Senin, 10 Oktober 2016

Taklid, Akal dan Hati





Jaman saya kecil dulu, sekitar kelas empat atau lima SD, saya diajak teman-teman saya yang lebih besar ngabuburit dengan mandi berenang di sebuah cekdam atau bendungan kecil (situ) di daerah saya. Meskipun masih terletak di satu kampung, jaraknya cukup jauh, sekitar 3 kilo meter, harus berjalan naik turun bukit plus menyeberangi beberapa sungai baru sampai di cekdam itu.


Sesudah sampai, satu persatu teman saya nyemplung ke dalam cekdam, dengan aneka gaya dan teknik tentunya. Melihat itu, dengan lugu dan tanpa dosanya, saya ikut nyemplung juga padahal sebelumnya tidak pernah belajar berenang sama sekali. Akibatnya bisa ditebak, fatal, ternyata cekdam itu dalam, begitu nyemplung saya langsung timbul-tenggelam. Tidak ada yang tahu-menyadari saya tenggelam, mungkin teman-teman saya mengira saya sedang bermain "slulupan" atau berenang gaya batu sehingga cuek saja, tidak segera menolong saya. Sayapun tidak sempat minta tolong, sibuk dengan diri saya sendiri yang tengah berjuang sekuat tenaga menghindari diri dari tenggelam-dari kematian, berliter-liter air masuk ke perut dan paru-paru saya. Barangkali karena saya ditakdirkan untuk berumur lebih panjang, tiba-tiba ada teman saya lewat di dekatku, langsung saya pegang kuat-kuat teman saya itu. Saya berhasil menepi walau teman saya itu kemudian marah-marah karena dia jadi ikut tenggelam gara-gara dijadikan "ban" oleh saya.


Sesampainya di tepi, saya bengong, serasa seperti masuk ke alam lain, alam mimpi, saya masih bisa melihat dan mendengar tapi tidak bisa merespons. Teman-teman saya yang mengajak bicara bahkan marah-marah, tidak "mampu" saya jawab, pokoknya diam saja, bingung seperti orang kesambet. Menjelang magrib kami pulang, sesampai di rumah, saya merasa letih sekali, saya langsung tertidur (mungkin malah pingsan), besok malamnya baru bisa bangun. Setelah kejadian itu, entah mengapa saya jadi bisa berenang bahkan terhitung lebih berani dari teman-teman saya. Sayalah orang pertama yang membuat tradisi baru, berenang menyeberangi cekdam dari selatan ke utara dan dari barat ke timur. Sebelumnya, tidak ada teman saya yang berani atau mau melakukannya, kalau berenang ya hanya sekedar di tepian cekdam saja.


Pelajaran apa yang bisa kita ambil dari pengalaman dramatis saya itu...?. Ternyata untuk sekedar taklid, meniru atau berguru kita perlu batas minimal pengetahuan yang harus kita miliki. Tidak boleh membabibuta, tidak boleh asal ikut, asal "telan", tidak boleh meniru hanya apa yang terlihat. Kita harus tahu kapasitas diri kita, kita harus berakal dan berhati, menjadi "manusia" sepenuhnya terlebih dulu sebelum belajar atau meniru hal lainnya sehingga peniruan kita menjadi "berjiwa", peniruan yang lengkap.


Masalahnya, banyak orang sekarang bertaklid, meniru atau berguru terutama sekali dalam perkara agama dan politik seperti halnya saya ikut meniru teman-teman saya berenang itu dulu, "prampang-prumpung", asal ikut, asal telan. Mengklaim dan merasa meniru Nabi, Wali atau orang soleh-suci lainnya tapi yang ditiru hanya sisi lahir-tampak luarnya saja-jenggot dan jubahnya, tidak berusaha meniru sisi tidak tampaknya, batinnya, makrifatnya, pencerahannya, kebijaksanaannya, mukjizat atau karomahnya. Akibatnya bisa ditebak, banyak orang kemudian "tenggelam", terjerumus pada kematian akal, hati bahkan fisiknya seperti halnya yang terjadi pada para fundamentalis-teroris itu. Masih sangat beruntung saya, tenggelamnya malah berujung pada diajarinya saya oleh kesadaran-pengetahuan lebih tinggi saya, "pamomong" saya ilmu agar di kemudian hari tidak tenggelam lagi. Tapi itu jelas peluangnya sangat kecil, tidak bisa diharapkan bakal terjadi pada banyak orang.


Ki Enthus Susmono kalau ngomong saru itu akan tampak lucu, tapi coba itu ditiru dalang lain, akan tampak wagu, norak..., Nabi kalau merukyat orang mungkin akan sembuh, tapi coba itu ditiru anda, mungkin malah akan kambuh..., sebab yang dalang lain dan anda tiru itu hanya sisi lahirnya, bukan ilmu-spirit yang mendasarinya...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar