengabaikannya...

Senin, 10 April 2017

Setan Dibalik Agama




Agama itu datang untuk menaikkan kesadaran, pencerahan atau ma'rifat pemeluknya. Ajaran-ajaran utama-universal agama seperti sembahyang, puasa, kezuhudan, kesabaran, keikhlasan, kurban, zikir, meditasi, keramahan, prasangka baik dsb jika dilaksanakan dengan sungguh-sungguh pada akhirnya akan membuat penganutnya terhubung dengan diri sejatinya-alam semesta-Tuhan, menjadi sadar-tercerahkan-ma'rifat, terbimbing di jalan yang lurus.


"Maksiat bersembunyi dibalik taat" (Asy-Syadzily). Tapi sayang sekali, ego-hawa nafsu-setan memang lihai. Ketaatan beragama seringkali justru memiliki dampak buruk yang jauh lebih besar daripada dampak baik-manfaat mental-sosial-spiritualnya, lebih menjahilkan-menggelapkan daripada mencerahkan-mensadarkan-mema'rifatkan pemeluknya. Ibarat "mburu uceng kelangan deleg", membuat ego-hawa nafsu seseorang justru menjadi terkamuflase-tersamarkan, sulit dikenali, mudah jatuh dalam fitnah-tipu dayanya, mudah jatuh dalam dosa-maksiat hakikat-akbar tanpa sedikitpun disadari.


Berapa banyak orang sekarang yang memeluk suatu agama kemudian malah menjadi membenci pemeluk agama lain?, kebencian itu luar biasa merusak akal dan hati kita, membuat kita "zalim pada waktunya". Berapa banyak orang sekarang yang ilmu agamanya, sembahyangnya, hajinya, jenggotnya, jilbabnya justru malah membuatnya jadi sombong, merasa benar sendiri, menjadi merendahkan-merasa berhak menghakimi orang lain?, sikap sombong, merendahkan dan menghakimi itu akan menutup akal dan hati dari datangnya hikmah-ilmu-petunjuk, menjahilkan. Berapa banyak orang sekarang yang kurbannya, sedekahnya, takzimnya, keramahannya, malah membuatnya jadi "pedagang kebaikan", merasa memiliki piutang kebaikan kepada orang lain yang harus dibayarnya di kemudian hari?, pamrih itu membuat manfaat kebaikan menjadi tergadai-tersandera. Secara spiritual jelas, lebih baik tidak usah beramal-berbuat baik daripada beramal-berbuat baik tapi tidak ikhlas sebagaimana lebih baik makan (tidak berpuasa) tapi disyukuri daripada berpuasa tapi dikeluhi.


Ask yourself..., agama bukanlah sarana kita menyalurkan ego-naluri keserakahan kita, justru sebaliknya, sarana kita mengekangnya. Kalau kita kemudian menjadi pemarah, pembenci, pendendam, sombong, pendengki, pemrasangka buruk, pemamrih, serakah, binal karena agama, kitalah penista agama yang sebenarnya..., kita menipu-mengkhianati niat-tujuan hakiki dari para pendiri agama itu sendiri...

Minggu, 09 April 2017

Yang Mensesatkan, Tersesatkan




Semakin banyak keluhan, tekanan atau kekecewaan tertimbun di alam bawah sadar kita, semakin mungkin pada akhirnya itu akan meledak menjadi amukan atau kekerasan. Jangan salah, orang sabar justru bisa menjadi sangat berbahaya jika kesabarannya ternyata ditumbuhkan dari keterpaksaan-kepura-puraan, tidak ditumbuhkan dari keikhlasan. Sabar yang ikhlas itu sulit, perlu wirid-tarikat yang berat, tidak semua orang mampu, jangan memaksakan diri, lebih baik (dalam batas tertentu) asertif-ekspressif saja, mengeluarkan apa yang menjadi unek-unek, keluhan atau keberatan kita.


Pun demikian juga yang sebenarnya terjadi saat kita beragama. Semakin banyak kita menimbun prasangka-penghakiman salah atau sesat pada orang, mazhab atau agama lain, semakin mungkin pada akhirnya itu akan meledak menjadi tindak kekerasan, terorisme atau makar. Kenyataan itulah yang membuat agama, sebaik dan sedamai apapun ajarannya tetap menjadi sangat rawan moral dan kemanusiaan, mudah jatuh menjadi mesin pengacau dan pembunuh. Ada batas dimana alam bawah sadar kita bisa ditipu-dimanipulasi sebuah sikap-pandangan yang tidak sejalan dengan sikap-pandangan sadar dan nurani kita, melampaui batas itu, alam bawah sadar kita akan berontak, biasanya dalam wujud perilaku eksplosif hingga bahkan gangguan fisik-psikologis-jiwa. Salah satu terapi psikologis-spiritual ampuh untuk mengatasi banyak masalah hidup baik fisik maupun mental adalah dengan mengeluarkan segala unek-unek, keluhan, kekecewaan yang tertimbun di alam bawah sadar seseorang.


Tidak ada artinya kebaikan, kesabaran atau keramahan seseorang kalau nyatanya alam bawah sadarnya masih penuh dengan timbunan prasangka-penghakiman kalau orang yang tidak seide, semazhab atau seagama dengannya itu salah atau sesat. Orang itu tetap akan seperti saya dulu pura-pura sabar saat terus-menerus mendapat perlakuan tidak mengenakkan dari orang lain, toh akhirnya meledak menjadi amukan baik secara verbal maupun fisik..., toh akhirnya orang itu akan menjadi teroris pada waktunya...

Jumat, 07 April 2017

Ego dan Kebenaran




90 persen wanita itu tahu seorang lelaki itu baik atau jahat, setia atau buaya cukup dengan beberapa detik bertatap muka, tapi 90 persen wanita akan mengabaikan apa kata intuisi-akal-hatinya saat lelaki di depannya itu ternyata gagah, menarik secara seksual (riset)..., wanita akan tetap jatuh cinta sekalipun intuisi-akal-hatinya mengatakan dia buaya atau penjahat.


Pun demikian dalam menyikapi agama, 90 persen Muslim pasti tahu dan sadar kalau pandangan atau dalil seorang pemimpin mutlak harus seagama, tanpa syarat dan kondisi-konteks itu tidak adil dan tidak rasional. Tapi saya yakin, sebagian besar Muslim akan mengabaikan kata intuisi-akal-hatinya itu saat dihadapkan pada kenyataan kata intuisi-akal-hatinya itu dipandang-diprasangkakan tidak menguntungkan ego-hawa nafsunya..., dipandang membuat eksistensinya akan terancam, kelompok atau golongannya sulit memimpin-mendominasi atau bahkan-ekstrimnya, dipandang membuatnya tidak bisa masuk syurga. Hanya Muslim "kuat" saja yang akan mampu mengikuti apa kata intuisi-akal-hatinya, berani mempertanyakan maksud hakiki dari pandangan-dalil itu sebagaimana hanya wanita kuat saja yang tidak akan "terteror" kegagahan seorang lelaki.


Ego, hawa nafsu, syahwat adalah penghalang terbesar kita dari memahami hakikat kebenaran-kebaikan. Karenanya, bagaimana agama atau tafsir-mazhab agama mampu mengantarkan penganutnya ke jalan yang lurus itu bergantung pada bagaimana fokus agama atau tafsir-mazhab agama itu mengajarkan pengendalian ego pada penganutnya. Sekarang tragis, banyak orang makin agamis justru egonya semakin meninggi..., secara esensi ini jelas adalah kesesatan dibungkus dengan dalil atau dogma sejelas atau sesuci apapun...

Mengenali Ego, Mengenali Tuhan




Sering kita jumpai orang Islam menghakimi mazhab atau penganut agama lain katanya sesat karena telah menuhankan orang, benda atau setan-bukan Tuhan, tapi ironisnya, perilaku mereka sendirilah yang sebenarnya mencerminkan penuhanan terhadap orang, benda atau setan.


