Letak dan tingkat ego kita menentukan siapa yang akan menghidayahi kita berikut bagaimana sifat atau wujud dari hidayah itu.
Dulu, dalam keadaan sakit parah, antara hidup dan mati, antara sadar dan tidak, saya bermimpi didatangi orang yang berpakaian serba putih, dia kemudian mengusap tubuh-punggung saya, tubuh saya menjadi hangat dan bergetar hebat, saya terbangun, ajaibnya, sakit saya kemudian berangsur sembuh. Siapakah orang yang hadir dalam mimpiku itu?, siapapun dia, saya percaya, dia sosok yang pernah hidup dan memiliki karomah/mukjizat yang besar, seorang Wali atau Sufi. Ego-keinginan kuat saya untuk sembuh telah membuat getaran energi spiritual saya menjadi selaras-terhubung dengan getaran energi spiritual dia. Kepercayaan yang saya anut (Islam) membuat yang mendatangi saya beratribut Islam, mungkin kalau saya Hindu, yang mendatangi adalah Wisnu atau Krisna, jika saya Kristen, Yesus atau Santo penyembuh.
Dulu, dalam keadaan hidup saya sangat terpuruk, gagal karier dan cinta, saya bermimpi bertemu dengan saudara saya yang sudah meninggal, dia menyuruh saya agar belajar agama xxx. Karena saya Muslim taat, mimpi itu jelas membuat saya galau, setelah dihitung-hitung maslahat-mudaratnya, keputusan akhirnya saya tidak melaksanakan perintah dalam mimpi itu. Tapi walau begitu, saya percaya, jika mimpi itu saya jalankan, hidup saya betul akan lebih baik, bangkit dari keterpurukan, alasannya logis saja, banyak teman sukses dan menyenangkan saya yang beragama xxx, kalau saya belajar agama xxx apalagi menjadi xxx, tentu akan dengan mudah mendapat "simpati" mereka sehingga membantu karier dan cinta saya.
Dulu, waktu masih menjadi pedagang, saya sering sekali berdoa minta agar rejeki saya lancar-dagangan saya laris. Pada suatu malam saat saya khusuk berdoa, tiba-tiba saya mendapat "hidayah", bisikan atau wangsit yang intinya menyuruh saya agar berpuasa "kapit weton" atau puasa hari lahir menurut kalender Jawa. Karena saya menilai "hidayah" kali ini tak membahayakan aqidah, dengan senang hati saya jalankan. Dan memang betul, setelah saya jalankan, rejeki jadi lancar-dagangan saya jadi laris. Pertanyaannya, siapa yang memberi petunjuk pada saya itu?. Kalau itu setan (sebagaimana "fatwa" teman Muhammadiyah saya), kok baik betul ya, petunjuknya benar dan terbukti..., kalau itu malaikat atau Tuhan, kok aneh ya, puasa kapit weton kan bid'ah, tidak ada dasar, contoh atau tuntunannya!. Siapapun dia, jelas dia mencerminkan letak ego dan budaya yang saya pegang, kalau saya bukan pedagang dan bukan orang Jawa, tidak mungkin saya mendapat petunjuk seperti itu.
Yang jelas dari tiga pengalaman spiritual saya yang cukup kontradiktif itu, samar-samar saya bisa memahami bagaimana arah dan mekanisme alam bawah sadar-kesadaran-pengetahuan lebih tinggi kita bekerja. Sifat dan wujud dari ilham, wangsit, hidayah, wahyu, ide atau apapun namanya, sangatlah ditentukan letak dan tingkat ego kita, baru berikutnya, moral, budaya atau agama kita. Wajar saja saya menjadi didatangi orang suci berbaju putih yang kemudian menyembuhkan saya, sebab ego-keinginan terbesar saya waktu itu adalah sembuh dari sakit dan saya seorang Muslim. Ego-keinginan kuat saya itu menjadi magnet yang menarik energi-spirit penyembuhan di belahan dunia manapun itu berada. Wajar saja saya mendapat petunjuk untuk mempelajari agama xxx, tentu ini karena ego saya masih ada pada uang, karier dan wanita, jika petunjuk itu saya jalankan, pasti akses saya terhadap itu akan menjadi lebih mudah. Wajar juga saya mendapat petunjuk untuk berpuasa kapit weton, puasa itu mampu melembutkan hati, menaikkan empati, membuat saya lebih mampu memahami sekaligus mengikuti apa yang dimaui pembeli sehingga efeknya membuat dagangan saya lebih laris. Tidak ada yang istimewa kalau Felix Siauw mendapat hidayah menjadi Muslim, mungkin ego terbesar dia ada pada uang dan ketenaran, menjadi Muslim akan berarti jalan pintas-mudah untuk mencapai itu mengingat umat Islam sedang dalam posisi "gila" mualaf, demikian juga dengan Asmirandah yang menjadi Kristen, mungkin ego terbesar dia ada pada cinta-kasih sayang dan hanya dengan dia menjadi Kristen dia akan mendapatkan itu sepenuhnya.
Letak dan tingkat ego kita menentukan siapa yang akan menghidayahi kita berikut bagaimana sifat atau wujud dari hidayah itu. Alam bawah sadar-kesadaran-pengetahuan lebih tinggi kita adalah "komputer" hebat yang tahu segalanya tapi lugu, tidak mengerti apa yang benar secara universal, dia hanya akan "mengerjakan", menghubungkan, memberi petunjuk atas apa-apa yang kita inginkan, ego kita. Kalau ego kita masih dibiarkan-diletakkan di titik terendah, masih dikuasai amarah atau lawamah, jangan mimpi, geer apalagi takabur, mengklaim mendapat hidayah-petunjuk Tuhan-sang maha benar, kita hanya akan mendapat petunjuk dari ego kita saja, mungkin saja petunjuk itu menguntungkan bagi diri kita tapi jelas, kecil kemungkinannya untuk secara esensi benar atau menguntungkan bagi orang lain...
Terima Kasih, sangat menginspirasi
BalasHapusSama-sama...
BalasHapus