Jumat, 28 Oktober 2016

Ego dan Tauhid





Agamanya sama, etnisnya sama, jenis kelaminnya sama, tapi coba mereka melakukan riyadhoh atau istikharah untuk perkara yang sama, hampir pasti akan menghasilkan ilham atau petunjuk yang berbeda.


Kenyataan yang menunjukkan kalau tiap diri kita itu sebenarnya memiliki "Gusti", "Pamomong", "Dewa" atau "Tuhan" sendiri-sendiri dengan kebijakan sendiri-sendiri pula, menyesuaikan konteks-kondisi obyektif masing-masing diri kita. Pun demikian dengan keluarga kita, kampung kita, etnis kita, ras kita, kelompok kita atau bangsa kita, memiliki Gustinya sendiri-sendiri.


Tauhid-pengesaan Tuhan terjadi saat kita mampu mengabaikan "Gusti" pribadi kita (ego kita), keluarga kita, kampung kita, etnis kita, ras kita, kelompok kita (termasuk agama) atau bangsa kita, untuk kemudian hanya menyembah-mengikuti petunjuk Tuhan universal-sekalian alam. Tanpa itu, kita sejatinya hanya sedang mengesakan prasangka-gambaran-mitos-tahayyul akan Tuhan, masih syirik-menyembah ego-berhala secara hakikat.


Sekarang banyak orang mengklaim tauhid atau pengesaan Tuhannya paling murni tapi ironisnya, ego mereka ternyata sangat tinggi, pun demikian dengan fanatisme keluarga, kampung, etnis/kabilah, ras, kelompok/agama atau bangsanya, jauh lebih tinggi dari yang tauhidnya dihakimi tidak murni. Ini jelas adalah tragedi, kejahilan berbalut kesalehan. Setinggi-tingginya mereka hanya akan "mampu" menyembah-mendapat petunjuk dari Tuhan pribadi mereka sendiri, keluarga, kampung, etnis/kabilah, ras, kelompok/agama atau bangsanya, bukan menyembah-mendapat petunjuk dari Tuhan yang maha esa-universal-sekalian alam. Klaim tauhidnya paling murni itu ibarat klaim preman kalau dirinya paling baik, perilakunya sendiri sendiri sudah secara gamblang membantahnya...


Jumat, 21 Oktober 2016

Ilusi Alam Bawah Sadar





Saya mempunyai seorang teman yang agamis banget, soleh, santri, sangat taat beragama sejak kecil, profesi dia adalah sopir bus malam. Karena profesinya itulah, dia sering menghadapi banyak godaan. Pernah suatu saat dia diajak teman-temannya untuk "jajan", barangkali karena imannya sedang tipis, dia ngikut saja apalagi yang ngajak sekaligus bayar adalah teman dekatnya, tentu gak enak menolaknya, pikirnya mungkin. Tapi apa yang kemudian terjadi?, ternyata saat hendak dipakai, "itu" dia gak bisa bangun alias berdiri, sudah diuprek-uprek tetep aja tidur, istiqomah nglentruk katanya, sudah berusaha dijamuni tetep aja gak bisa manggung, kluruk. Saya ngakak guling-guling waktu mendengar cerita dia itu dulu.


Dulu, waktu hidup di kota, karena berbagai alasan, saya pindah kost, ada ide liar yang ada di pikiran saya waktu itu, saya ingin jadi sosok yang berbeda di tempat kost saya yang baru. Sebelumnya-di tempat kost yang lama, saya dikenal sebagai sosok alim, lugu, tanpa dosa dan belum tersentuh kotornya zaman, sama seperti saat masih hidup di kampung. Di tempat kost yang baru, saya ingin tampil sebagai anak gaul yang modern, suka merokok, minum, dugem, belagu. "Tekad" saya itu saya mulai dengan belajar merokok, setiap ada tawaran rokok dari teman, dengan penuh percaya diri saya terima padahal sebelumnya hampir tidak pernah merokok sama sekali. Untuk perkara rokok ini, dengan cepat saya bisa menyesuaikan diri, langsung bisa merokok dengan alami, tampak "prof".


Tapi belum sempat jadi gaul betulan, tragedi terjadi, suatu saat di malam minggu teman saya ngajak saya minum bir!. Saya langsung gugup, jantung berdegup kencang, sekuat tenaga saya berusaha menutupi fakta itu, saya berusaha tampak santai seolah sudah biasa minum bir. Dengan tangan sedikit gemetar saya mengambil bir yang diberikan teman, langsung saya meminumnya. Tapi apa yang kemudian terjadi?. Begitu bir masuk ke mulut, lidah saya langsung kram, mata melotot, perut mual, hampir saja saya memuntahkan bir itu, saya sungguh tidak tahan dengan rasa pahit bir dan aromanya yang mirip tahu busuk itu, rasa-rasanya lebih enak kencing kuda diech, pikirku waktu itu, hampir-hampir bir itu tidak sanggup kutelan, tidak sesuai dengan bayanganku sebelumnya yang mengira rasa bir itu manis, mirip-mirip perasan peyeum gitu lagh. Pupus diech kepercayaanku pada cerita teman yang mengatakan kalau bir itu enak sekalipun pahit. Melihat ekspresi aneh saya, teman saya langsung tertawa, saya berusaha membela diri, bersilat lidah, meyakinkan teman kalau saya betul sudah biasa minum tapi sia-sia saja karena kayaknya itu malah membuat saya jadi makin tampak culun.


Pelajaran apa yang bisa diambil pengalaman saya dan teman saya itu?. Apa yang kita tanam-afirmasikan di alam bawah sadar kita mempengaruhi langsung persepsi dan fungsi-fungsi dasar tubuh kita. Wajar "itu" teman saya jadi gak bisa berdiri, mungkin wirid-afirmasi kalau "jajan" itu haram, dosa besar, tidak boleh dilakukan sudah tertanam begitu kuat di alam bawah sadarnya sehingga saat dia berusaha melakukan itu, alam bawah sadarnya langsung mengadakan "perlawanan" keras hingga berujung pada tak berdayanya "itu" teman saya. Wajar lidah saya langsung kram, perut mual saat mencoba minum bir, itu jelas adalah pertanda kalau keyakinan kalau bir itu haram, buruk, tidak boleh diminum sudah tertanam begitu kuat di alam bawah sadar saya, berusaha melawan, menghapus "tulisan" yang sudah tergurat dalam ini tentu akan perlu perjuangan yang sangat sulit, sama sulitnya dengan orang diajak pindah agama.


Alam bawah sadar kita ibarat ladang, akan menumbuhkan-merealitaskan apapun yang kita tanam di dalamnya, sayangnya, dia tidak mengenali bibit "tanaman" itu baik atau buruk, benar atau salah, semua yang ditanam di dalamnya akan ditumbuhkannya dengan ikhlas. Kepercayaan kepada agama adalah contoh paling dramatis akan betapa dahsyatnya dampak menanamkan suatu bibit di alam bawah sadar kita. Hampir semua orang beragama-bagaimanapun tidak masuk akal ajarannya pasti akan merasa kalau agamanyalah yang paling benar padahal hampir pasti itu hanya delusi, "mimpi" belaka. Untung saja, ajaran agama yang ditanamkan kuat di alam bawah sadar saya dan teman saya itu adalah sesuatu yang relatif baik, bagaimana jika dulu yang ditanamkan adalah keyakinan kalau yang tidak seagama dengan saya itu najis, jahat, khianat, harus ditekan, ditindas, dimusuhi bahkan dibunuh seperti yang biasa ditanamkan fundamentalis-teroris itu?, hampir pasti itu akan membuat saya sekarang-kecilnya menjadi anggota FPI, besarnya menjadi anggota ISIS yang hidup dalam prasangka, amarah dan kebencian, mengidap delusi, halusinasi, fobia, paranoia, psikopati bahkan skizofrenia.


Karena kenyataan itulah, sudah seharusnya kita berusaha sekuat tenaga untuk memfilter-hanya memasukkan-mengafirmasikan-mewiridkan ke alam bawah sadar kita sesuatu yang lahir-batin, akal-hati kita tahu persis baik-benarnya, bukan memasukkan prasangka, pikiran, perkataan, perbuatan, ajaran agama-budaya, mitos, tahayyul, cocoklogi atau teori konspirasi yang pada akhirnya justru akan memabukkan, menggilakan, membelenggu dan menjahatkan hidup kita...

Selasa, 18 Oktober 2016

Agama dan Tahayyul





Engkau mendapat pengetahuan dari agama yang keliru jika engkau membelakangi realitas (Guru Sufi Sanai).


Realitas yang dimaksud sang Guru Sufi ini tentu adalah realitas menurut persepsi akal atau sains dan yang utama, realitas menurut persepsi hati atau inner value. Penghormatan atas realitas adalah batas-penentu-penguji antara iman yang tidak punya kredibilitas-hanya didasari prasangka-tahayyul-generalisasi dengan iman yang sehat-yang punya kredibilitas, iman yang adil, yang bertumpu pada pengamatan menyeluruh atas fakta baik dengan menggunakan akal maupun hati.


Agama hanya merupakan persepsi tentang realitas apa-apa yang termaslahat pada satu waktu, tempat dan kondisi. Fundamentalisme-bigotisme bermula dari ketidakmauan-ketidakmampuan membaca perubahan atas realitas itu, mereka terlalu fokus pada teks-teks agama-cerita masa lalu sehingga lupa membaca situasi-dan kondisi nyata yang ada di depan mata. Akibatnya, mereka akan menjadi terasing-terpisah dengan alam nyata, tubuh-fisik mereka sudah ada di abad 21 tapi mental dan pikiran mereka masih tertinggal di puluhan abad yang lalu-masih mengira kalau realitas puluhan abad lalu itu masih sama-belum berubah. Masih banyak sekarang orang yang ngotot berpandangan kalau orang yang tak seagama pasti bodoh dan jahat sehingga harus terus ditekan-dimusuhi kalau perlu diperangi padahal realitas yang terjadi sekarang justru banyak yang sebaliknya, masih banyak orang yakin kalau bumi ini datar padahal sains secara gamblang telah berkata kalau bumi ini bulat. Masih banyak orang yang mengira banyak tradisi budaya-keagamaan di masyarakat kita sebagai bid'ah atau syirik yang buruk padahal tradisi itu sering bertumpu pada pemahaman makrifat atas apa yang termaslahat.


Kemampuan membaca realitas adalah jantung-penentu mampu tidaknya kita memahami apa-apa yang termaslahat bagi umat, manusia dan alam semesta secara keseluruhan, seharusnya itu menjadi standar ketrampilan pokok para penganut agama, sebab hanya itu yang akan menjaga agama tetap pada posisinya sebagai pembawa kemaslahatan...

Senin, 17 Oktober 2016

Ikut Muhammad atau Yesus?




Jika engkau ingin merubah dunia dengan tanganmu, ikutlah Muhammad, tapi jika engkau ingin merubahnya dengan hatimu, ikutlah Yesus (Rumi).


Rumi sebenarnya tidak sedang berbicara agama, berdakwah atau menganggap semua agama benar, dia hanya sedang berbicara tentang cara utama kita mencapai keinginan kita yaitu dengan menggunakan tangan, fisik, kekuasaan, kekuatan, diwakili Muhammad atau menggunakan hati, ajakan, doa, kelembutan, diwakili Yesus. Tidak ada yang lebih baik atau lebih buruk di antara keduanya asal ditempatkan pada konteks, situasi dan kondisi yang tepat. Menggunakan tangan bagus jika kita punya kapabilitas dan yang dihadadapi adalah masyarakat  yang keras dan egois, tertutup hatinya seperti masyarakat Arab, menggunakan hati juga bagus jika yang dihadapi adalah masyarakat yang lembut, lemah atau bahkan tertindas seperti masyarakat Yahudi di era Yesus. Tapi yang jelas, baik cara Muhammad maupun cara Yesus membutuhkan dasar kawruh, baik kawruh secara akal maupun secara hati-spiritual-kebatinan, tanpa ditopang itu, cara apapun hanya akan berarti spekulasi, tahayyul.


Jika Yesus atau yang sekondisi dengannya seperti Dalai Lama, Mahatma Gandhi atau Sunan Kalijaga ngotot ingin merubah dunia dengan tangannya, hampir pasti mereka akan gagal, akan dijauhi atau bahkan dilibas masyarakat dan penguasanya, tidak akan mampu tumbuh dan merubah sejarah. Pun demikian jika Muhammad atau yang sekondisi dengannya seperti Sukarno ngotot menggunakan cara Yesus untuk merubah dunia, hampir pasti akan gagal, hati keras dan egois, tertutup, hanya mungkin mendapat "hidayah" jika disadarkan kalau dirinya tidak sebenar dan sekuat yang dikira.


Masalahnya sekarang, banyak orang membabi-buta, tanpa dasar kawruh meniru apa adanya cara Muhammad atau Yesus. Di saat situasi dan kondisi sangat membutuhkan cara Yesus, mereka ngotot menggunakan cara Muhammad, kekalahan bahkan kehancuranlah akibatnya seperti yang banyak terjadi di Timur Tengah. Sebaliknya, disaat cara Muhammad sangat diperlukan, masih banyak orang atau negara yang hanya menasihati, mengkritik, mengecam atau mengatakan "prihatin", akibatnya, genosida masih saja terjadi di abad ini, abad dimana dunia sudah memiliki kemampuan penuh mencegahnya...

Sabtu, 15 Oktober 2016

Jimat, Agama dan Idola





Waktu hidup di kota dulu, saya memiliki seorang teman akrab. Dia pernah cerita kalau dulunya pernah memiliki jimat ampuh. Jimat itu membuatnya jadi pemberani, sakti mandraguna penuh wibawa, ditakuti dimana-mana, tapi sayang, jimat itu juga membuatnya jadi bertemperamen keras, kasar, labil, emosional, mau benar dan menang sendiri, pokoknya "senggol bacok", hawanya mau duel mulu, sedikit saja ada orang mengganggunya, kecilnya dicaci-maki, besarnya dibuat babak belur. Setelah sekian lama memiliki jimat itu dan merasa tidak ada perkembangan hidup yang berarti, teman saya itu kemudian sadar, lalu membuang jimat itu. Setelah dibuang, dia justru menjadi merasa sangat lega, serasa diruwat, tercerahkan, pikirannya jadi lebih jernih, perilakunya jadi lebih terkontrol, hidupnya jadi lebih mapan.


Pelajaran apa yang bisa diambil dari kisah hidup teman saya itu?.


Jimat memiliki dampak psikologis-spiritual yang kurang lebih sama dengan agama dan idola, mempengaruhi langsung jantung kesadaran kita. Jika kita gagal memilih agama (atau lebih tepatnya : pemahaman agama) dan idola yang tepat, yang membantu naiknya taraf kesadaran kita, kesadaran kitalah justru yang akan dirampasnya, kita akan menjadi orang lain, "kesurupan", menjadi "jajahan" yang terus dibodohi dan dieksploitasi justru oleh obyek yang kita cintai-idolakan.


Karena kenyataan itulah, sampai sejauh mana suatu agama dan idola secara esensi benar, baik dan berguna bisa dilihat dari sampai sejauh mana "pengajaran" dari agama dan idola kita itu membantu menaikkan kesadaran-ma'rifat kita-melemahkan ego-hawa nafsu kita. Jika agama dan idola justru membuat kita semakin "mabuk", ego kita semakin tinggi, agama dan idola kita secara esensi salah, sesat dan menyesatkan...

Ego dan Hidayah





Letak dan tingkat ego kita menentukan siapa yang akan menghidayahi kita berikut bagaimana sifat atau wujud dari hidayah itu.


Dulu, dalam keadaan sakit parah, antara hidup dan mati, antara sadar dan tidak, saya bermimpi didatangi orang yang berpakaian serba putih, dia kemudian mengusap tubuh-punggung saya, tubuh saya menjadi hangat dan bergetar hebat, saya terbangun, ajaibnya, sakit saya kemudian berangsur sembuh. Siapakah orang yang hadir dalam mimpiku itu?, siapapun dia, saya percaya, dia sosok yang pernah hidup dan memiliki karomah/mukjizat yang besar, seorang Wali atau Sufi. Ego-keinginan kuat saya untuk sembuh telah membuat getaran energi spiritual saya menjadi selaras-terhubung dengan getaran energi spiritual dia. Kepercayaan yang saya anut (Islam) membuat yang mendatangi saya beratribut Islam, mungkin kalau saya Hindu, yang mendatangi adalah Wisnu atau Krisna, jika saya Kristen, Yesus atau Santo penyembuh.


Dulu, dalam keadaan hidup saya sangat terpuruk, gagal karier dan cinta, saya bermimpi bertemu dengan saudara saya yang sudah meninggal, dia menyuruh saya agar belajar agama xxx. Karena saya Muslim taat, mimpi itu jelas membuat saya galau, setelah dihitung-hitung maslahat-mudaratnya, keputusan akhirnya saya tidak melaksanakan perintah dalam mimpi itu. Tapi walau begitu, saya percaya, jika mimpi itu saya jalankan, hidup saya betul akan lebih baik, bangkit dari keterpurukan, alasannya logis saja, banyak teman sukses dan menyenangkan saya yang beragama xxx, kalau saya belajar agama xxx apalagi menjadi xxx, tentu akan dengan mudah mendapat "simpati" mereka sehingga membantu karier dan cinta saya.


Dulu, waktu masih menjadi pedagang, saya sering sekali berdoa minta agar rejeki saya lancar-dagangan saya laris. Pada suatu malam saat saya khusuk berdoa, tiba-tiba saya mendapat "hidayah", bisikan atau wangsit yang intinya menyuruh saya agar berpuasa "kapit weton" atau puasa hari lahir menurut kalender Jawa. Karena saya menilai "hidayah" kali ini tak membahayakan aqidah, dengan senang hati saya jalankan. Dan memang betul, setelah saya jalankan, rejeki jadi lancar-dagangan saya jadi laris. Pertanyaannya, siapa yang memberi petunjuk pada saya itu?. Kalau itu setan (sebagaimana "fatwa" teman Muhammadiyah saya), kok baik betul ya, petunjuknya benar dan terbukti..., kalau itu malaikat atau Tuhan, kok aneh ya, puasa kapit weton kan bid'ah, tidak ada dasar, contoh atau tuntunannya!. Siapapun dia, jelas dia mencerminkan letak ego dan budaya yang saya pegang, kalau saya bukan pedagang dan bukan orang Jawa, tidak mungkin saya mendapat petunjuk seperti itu.


Yang jelas dari tiga pengalaman spiritual saya yang cukup kontradiktif itu, samar-samar saya bisa memahami bagaimana arah dan mekanisme alam bawah sadar-kesadaran-pengetahuan lebih tinggi kita bekerja. Sifat dan wujud dari ilham, wangsit, hidayah, wahyu, ide atau apapun namanya, sangatlah ditentukan letak dan tingkat ego kita, baru berikutnya, moral, budaya atau agama kita. Wajar saja saya menjadi didatangi orang suci berbaju putih yang kemudian menyembuhkan saya, sebab ego-keinginan terbesar saya waktu itu adalah sembuh dari sakit dan saya seorang Muslim. Ego-keinginan kuat saya itu menjadi magnet yang menarik energi-spirit penyembuhan di belahan dunia manapun itu berada. Wajar saja saya mendapat petunjuk untuk mempelajari agama xxx, tentu ini karena ego saya masih ada pada uang, karier dan wanita, jika petunjuk itu saya jalankan, pasti akses saya terhadap itu akan menjadi lebih mudah. Wajar juga saya mendapat petunjuk untuk berpuasa kapit weton, puasa itu mampu melembutkan hati, menaikkan empati, membuat saya lebih mampu memahami sekaligus mengikuti apa yang dimaui pembeli sehingga efeknya membuat dagangan saya lebih laris. Tidak ada yang istimewa kalau Felix Siauw mendapat hidayah menjadi Muslim, mungkin ego terbesar dia ada pada uang dan ketenaran, menjadi Muslim akan berarti jalan pintas-mudah untuk mencapai itu mengingat umat Islam sedang dalam posisi "gila" mualaf, demikian juga dengan Asmirandah yang menjadi Kristen, mungkin ego terbesar dia ada pada cinta-kasih sayang dan hanya dengan dia menjadi Kristen dia akan mendapatkan itu sepenuhnya.


Letak dan tingkat ego kita menentukan siapa yang akan menghidayahi kita berikut bagaimana sifat atau wujud dari hidayah itu. Alam bawah sadar-kesadaran-pengetahuan lebih tinggi kita adalah "komputer" hebat yang tahu segalanya tapi lugu, tidak mengerti apa yang benar secara universal, dia hanya akan "mengerjakan", menghubungkan, memberi petunjuk atas apa-apa yang kita inginkan, ego kita. Kalau ego kita masih dibiarkan-diletakkan di titik terendah, masih dikuasai amarah atau lawamah, jangan mimpi, geer apalagi takabur, mengklaim mendapat hidayah-petunjuk Tuhan-sang maha benar, kita hanya akan mendapat petunjuk dari ego kita saja, mungkin saja petunjuk itu menguntungkan bagi diri kita tapi jelas, kecil kemungkinannya untuk secara esensi benar atau menguntungkan bagi orang lain...

Rabu, 12 Oktober 2016

Sihir Suci





Waktu remaja dulu, saya pernah diajari teman saya cara memelet orang, uniknya, doa, wirid atau mantra yang digunakan hampir semuanya diambil dari Qur'an, jimat/rajah yang dipakai menggunakan tulisan Qur'an (Arab) dan amalan-amalan yang harus dijalankan adalah sunah-sunah yang biasa dilakukan orang Islam seperti puasa, sedekah, solat hajat dan lain sebagainya, tidak terlihat ada hawa amalan "setan" di dalamnya.


Karena terkesan sangat Islami seperti itu, saya menjadi hilang akal, berdelusi, mengira apa yang diajarkan teman saya itu adalah sesuatu yang halal, baik, barokah. Sayapun dengan senang hati mempraktekkannya, saya merasa menjadi orang soleh, orang yang sedang berikhtiar melaksanakan sunah-sunah Rasul, orang yang dekat dengan Tuhan. Apalagi teman yang mengajari saya ilmu itu selalu meyakinkan saya kalau itu tidak berdosa asal tidak diniatkan untuk main-main, asal kalau sudah terpelet harus dinikahi, menikah adalah sunah dan mengusahakan melaksanakan sunah akan bernilai sunah juga.


Ironis sekali, perbuatan yang jelas adalah sihir yang sangat egoistik-sesuatu yang sangat terlarang dalam Islam menjadi dengan mudah berubah "rasa", menjadi dirasakan sebagai sunah-kebaikan saat itu dipoles dengan "baju", bahasa, ajaran dan simbol agama. Kenyataan yang kurang lebih sama sebenarnya banyak terjadi di kalangan orang "soleh" kita sekarang. Lihat saja, berkat "polesan" agama, banyak orang yang sebenarnya sangat egois, serakah, pemarah, hobi mencuri, membodohi, berzina, menindas, menyakiti, mencuci otak, memfitnah bahkan membunuh, tidak menyadari sedikitpun kalau itu adalah sesuatu yang salah, mereka sukses mengkamuflase ego-hawa nafsu primitif mereka dengan agama, sesuatu yang hakikatnya justru mengajarkan penganutnya untuk mengekangnya...





Senin, 10 Oktober 2016

Sikap Baik Menghasilkan Energi Baik




Bapak saya dulu kalau hendak memotong ayam, kelinci, kambing atau ternak apapun biasanya akan memperlakukan mereka-hewan yang akan dipotong itu dengan sangat baik, dikasih makan dan minum yang cukup dan enak-enak, dibelai, pokoknya tidak membiarkannya lapar, sakit, marah, takut, stress atau tersiksa menjelang akhir hidupnya.


Dulu siech saya memandang perlakuan Bapak saya itu konyol, gak ada gunanya, untuk apa dibaiki kalau akhirnya toh dipotong juga..., begitu pikir saya. Tapi sekarang saya mengerti hikmahnya, saya juga mengerti mengapa orang di negara-negara maju biasanya akan memperlakukan ternak dengan sangat baik, misalnya dengan memingsankan dulu hewan yang akan dipotong. Praktik yang kelihatannya sangat sekuler tapi sebenarnya sangat relijius-spiritual. Ironisnya, praktik baik ini justru sering ditentang oleh orang yang mengaku agamis, menganggap perlakuan itu tidak sesuai dengan yang diajarkan agama.


Energi buruk dari rasa sakit, marah, takut, tersiksa, stress yang terjadi menjelang hewan dipotong itu akan mengendap dalam daging hewan itu, akan berpindah- membawa pengaruh buruk bagi siapapun yang mengkonsumsinya, semakin tinggi "kesadaran-kecerdasan" hewan itu, semakin buruk dampaknya. Perlakuan baik-membebaskan hewan yang akan dipotong itu dari rasa sakit, marah, takut, tersiksa, stress menjelang dipotong adalah upaya sempurna meminimalisir dampak buruk saat kita mengkonsumsi daging hewan itu...

Taklid, Akal dan Hati





Jaman saya kecil dulu, sekitar kelas empat atau lima SD, saya diajak teman-teman saya yang lebih besar ngabuburit dengan mandi berenang di sebuah cekdam atau bendungan kecil (situ) di daerah saya. Meskipun masih terletak di satu kampung, jaraknya cukup jauh, sekitar 3 kilo meter, harus berjalan naik turun bukit plus menyeberangi beberapa sungai baru sampai di cekdam itu.


Sesudah sampai, satu persatu teman saya nyemplung ke dalam cekdam, dengan aneka gaya dan teknik tentunya. Melihat itu, dengan lugu dan tanpa dosanya, saya ikut nyemplung juga padahal sebelumnya tidak pernah belajar berenang sama sekali. Akibatnya bisa ditebak, fatal, ternyata cekdam itu dalam, begitu nyemplung saya langsung timbul-tenggelam. Tidak ada yang tahu-menyadari saya tenggelam, mungkin teman-teman saya mengira saya sedang bermain "slulupan" atau berenang gaya batu sehingga cuek saja, tidak segera menolong saya. Sayapun tidak sempat minta tolong, sibuk dengan diri saya sendiri yang tengah berjuang sekuat tenaga menghindari diri dari tenggelam-dari kematian, berliter-liter air masuk ke perut dan paru-paru saya. Barangkali karena saya ditakdirkan untuk berumur lebih panjang, tiba-tiba ada teman saya lewat di dekatku, langsung saya pegang kuat-kuat teman saya itu. Saya berhasil menepi walau teman saya itu kemudian marah-marah karena dia jadi ikut tenggelam gara-gara dijadikan "ban" oleh saya.


Sesampainya di tepi, saya bengong, serasa seperti masuk ke alam lain, alam mimpi, saya masih bisa melihat dan mendengar tapi tidak bisa merespons. Teman-teman saya yang mengajak bicara bahkan marah-marah, tidak "mampu" saya jawab, pokoknya diam saja, bingung seperti orang kesambet. Menjelang magrib kami pulang, sesampai di rumah, saya merasa letih sekali, saya langsung tertidur (mungkin malah pingsan), besok malamnya baru bisa bangun. Setelah kejadian itu, entah mengapa saya jadi bisa berenang bahkan terhitung lebih berani dari teman-teman saya. Sayalah orang pertama yang membuat tradisi baru, berenang menyeberangi cekdam dari selatan ke utara dan dari barat ke timur. Sebelumnya, tidak ada teman saya yang berani atau mau melakukannya, kalau berenang ya hanya sekedar di tepian cekdam saja.


Pelajaran apa yang bisa kita ambil dari pengalaman dramatis saya itu...?. Ternyata untuk sekedar taklid, meniru atau berguru kita perlu batas minimal pengetahuan yang harus kita miliki. Tidak boleh membabibuta, tidak boleh asal ikut, asal "telan", tidak boleh meniru hanya apa yang terlihat. Kita harus tahu kapasitas diri kita, kita harus berakal dan berhati, menjadi "manusia" sepenuhnya terlebih dulu sebelum belajar atau meniru hal lainnya sehingga peniruan kita menjadi "berjiwa", peniruan yang lengkap.


Masalahnya, banyak orang sekarang bertaklid, meniru atau berguru terutama sekali dalam perkara agama dan politik seperti halnya saya ikut meniru teman-teman saya berenang itu dulu, "prampang-prumpung", asal ikut, asal telan. Mengklaim dan merasa meniru Nabi, Wali atau orang soleh-suci lainnya tapi yang ditiru hanya sisi lahir-tampak luarnya saja-jenggot dan jubahnya, tidak berusaha meniru sisi tidak tampaknya, batinnya, makrifatnya, pencerahannya, kebijaksanaannya, mukjizat atau karomahnya. Akibatnya bisa ditebak, banyak orang kemudian "tenggelam", terjerumus pada kematian akal, hati bahkan fisiknya seperti halnya yang terjadi pada para fundamentalis-teroris itu. Masih sangat beruntung saya, tenggelamnya malah berujung pada diajarinya saya oleh kesadaran-pengetahuan lebih tinggi saya, "pamomong" saya ilmu agar di kemudian hari tidak tenggelam lagi. Tapi itu jelas peluangnya sangat kecil, tidak bisa diharapkan bakal terjadi pada banyak orang.


Ki Enthus Susmono kalau ngomong saru itu akan tampak lucu, tapi coba itu ditiru dalang lain, akan tampak wagu, norak..., Nabi kalau merukyat orang mungkin akan sembuh, tapi coba itu ditiru anda, mungkin malah akan kambuh..., sebab yang dalang lain dan anda tiru itu hanya sisi lahirnya, bukan ilmu-spirit yang mendasarinya...

Minggu, 09 Oktober 2016

Ego, Akal dan Hati dalam Beragama





Ada tiga cara kita memahami agama, cara yang kita pakai mencerminkan taraf egoisitas, intelektualitas dan spiritualitas kita.

1. Memahami agama dengan ego atau hawa nafsu. Dalam Islam contoh sempurnanya adalah kaum-sekte Khawarij dan yang sejenisnya. Mereka beragama hanya demi memenuhi ego-hawa nafsunya saja, mengikuti kehendak raga-indra, pikiran, perasaan, prasangka dan kepentingannya. Agama hanya dijadikan topeng agar ego-hawa nafsunya itu tampak dan dirasakan suci. Mereka beragama seperti orang berpolitik, dasar pokoknya hanya selera dan kepentingan, tidak memiliki patokan-standar yang jelas karenanya diantara mereka sendiri akan sangat mudah terpecah dan berkonflik. Mudah sekali untuk mendeteksi orang-orang yang memahami agama dengan cara ini, cukup kritisi saja pandangan-pandangan mereka, biasanya nafsu amarah mereka langsung meledak, nafsu amarah adalah cermin valid taraf dominasi keseluruhan ego-hawa nafsu seseorang. Atau lihat saja tafsir-tafsir mereka terhadap agama, amat jelas mencerminkan ketidakmauan-ketidakmampuan mereka menggunakan akal dan hatinya.

2. Memahami agama dengan akal atau logika. Contohnya adalah kaum Mu'tazilah dan yang sejenisnya. Akal atau logika mengarahkan kita pada cara berfikir yang terukur, terstruktur dan pasti sehingga pengumpulan informasi, analisa dan pengambilan kesimpulan yang kita ambil menjadi sangat kredibel. Orang-orang yang beragama dengan akal adalah orang-orang hebat, kelemahan mereka hanya satu, mereka akan kesulitan memahami hikmah dibalik ajaran-ajaran agama yang dipandangnya tidak masuk akal, itu membuat mereka mudah terganggu imannya, mudah jatuh menjadi agnostik atau atheist atau minimal akan membuat mereka kesulitan mendapat maslahat lebih luas dari agama, wajar saja, mereka telah menutup diri dari "hidayah" di luar yang diberikan oleh akalnya.

3. Memahami agama dengan hati-spiritual, contohnya adalah kaum Sufi, merekalah penjaga agama yang sebenarnya. Mereka menghubungkan teks-teks kaku-mati agama dengan realitas terkini-termaslahat yang hidup, berkembang dan berubah. Mereka berusaha mengabaikan suara-suara ego-hawa nafsu saat memahami agama sehingga pemahaman agama mereka selalu terjaga obyektifitas dan keadilannya. Mereka bersedia mengabaikan suara-suara akal yang sering kali sangat "mengintimidasi" demi mendapat persepsi-pengetahuan yang lebih luas. Merekalah yang membuat agama tetap dalam posisinya sebagai pembawa kemaslahatan bagi umat manusia dan alam semesta secara keseluruhan.


Islam ibarat supermarket, dari ajaran yang paling lembut sampai yang paling keras ada, apa yg kita tangkap dari Islam-cara kita memahaminya menceminkan taraf keegoisan, intelektualitas dan spiritualitas kita. Yang ego-syahwatnya kuat akan cenderung menangkap sisi keras dari Islam, menjadi Khawarij atau turunannya, sebab Islam versi Khawarijlah yg paling "ramah" ego-syahwat, hasrat untuk marah-marah, menindas, bersetubuh, memperkosa, mencuri, merampok bahkan membunuh akan dengan mudah dicarikan dasar pembenarnya. Sementara bagi kaum Sufi, bahkan jikapun ada dalil yang jelas memerintahkan berbuat jahat atau tidak adil, mereka akan sangat berhati-hati, akan bertafakur, berzikir atau beristikharah, menanyakan langsung kepada sang maha tahu akan maksud hakiki dari dalil itu.

Ego-hawa nafsu hanya memberi kita kekuatan dan kesenangan, bukan kebenaran dan kebahagiaan. Agama adalah sarana kita menemukan kebenaran demi menggapai kebahagiaan, jelas tidak masuk akal jika di satu sisi kita mengklaim kebenaran agama kita tapi di sisi lain kita enggan mengabaikan suara-tipu daya ego-hawa nafsu kita saat memahami agama kita itu...

Kamis, 06 Oktober 2016

Topeng Suci




Dulu-waktu masih menjadi aktifis dakwah lengkap dengan jenggot, kopyah putih dan bicara akhi-ukhtinya, jujur, itu tidak pernah membuatku menjadi orang yang lebih sabar, zuhud, ikhlas dan tawakal, cermin-ekspresi hakiki relijiusitas-spiritualitas..., sebaliknya, malah membuatku makin keras, binal, munafik, penuh prasangka, mau benar dan menang sendiri, cermin-ekspresi hakiki egoisitas-hawa nafsu. Sabar, ikhlas dan tawakal hanya sebatas klaim, retorika dan sikap wajah-tubuh, batin saya sejatinya tetap rapuh, penuh angkara, mudah menggelegak hanya dengan sedikit pemicu.


Hanya karena ditolak cinta saja membuatku jadi tersinggung berat, jadi menghakimi kalau wanita yang menolakku itu bodoh, tidak mengerti agama, tidak mau dibimbing ke jalan yang lurus, akan tertimpa musibah karena berani menolak "pinangan" orang soleh. Hanya karena ide atau proposal saya ditolak sering langsung berprasangka buruk, menyangka kalau orang yang menolak ide atau proposal saya itu sama saja sedang menolak ide, nilai atau ajaran Islam. Bahkan hanya karena dagangan saya tidak laku saja membuatku jadi "gila", memandang rendah, zalim, fasik, munafik mereka yang tak mau membeli dagangan saya..., tidak pernah membuatku jadi introspeksi. Saya adalah Islam dan Islam adalah saya, begitulah intinya, yang tidak sejalan dengan saya bahkan untuk urusan yang sangat "duniawi" berarti tidak sejalan dengan Islam dan yang tidak sejalan dengan Islam pasti tidak akan sejalan dengan saya. Kenyataan yang mencerminkan kalau agama telah sangat sukses dijadikan pengkamuflase ego-ego rendah saya hingga tampak dan dirasakan suci, dijadikan semata alat-budak meraih citra, harta, wanita dan tahta.


Sekarang, masih sangat banyak orang, politisi dan agamawan yang berfikir, bersikap dan "bernasib" seperti saya itu dulu, atas nama rakyat, negara, agama atau Tuhan, mereka mengkamuflase ego-ego rendah-primitif mereka sehingga menjadi tampak dan dirasakan suci-mulia. Fitnah-tipu daya ego-hawa nafsu-setan yang benar-benar sulit dikenali-disadari kecuali mereka yang benar-benar ikhlas mau dan mampu menyepikan-mengheningkan diri..., belajar mengenali suara hatinya...

Selasa, 04 Oktober 2016

Antara Swastika dan Jenggot




Di Eropa, orang memiliki lambang swastika bisa ditangkap dan dipenjarakan, demikian juga di negara kita jika ada orang yang kedapatan memiliki lambang palu arit. Kenapa siech orang-orang Barat begitu sensitif dengan lambang swastika dan orang kita dengan lambang palu arit...?. Padahal swastika asalnya adalah lambang suci agama Hindu sementara palu arit adalah lambang kerja keras, tidak ada yang salah pada keduanya.


Alasannya sebenarnya rasional bahkan spiritual, karena-baik swastika maupun palu arit pernah dijadikan "jimat", ikon, lambang, "berhala" bagi sekelompok orang-orang gelap-barbar. Lambang itu sekarang memiliki peran mirip boneka jelangkung atau keris Mpu Gandring, menjadi magnet, penarik energi negatif, siapapun yang memiliki atau memujanya akan dengan mudah "kerasukan", terhubung dengan spirit kegelapan-kebarbaran dari masa lalu, NAZI dan PKI, disadari ataupun tidak.


Kenyataan sama bisa saja terjadi pada lambang-lambang perjuangan dan keagamaan lain. Jika umat Islam gagal membendung, menentang habis-habisan orang-orang egois, jahil, binal, barbar menggunakan lambang-lambang Islam seperti jenggot, hijab, bahasa/tulisan Arab, sangat bisa jadi, ke depannya itu akan bernasib sama dengan swastika atau palu arit, orang melihatnya saja sudah trauma, ketakutan, yang memakai-memujanya akan segera "kerasukan" spirit egoisme, kejahilan, kebinalan dan kebarbaran. Kenyataan itu sudah sangat jelas terlihat tanda-tandanya sekarang, orang Eropa melihat orang berhijab saja sudah benci bahkan takut, segera mengasosiasikannya dengan penindasan dan terorisme, orang kita yang berjenggot hampir pasti memiliki kecendrungan berkarakter lebih keras dan egois..., mereka telah menyerap sebagian "ruh" Osama Bin Laden, Abu Bakar Al-Baghdadi atau Muhammad bin Abdul Wahab yang juga menggunakan "jimat" yang sama, jenggot...

Minggu, 02 Oktober 2016

Yang Ikhlas, Berbalas




Sedekah yang ikhlas adalah salah satu bentuk "tapa ngrame" yang memiliki dampak spiritual yang sama dengan tapa  nyepi. Itu adalah ritual-tarikat pengurangan kemelekatan-ego-hawa nafsu-kuasa raga yang pada akhirnya akan menghubungkan kita dengan jati diri kita, hati kita, kesadaran-kekuatan-pengetahuan lebih tinggi kita, "Gusti-Dewa" kita. Keterhubungan yang akan membuat hidup kita diberkahi, dirahmati, terbimbing, selalu diarahkan pada apa-apa yang terbaik-termaslahat bagi diri kita..., tapi jelas, itu tidak harus berujud uang atau materi, kekuasaan atau, wanita atau hal-hal hedonistik lainnya.


Sedekah yang tidak ikhlas, berpamrih, mengharap balas itu sama seperti "sedekah" seorang caleg menjelang pemilu, nilainya sama dengan orang berdagang, akan tergantung dan tergadai-tersandera, menjadi hutang selagi caleg belum mendapat pengembalian berupa terpilihnya dia..., sementara jika caleg tidak terpilih, sedekahnya akan segera berubah menjadi "racun" yang sangat merugikan baik bagi sang caleg maupun bagi yang menerimanya.


Jadi, tragis sebenarnya kalau sekarang ada ustadz-di satu sisi mengajak orang untuk rajin bersedekah tapi di sisi lain disertai janji pengembalian yang berlipat ganda. Mereka ibarat menganjurkan makan obat hipertensi dan hipotensi secara bersamaan, telah mematikan potensi manfaat sedekah itu sendiri. Sebab saat sedekah kita sudah didasari pamrih, habislah sudah dampak spiritualnya, tidak akan menghasilkan apa-apa, sama seperti saat ibadah kita hanya didasari harapan akan syurga atau ketakutan akan neraka..., membuat pikiran kita sulit kosong, khusuk, meditatif saat beribadah sehingga sulit pula diisi petunjuk dari jati diri kita, hati kita, kesadaran-pengetahuan lebih tinggi kita, Gusti-Dewa kita. Anjuran itu memang akan memberi masyarakat limpahan kekuatan-motivasi untuk bersedekah tapi jelas tidak akan memberi mereka manfaat luas-agung sebagaimana tapa brata yaitu manfaat berupa pengetahuan akan kebenaran terutama kebenaran tentang apa-apa yang maslahat bagi kita.


Jadi ingat dulu waktu masih senang bersedekah-berbuat pada teman-sesama, banyaknya balasan kebaikan dari orang-orang yang saya baiki malah memicu pikiran serakah, pamrih, ingin berbuat baik lebih banyak lagi tapi dengan niat dapat pengembalian yang juga lebih banyak. Balasan itu juga membuatku jadi gemar "memperhatikan-mencatat" mereka yang tidak membalas balik kebaikanku. Kenyataan yang menunjukkan kalau balasan langsung atas suatu kebaikan sebenarnya adalah jebakan dan godaan yang jika kita gagal menyikapinya, akan segera merampok habis dampak mental-spiritusl dari kebaikan kita. Bersedekahlah, berbuatlah baik pada sesama dan lupakanlah agar itu tetap menjadi kebaikan...