Siapa yang sebenarnya kita sembah atau tuhankan itu tercermin dari perilaku kita. Jika yang kita tuhankan adalah orang atau sosok tertentu, perilaku kita pada akhirnya akan mengikuti orang itu, spiritnya akan tercopy-paste, mengambil alih kesadaran kita, jika orang itu baik, akan menjadi baiklah kita, jika orang itu jahat, akan menjadi jahat pula kita. Jika yang kita tuhankan benda, kita akan menjadi seperti sifat-dampak yang kita prasangkakan pada benda itu, jika benda itu diprasangkakan membawa keberuntungan, akan beruntung pula kita. Jika yang kita tuhankan setan, perilaku kita akan dominan mengikuti ego atau hawa nafsu kita, kita akan menjadi sangat egois, cenderung menjadi jahat. Sementara jika yang kita tuhankan betul adalah Tuhan, pada akhirnya kita akan terbimbing hati kita, akan menjadi baik-menjadi rahmatan lil'alamin.


Faktanya?. Umat Islam itu sering sangat fanatik terhadap tokoh tertentu terutama pendiri agama, mazhab, sekte, partai atau ormasnya..., silahkan anda kritik Nabi, sahabat, Imam, Wali, Habib dll, bisa gak panjang umur anda..., silahkan anda kritik ketua ormas atau partai tertentu (yang mengklaim mewakili Islam)..., bisa langsung dituduh kafir atau munafik anda..., itu jelas adalah cermin kefanatikan yang sudah sampai pada taraf penyembahan!. Umat Islam juga sangat berlebihan dalam memuja (benda) simbol-simbol agama, coba anda meletakkan tulisan Arab di sembarang tempat, bisa langsung dituduh menista agama!. Dan yang terfatal (menurut riset) umat Islam itu paling egois di antara umat agama lainnya, paling gemar berprasangka, mau menang dan benar sendiri. Kenyataan-kenyataan itu jelas menunjukkan siapa yang sebenarnya sedang disembah kebanyakan umat Islam, boleh saja mereka mengklaim menyembah Allah yang esa tapi bukti berkata lain.


Ask yourself..., kenali diri-hati dan ego kita, sebab tanpa itu, kita pasti akan tertipu, merasa dan mengklaim baik, benar, penyembah Tuhan yang esa, tapi hakikinya justru sebaliknya, kita penjahat, sesat, menuhankan orang, benda atau setan..., kita tidak akan pernah terbimbing ke jalan yang benar dan baik, takkan pernah bisa menjadi "rahmatan lil'alamin"...

Rabu, 05 April 2017

Kenali Egomu, Kenali Kebenaran




Kaum Sufi di negeri dimana Wahabi berkembang itu selalu dijadikan sasaran intimidasi, teror bahkan pembantaian padahal mereka bukanlah ancaman bagi siapapun, mengapa itu bisa terjadi?.


Kelihatannya saja kaum Wahabi mendasari kebenciannya terhadap kaum Sufi itu pada sesuatu yang benar-atas perintah Tuhan, tapi sebenarnya tidak, mereka hanya sedang merasa egonya terancam oleh kebenaran-kebenaran hakiki yang datang dari kaum Sufi yang pasti akan sering sangat mengguncang apa yang terlanjur mereka yakini, sama seperti sering terancamnya mereka dengan fakta-fakta yang ditemukan Saintis.


Kaum Sufi atau Spiritualis Islam itu memiliki dasar dan logika berfikir yang mirip dengan Saintis atau peneliti-ilmuwan, sama-sama berusaha memahami dunia-realitas kebenaran dengan memanfaatkan segenap sumber daya kemanusiaan yang dimilikinya. Bedanya, Saintis fokus pada penggunaan akal-logika-otak kiri, sementara kaum Sufi fokus pada penggunaan hati-nurani-otak tengah, Saintis mencari yang benar-fakta, sementara Sufi mencari yang benar-baik. Baik Saintis maupun Sufi pada akhirnya akan menghasilkan hal yang sama, akan sering memiliki pandangan yang bertentangan dengan teks atau dogma agama, sesuatu yang menjadi pusat (dasar) keberagamaan kaum Wahabi.


Mengingkari pandangan-pandangan kaum Sufi itu hakikatnya sama dengan mengingkari pandangan-pandangan Saintis..., sama saja sedang mengingkari fakta-realitas kalau bumi ini bulat, api itu panas atau matahari itu terbit dari timur..., sama saja sedang memaksa orang untuk percaya kebenaran cerita Sangkuriang atau Malin Kundang..., diperlukan pembodohan-pendelusian-penghalusinasian-pemabukan luar biasa dan terus-menerus agar itu bisa terus menjadi "aqidah"...

Ketakutan Kita, Kelemahan Kita




Saat kita hidup di perantauan, biasanya kita akan merasakan fenomena psikologis yang cukup unik, kita akan sangat menghargai teman kita yang berasal dari satu kampung, satu negara atau satu agama. Cukup dengan sekali berjumpa saja biasanya akan langsung akrab, serasa telah kenal puluhan tahun.


Mengapa itu bisa terjadi?. Perasaan sepi, lemah, tidak aman, terancamlah yang menjadi penyebabnya. Keadaan yang membuat pintu hati-alam bawah sadar kita terbuka. Siapapun yang kemudian mengisinya, akan segera tampak-terasa sangat berarti, ego kita meluruh, empati meninggi, membuat kita mudah kompak dan terhindar dari konflik, terasa seperti saudara atau keluarga sendiri.


Fenomena psikologis ini, sadar atau tidak sadar sekarang telah secara masif dimanfaatkan oleh para fundamentalis-teroris agama. Mereka begitu getol menciptakan perasaan lemah, tidak aman atau terancam di hati umat bahkan di saat kondisi obyektif yang terjadi justru sebaliknya, umat sedang kuat, aman dan dominan. Tujuannya jelas, agar mereka dengan mudah menanamkan doktrin-doktrin sesat agama-ideologi mereka, agar mereka lebih mudah membodohi, memanipulasi, menguasai, mengeksploitasi umat.


Sudahkah anda ditakut-takuti Yahudi, Syiah, Cina, Komunis, kafir, asing, liberal, demokrasi dll hari ini...?. Kalau iya dan anda kemudian merasa takut, berarti anda telah menjadi korban dari bentuk perbudakan paling halus namun paling "kaffah" dan kejam di muka bumi ini, perbudakan mental-pikiran melalui pemanipulasian alam bawah sadar anda... 

Selasa, 04 April 2017

Hakikat Tauhid




Ketika Musa mendapat wahyu-petunjuk-perintah untuk pergi ke tanah Kan'an (Palestina), tanah Kan'an itu bukanlah tanah kosong, Musa harus menaklukkannya, mengusir atau membantai penduduk aslinya. Sesuatu yang jelas tidak adil bagi orang Kan'an yang belum tentu jahat, Tuhan telah memihak kepada orang Yahudi. Kenyataan yang menunjukkan kalau Tuhan orang Yahudi itu sebenarnya masih hanya Tuhan etnis atau bangsa, masih hanya "berhala" secara hakikat.


Setiap diri kita, keluarga kita, etnis kita, bangsa kita, agama kita memiliki "Gusti", "Tuhan" atau "Pamomong" sendiri-sendiri..., di mana ego kita diletakkan, menentukan Tuhan lingkup yang mana yang akan merahmati diri kita. Tuhan yang maha esa-sekalian alam hanya dapat merahmati diri kita jika kita sudah mampu mengabaikan ego diri pribadi kita, keluarga kita, etnis kita, bangsa kita atau agama kita. Tuhan mana yang merahmati kita menentukan sampai seberapa luas lingkup-jangkauan kita akan menjadi rahmat. Jika kita masih bertuhankan ego pribadi kita, jangan mimpi kita akan mampu menjadi rahmat bagi alam semesta, tidak menjadi azab-musibah bagi orang lain, etnis lain, bangsa lain atau agama lain saja sudah untung.


Sayang sekali, banyak orang beragama sekarang-di satu sisi merasa dan mengklaim telah menuhankan Tuhan yang esa tapi di sisi lain ternyata egonya masih diletakkan di titik terendah, di diri pribadinya, atau paling tinggi, di etnis atau agamanya. Mereka telah tertipu prasangkanya sendiri, mereka tidak akan mampu menjadi rahmatan lil'alamin-rahmat bagi alam semesta, perintah hakiki agama..., cermin pencapaian tauhid termurni...