Ada tiga cara kita memahami agama, cara yang kita pakai mencerminkan taraf egoisitas, intelektualitas dan spiritualitas kita.
1. Memahami agama dengan ego atau hawa nafsu. Dalam Islam contoh sempurnanya adalah kaum-sekte Khawarij dan yang sejenisnya. Mereka beragama hanya demi memenuhi ego-hawa nafsunya saja, mengikuti kehendak raga-indra, pikiran, perasaan, prasangka dan kepentingannya. Agama hanya dijadikan topeng agar ego-hawa nafsunya itu tampak dan dirasakan suci. Mereka beragama seperti orang berpolitik, dasar pokoknya hanya selera dan kepentingan, tidak memiliki patokan-standar yang jelas karenanya diantara mereka sendiri akan sangat mudah terpecah dan berkonflik. Mudah sekali untuk mendeteksi orang-orang yang memahami agama dengan cara ini, cukup kritisi saja pandangan-pandangan mereka, biasanya nafsu amarah mereka langsung meledak, nafsu amarah adalah cermin valid taraf dominasi keseluruhan ego-hawa nafsu seseorang. Atau lihat saja tafsir-tafsir mereka terhadap agama, amat jelas mencerminkan ketidakmauan-ketidakmampuan mereka menggunakan akal dan hatinya.
2. Memahami agama dengan akal atau logika. Contohnya adalah kaum Mu'tazilah dan yang sejenisnya. Akal atau logika mengarahkan kita pada cara berfikir yang terukur, terstruktur dan pasti sehingga pengumpulan informasi, analisa dan pengambilan kesimpulan yang kita ambil menjadi sangat kredibel. Orang-orang yang beragama dengan akal adalah orang-orang hebat, kelemahan mereka hanya satu, mereka akan kesulitan memahami hikmah dibalik ajaran-ajaran agama yang dipandangnya tidak masuk akal, itu membuat mereka mudah terganggu imannya, mudah jatuh menjadi agnostik atau atheist atau minimal akan membuat mereka kesulitan mendapat maslahat lebih luas dari agama, wajar saja, mereka telah menutup diri dari "hidayah" di luar yang diberikan oleh akalnya.
3. Memahami agama dengan hati-spiritual, contohnya adalah kaum Sufi, merekalah penjaga agama yang sebenarnya. Mereka menghubungkan teks-teks kaku-mati agama dengan realitas terkini-termaslahat yang hidup, berkembang dan berubah. Mereka berusaha mengabaikan suara-suara ego-hawa nafsu saat memahami agama sehingga pemahaman agama mereka selalu terjaga obyektifitas dan keadilannya. Mereka bersedia mengabaikan suara-suara akal yang sering kali sangat "mengintimidasi" demi mendapat persepsi-pengetahuan yang lebih luas. Merekalah yang membuat agama tetap dalam posisinya sebagai pembawa kemaslahatan bagi umat manusia dan alam semesta secara keseluruhan.
Islam ibarat supermarket, dari ajaran yang paling lembut sampai yang paling keras ada, apa yg kita tangkap dari Islam-cara kita memahaminya menceminkan taraf keegoisan, intelektualitas dan spiritualitas kita. Yang ego-syahwatnya kuat akan cenderung menangkap sisi keras dari Islam, menjadi Khawarij atau turunannya, sebab Islam versi Khawarijlah yg paling "ramah" ego-syahwat, hasrat untuk marah-marah, menindas, bersetubuh, memperkosa, mencuri, merampok bahkan membunuh akan dengan mudah dicarikan dasar pembenarnya. Sementara bagi kaum Sufi, bahkan jikapun ada dalil yang jelas memerintahkan berbuat jahat atau tidak adil, mereka akan sangat berhati-hati, akan bertafakur, berzikir atau beristikharah, menanyakan langsung kepada sang maha tahu akan maksud hakiki dari dalil itu.
Ego-hawa nafsu hanya memberi kita kekuatan dan kesenangan, bukan kebenaran dan kebahagiaan. Agama adalah sarana kita menemukan kebenaran demi menggapai kebahagiaan, jelas tidak masuk akal jika di satu sisi kita mengklaim kebenaran agama kita tapi di sisi lain kita enggan mengabaikan suara-tipu daya ego-hawa nafsu kita saat memahami agama kita itu...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar