Agamanya sama, etnisnya sama, jenis kelaminnya sama, tapi coba mereka melakukan riyadhoh atau istikharah untuk perkara yang sama, hampir pasti akan menghasilkan ilham atau petunjuk yang berbeda.
Kenyataan yang menunjukkan kalau tiap diri kita itu sebenarnya memiliki "Gusti", "Pamomong", "Dewa" atau "Tuhan" sendiri-sendiri dengan kebijakan sendiri-sendiri pula, menyesuaikan konteks-kondisi obyektif masing-masing diri kita. Pun demikian dengan keluarga kita, kampung kita, etnis kita, ras kita, kelompok kita atau bangsa kita, memiliki Gustinya sendiri-sendiri.
Tauhid-pengesaan Tuhan terjadi saat kita mampu mengabaikan "Gusti" pribadi kita (ego kita), keluarga kita, kampung kita, etnis kita, ras kita, kelompok kita (termasuk agama) atau bangsa kita, untuk kemudian hanya menyembah-mengikuti petunjuk Tuhan universal-sekalian alam. Tanpa itu, kita sejatinya hanya sedang mengesakan prasangka-gambaran-mitos-tahayyul akan Tuhan, masih syirik-menyembah ego-berhala secara hakikat.
Sekarang banyak orang mengklaim tauhid atau pengesaan Tuhannya paling murni tapi ironisnya, ego mereka ternyata sangat tinggi, pun demikian dengan fanatisme keluarga, kampung, etnis/kabilah, ras, kelompok/agama atau bangsanya, jauh lebih tinggi dari yang tauhidnya dihakimi tidak murni. Ini jelas adalah tragedi, kejahilan berbalut kesalehan. Setinggi-tingginya mereka hanya akan "mampu" menyembah-mendapat petunjuk dari Tuhan pribadi mereka sendiri, keluarga, kampung, etnis/kabilah, ras, kelompok/agama atau bangsanya, bukan menyembah-mendapat petunjuk dari Tuhan yang maha esa-universal-sekalian alam. Klaim tauhidnya paling murni itu ibarat klaim preman kalau dirinya paling baik, perilakunya sendiri sendiri sudah secara gamblang membantahnya...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar