Senin, 30 April 2018

Tidak Menghakimi, Tidak Menzalimi



Ambon dulunya adalah daerah yang aman, damai, toleran, saling menghargai..., tapi coba lihat, hanya karena persoalan yang sangat sepele, dalam sekejap mata, Ambon berubah menjadi "neraka". Pun demikian yang terjadi dengan banyak daerah lain di Indonesia dan dunia. 


Mengapa itu bisa terjadi...?. Agama yang mereka peluk, mereka rusuh itu faktor dominannya bukanlah karena dipalak, dicuri, dianiaya atau yang lainnya melainkan karena keyakinan kalau orang Kristen atau Islam itu sesat, musuh Allah. Keyakinan yang seperti bom waktu, akhirnya meledak menjadi amukan, tidak tertanggungkan lagi untuk tubuh memendamnya. Palestina atau konflik lainnya menjadi masalah yang sangat sulit terselesaikan jelas penyebab dominannya juga sama, karena agama terlibat keras dalam konflik itu.


Untuk setiap kita memandang atau menghakimi rendah, buruk, salah atau dosa terhadap orang atau umat lain, kita menimbun satu energi amarah, semakin banyak yang ditimbun, semakin mungkin itu akhirnya akan meledak menjadi amukan, kekerasan atau kezaliman. Alam bawah sadar kita itu seperti matematika yang sangat jujur dalam menghitung, seperti ladang yang akan menumbuhkan apapun yang ditabur di atasnya. Hanya ada satu konsekwensi saat ditanamkan atasnya penghakiman rendah, buruk, salah atau dosa, yaitu dorongan untuk merubahnya, dan itu pasti, kecilnya dengan dakwah, berikutnya dengan tekanan-intimidasi hingga paksaan..., kalau tidak mau berubah juga, besarnya, bunuh.


Karenanya, bagaimanapun tampak baiknya, orang yang paling akan menjadi bahaya laten terhadap sesamanya tetaplah orang relijius (dogmatis-tekstual-organized), wajar saja, merekalah yang pasti akan menjadi yang paling sering-banyak menghakimi..., kebaikannya takkan menghentikan konsekwensi dari wirid-afirmasi buruk yang ditanamkan di alam bawah sadarnya..., itu akan tetap tumbuh dan berpotensi meledak sewaktu-waktu hanya dengan sedikit pemicu.


Membatasi apa yang dianggap rendah, buruk, salah, atau dosa itu sangat penting untuk menjaga diri kita dari peluang berlaku zalim. Kemaruk pada penghakiman memang nikmat, kita akan merasa pahlawan, baik, benar, penting, tahu..., tapi itu juga membawa kutukan kerasnya sendiri, yang bisa menghapus kebaikan seumur hidup kita hanya karena sekejap amarah yang tiba-tiba meledak, yang gagal dikendalikan.


Rendah, buruk, salah, dosa itu perkara hakikat yang "hidup", hanya orang orang-orang makrifat saja yang akan mampu memahaminya, kalau kita masih orang biasa, jangan pertaruhkan kemanusiaan kita untuk sesuatu yang kita tidak tahu persis duduk perkaranya...

Senin, 23 April 2018

Ego dan Wahyu



Bagaimana tingkat ego, keserakahan dan moralitas kita menentukan seberapa lebar range petunjuk, hidayah, ilham, wangsit atau wahyu saat kita menjalani "laku penyuwunan" atau riyalat.


Jika kita sangat egois-serakah sementara standar moral kita rendah, petunjuk akan memiliki range sangat lebar-banyak, tapi sayang, akan sangat oportunistik, apa saja mungkin-tersedia termasuk petunjuk untuk menjadi-berbuat jahat seperti menipu, memfitnah, memanipulasi, menteror hingga membunuh. Pernah mendengar cerita orang jaman dulu mengorbankan keluarga, tetangga, orang tua atau anaknya demi mendapatkan kekayaan atau kekuasaan?. Cerita itu benar, itulah salah satu contoh petunjuk yang akan didapat (saat menjalani laku spiritual) jika seseorang kelewat egois-serakah sementara di sisi lain, kelewat rendah moralitasnya. Kuat-berani mengorbankan sesama manusia apalagi orang terdekatnya akan berarti meledaknya energi mental-spiritual, membuat seseorang menjadi lebih mudah mewujudkan apapun yang menjadi obsesi, ego atau keserakahannya.


Hukum-hukum, fenomena, pola-pola yang terjadi pada dunia spiritual adalah proyeksi, cermin, gambaran sempurna konsekwensi, akibat, ujung dari sebuah pola pikir-perilaku yang terjadi di dunia nyata, ego akan menumbuhkan-menghasilkan ego (yang lebih besar). Banyaknya politisi dan agamawan kita sekarang yang gemar menghalalkan segala cara, berbohong, menghasut, memfitnah..., mengeksploitasi agama, golongan, etnis atau ras jelas adalah cermin tingginya ego atau keserakahan mereka. Sementara Tuhan, negara, rakyat, hanya dijadikan atas nama saja, kalau mereka tidak egois dan serakah, ide-ide kotor seperti itu takkan tumbuh-menghampiri kepala mereka. Orang-orang seperti itu, jikapun hidup dalam tradisi kuat agama atau spiritualitas, tetap takkan membuatnya jadi lebih baik, tetap hanya akan menjadikan itu sebagai sarana memenuhi ego-keserakahannya.


Jantung agama (dan spiritualitas) adalah pengendalian ego-keserakahan-hawa nafsu, semakin kuat-intensif agama mengajarkan itu, akan semakin tinggi kemungkinan agama itu mampu membawa penganutnya pada jalan lurus, pada kebenaran, pada kemaslahatan, pada Tuhan...

Sabtu, 21 April 2018

Agama dan Kehendak Alam



Agama pada dasarnya adalah persepsi-penilaian kesadaran-pengetahuan lebih tinggi pendirinya atas apa (ajaran-adat-budaya-mitos) yang terbaik yang harus dipercaya-diterapkan pada satu masyarakat, satu waktu, satu tempat, satu situasi dan kondisi..., sesuatu yang sangat terikat pada konteks. Sementara "cerita" bagaimana agama datang, sepenuhnya tergantung budaya, prasangka dan ego-obsesi pendirinya. Jika pendirinya orang Yahudi atau Arab, tentu pendirinya akan "merasa" mendapat wahyu dari Jibril berikut menunjuk dirinya menjadi Nabi, jika pendirinya orang Jawa, mungkin merasa Sanghyang Wenanglah yang memberi wahyu, jika orang India, Wisnu, Brahma atau Syiwa.


Karena kenyataan itu, agama sebenarnya tidak bisa (secara kaku-ekstrim) dikunci-didogmakan-diorganisasikan atau diuniversalkan-disebarkan jauh dari tempat asalnya. Sebab dia akan segera kedaluwarsa seiring berubahnya konteks-alasan yang menjadi dasar munculnya agama itu-seiring berubahnya masyarakat, waktu, tempat, situasi dan kondisi. Satu-satunya sisi dari agama yang bisa dikunci-didogmakan-diorganisasikan, diuniversalkan-disebarkan jauh dari tempat asalnya adalah cara atau metode memahami apa yang terbaik itu, sisi laku-tarikat atau spiritual dari agama. Sebab hanya itulah yang akan membuat agama tetap mampu fleksibel-upgradable, mengalir mengikuti arah "terkini" kehendak alam sehingga tetap mampu pula membawa kemaslahatan bagi pengikutnya dimanapun dan kapanpun.


Seandainya sekarang muncul agama baru di sini (Indonesia), mungkin, kesadaran-pengetahuan lebih tinggi pendirinya akan mempersepsikan kalau hewan yang perlu diharamkan atau disucikan bukan lagi babi atau sapi melainkan harimau, badak, gajah, banteng, orang utan dan lain-lain..., logis saja, itu adalah hewan yang terancam punah, terus diburu, mengharamkan atau mensucikannya jelas akan berarti keselamatan-kelestariannya. Sementara "kuil" tersucinya adalah hutan dan gunung-gunung, wajar saja, itu adalah sumber air utama umumnya orang Indonesia, mensucikannya akan berarti berkah, kesehatan dan energi-kekuatan bagi siapa saja yang memanfaatkan air yang mengalir darinya.


Hampir semua seni, adat, budaya hingga filsafat asli-tradisional orang Jawa (atau banyak etnis lain) sejatinya juga merupakan agama sekalipun tidak mengklaim diri sebagai agama, dia adalah "non-organized religion". Dia memiliki akar-lahir dari sesuatu yang sama dengan agama-agama yang datang dari Timur Tengah, India, Eropa atau tempat lainnya yaitu kesadaran-pengetahuan lebih tinggi penciptanya. Orang Jawa jaman dulu bahkan untuk menciptakan sebuah lagu akan didahului dengan puasa atau meditasi hingga berhari-hari, wajar kemudian lagu-lagu yang tercipta akan memiliki kekuatan mantra atau doa seperti halnya mantra atau doa suci agama-agama. Jangan under-estimate atau menilainya rendah hanya karena itu "buatan" lokal, tidak serumit buatan asing..., dalam hal agama-spiritualitas, justru semakin sederhana, tidak terdogma atau terorganisasi (non-organized) akan semakin baik sebab dia akan semakin fleksibel, semakin mungkin untuk kompatible dengan kebutuhan nyata-hakiki-spesifik pengikutnya, akan semakin kecil kemungkinannya memicu konflik atau benturan...

Rabu, 18 April 2018

Tempat Suci Kita, Jimat Kita



Tempat suci adalah "jimat", sarana kita menimbun energi-memori positif. Seperti halnya jimat pada umumnya, tempat suci-kecilnya akan membantu kita "menggetarkan" alam semesta sehingga pikiran, perkataan, harapan, doa-doa kita menjadi lebih mudah terwujud atau dikabulkan..., sementara besarnya, tempat suci akan membantu kita mengheningkan diri, menghubungkan kita dengan jati diri kita-alam semesta, menggapai kesadaran, makrifat atau pencerahan.


Jelas adalah pengrusakan dan PENISTAAN besar kalau tempat suci sampai digunakan untuk tujuan yang sebaliknya, untuk membangun-menimbun energi-memori negatif seperti prasangka, amarah, kebencian, kedengkian, keserakahan, birahi. Itu sama saja mengencingi lumbung beras atau mata air sumber minum kita sendiri. Tempat suci akan kehilangan barokahnya, akan berubah menjadi tempat angker, penuh aura-energi negatif yang merusak, melemahkan, menjahilkan, menzalimkan, menutup hati. Ironis kalau ada orang yang-yangan di tempat suci, umat marah besar, dianggap itu mengotori tempat suci tapi ada orang yang berkata kotor penuh ego-hawa nafsu, umat mingkem bahkan mengira itu bagian dari ibadah-kesucian. Itu jelas adalah ego dan kejahilan berbajukan kebaikan dan Tuhan, umat gagal makrifat terhadap apa-apa yang hakikinya baik bagi tempat sucinya sendiri.


Tempat dan benda apapun di sekitar kita adalah memori-ladang yang akan merekam dan menumbuhkan apapun energi yang dipaparkan kepadanya. Lindungi, bela dan sucikanlah tempat suci kita dengan hanya berfikir, berkata, berdoa dan berbuat yang baik-baik saja saat kita ada di dalamnya. Sebab tanpa itu, nasib tempat suci pada akhirnya tidak akan jauh beda dengan mall, diskotik atau rumah NGANU, bukan Tuhan yang ada di dalamnya, tapi setan..., bukan berkah, keberuntungan dan jalan lurus yang kita dapat, tapi musibah, kerugian dan kesesatan...

Selasa, 17 April 2018

Iman dan Berhala



Yang imannya paling kuat terhadap Tuhan atau agama, hampir pasti adalah penyembah berhala yang sebenarnya. Mereka hanya sedang menyembah dongeng, mitos, tahayyul, pikiran, prasangka, harapan, angan-angan, ego-hawa nafsunya sendiri akan Tuhan dan kebenaran..., bukan menyembah Tuhan yang esa, esensi kebenaran yang tunggal-universal.


Kencing onta atau batu cincin yang diimani dengan sungguh-sungguh akan lebih berkuasa daripada Tuhan yang maha esa tapi tidak diimani dengan sungguh-sungguh..., kenyang saya mengamati sekaligus membuktikan perkara ini. Kenyataan yang menunjukkan kalau iman tidak punya korelasi apapun dengan kebenaran bahkan menjadi penghalang terbesar kita memahaminya. Iman hanyalah satu cara atau metode kita memfokuskan-menipu-memanipulasi energi-pikiran agar mau mendukung terpenuhinya ego (dangkal) kita. Ujung dari iman (tanpa dasar realitas) adalah placebo, kemabukan, ilusi, delusi dan halusinasi, bukan kesadaran, makrifat, pencerahan, tauhid atau pengesaan Tuhan. Satu-satunya iman yang akan membebaskan kita dari berhala-mengarahkan kita pada tauhid-pengesaan Tuhan hanyalah iman kalau ego atau hawa nafsu harus dikendalikan, iman pada "laku-tarikat"..., bukan diumbar dan dipuja seperti halnya yang terjadi pada banyak orang relijius sekarang.


Jadi ingat dulu, saya bersama teman-teman satu perguruan bermeditasi di sebuah tempat. Setelah beberapa jam bermeditasi, ustad saya kemudian menanyakan satu persatu apa yang kami lihat. Ada yang mengaku melihat tuyul, ular besar dan ada pula yang mengaku tidak melihat apa-apa, termasuk saya. Saya sedih karena jadi merasa tidak berbakat melihat hal-hal ghaib. Tapi kemudian ustad saya menghibur, justru yang tidak melihat apa-apalah yang punya bakat lebih besar mendapat pengetahuan lebih..., tempat ini tidak ada apa-apanya, yang melihat ada apa-apa, tertipu kepercayaan dan angan-angannya sendiri.


Pun demikian juga sebenarnya yang terjadi pada banyak orang relijius sekarang, kebenaran yang mereka "lihat" dan yakini tidak lebih dari fiksi-ilusi-mimpi akibat iman-kepercayaan dan angan-angannya sendiri yang gagal dikendalikannya...

Jumat, 13 April 2018

Imanku dan Imanmu, Apakah Ada Bedanya?



Di seberang jalan depan rumahku, dulu ada sebuah pohon elo raksasa melintang di atas sungai. Saking besarnya, bagian atas pohon elo itu biasa digunakan tempat saya dan teman-teman bermain, sementara bagian bawahnya, bisa digunakan untuk berteduh..., hujan-hujan mancing tetap lancar pokoknya asal mangkalnya di bawah pohon itu. Kalau sungai sedang meluap atau banjir, terjun jumpalitan dari atas pohon ke sungai di bawahnya sungguh nikmat dan menantang.


Pohon itu dikeramatkan, hampir tiap menjelang matahari terbit, ada saja orang menyadap airnya, di hari-hari tertentu bahkan ada orang yang meletakkan sesaji, kembang setaman atau membakar kemenyan di bawahnya. Konon kabarnya, air sadapan dari pohon elo itu bisa menyembuhkan segala penyakit, banyak orang memberi kesaksian soal itu, persis kesaksian dalam iklan klinik Tong Fang, SUSU kuda liar atau jamu tetes NGANU di radio-radio..., "setelah aku minum air sadapan pohon elo itu, mendadak aku bisa berdiri, gak nglentruk lagi"..., begitulah kira-kira contohnya... ^^ Karena semakin banyak saja orang mendatangi pohon itu, akhirnya pohon itu ditebang oleh bapak saya yang relijius, beriman dan bertakwa. Alasannya, pohon itu telah menjadi berhala, sumber kesyirikan, sebagai pemilik, bakal kecipratan dosanya kalau gak segera memusnahkannya.


Bagaimanapun, pohon elo itu mencerminkan bagaimana mekanisme (hampir) semua agama bekerja. Sampai seberapa "benar" iman kita tergantung pada sampai seberapa kuat iman kita, bukan pada sampai seberapa (nyata) benar iman kita itu..., sesuatu yang salahpun akan menjadi "benar" kalau diimani dengan sungguh-sungguh, gitu intinya.


Khasiat air sadapan pohon elo itu jelas FIKSI, tidak benar, tidak ada bukti ilmiahnya, kepercayaan dari orang-orang terhadap pohon elo itulah yang membuatnya jadi berkhasiat, penuh energi..., mampu membukakan pintu alam bawah sadar, tempatnya segala mukjizat termasuk mukjizat penyembuhan.


Penganut agama samawi (Abrahamik) tentu akan mengklaim agama mereka memiliki mekanisme bekerja yang berbeda, tidak sama dengan agama "ndeso" itu..., betul, tapi bedanya cuman dikit kok, mereka hanya memindahkan "pohon elo" itu ke kepala mereka, menjadi tidak berwujud..., sementara yang lainnya, jelas masih sama semua...!.

Rabu, 11 April 2018

Ego dan Jalan Tuhan



Orang yang masih terobsesi dengan amarah, kebencian, ketakutan, prasangka buruk, kekerasan, wanita, kekuasaan, peperangan dan hal-hal egoistik lainnya, hampir pasti belum pernah sekalipun merasakan petunjuk atau kehadiran Tuhan dalam hidupnya biarpun mereka sangat keras mengklaim ada di jalannya. Paling tinggi mereka hanya akan pernah berdelusi atau berhalusinasi tentang Tuhan..., mendapat petunjuk dari ego-hawa nafsunya sendiri (yang menyamar sebagai Tuhan). Sekali kita pernah mendapat petunjuk (benar), kita akan tahu "jalan", tidak akan ngawur bawar, terlalu banyak berspekulasi dan berkhayal dalam mempersepsikan agama, Tuhan dan dunia.


Lawan Tuhan adalah setan. Secara spiritual, sulit untuk tidak menafsirkan Tuhan sebagai hati-nurani-kesadaran-pengetahuan-kekuatan lebih tinggi kita dan setan sebagai ego-naluri-hawa nafsu kita. Tidak mungkin "suara" Tuhan akan terdengar jika kita masih menjadikan ego-hawa nafsu-setan sebagai "wirid", "ibadah", "tarikat" atau bahkan "sesembahan" kita. Hanya kesabaran, kejujuran, keikhlasan, kuzuhudan, ketenangan, keheningan, cinta kasih dan hal-hal non-egoistik lain yang membuat kita akhirnya mampu mendengarnya. Bagi orang-orang lemah, bodoh dan egois, jelas akan sangat berat menjalani "laku" itu, mereka tidak akan tertarik, kalaupun tertarik, tidak akan mampu mewujudkannya. Mereka akan lebih memilih cara instant..., yang dangkal, simbolis, seremonial, yang hanya lahir saja seperti berjenggot, berjubah, membaca kitab suci, muni akhi-ukhti, bikin partai agama atau bahkan kawin, memfitnah, mencaci, menghasut, mengamuk dan membunuh. Tragis sekali, cuman modal itu mereka berani berkhayal-menghibur diri-beronani telah ada di jalan Tuhan. Itu jelas sama dengan mereka yang berkhayal akan menjadi kaya hanya dengan modal jimat dan mantra..., atau seperti saya yang serba ALA kadarnya ini (pernah) berkhayal njiwit pipine wong manis KAE...  ^^


Kebijakan Tuhan tidak boleh dipertanyakan apalagi diprotes, cukup diikuti saja, bantah wong-wong relijius KAE..., toyib..., Tuhan anda memang maha asyik, pandai memahami selera pasar, membuat anda jadi efektif dan efisien, seumpama sambil menyelam minum air..., sambil mengumbar hawa nafsu, anda bisa dapat surga...! :D

Sabtu, 07 April 2018

Menguasai Obsesi, Mencegah Delusi-Halusinasi



Apakah jika anda bermimpi atau berhalusinasi didatangi malaikat atau Tuhan, memberikan wahyu sekaligus menunjuk anda menjadi Nabi baru, anda akan percaya...?.


Pasti sulit untuk tidak percaya apalagi jika keinginan, obsesi atau ego terbesar anda memang adalah menjadi Nabi. Lihat tuh jaman dulu terutama di Timur Tengah, banyak sekali orang yang percaya mimpi-halusinasinya sendiri sebagai kebenaran ditandai dengan banyaknya orang yang dengan pedenya mengaku-ngaku dirinya Nabi atau utusan Tuhan. Ego-obsesi kita akan segera mengambil alih, melumpuhkan daya nalar bahkan nurani kita, membuat hidup kita jatuh dalam angan-angan yang terasa nyata. Perlu latihan keras atau pengalaman panjang dan dramatis untuk kita bisa menyadari-mengikhlaskan kalau kita hanya sedang bermimpi-berhalusinasi saat mimpi-halusinasi itu datang.


Saya dulu sering bermimpi, berdelusi dan berhalusinasi wong KAE masih sayang kepadaku, datang ke rumahku, yang-yangan denganku, menikah denganku, menjiwit pipinya, membelai pinggulnya, menganu nganunya... ^^ Tapi karena seringnya saya dibohongi mimpi dan halusinasi saya itu, akhirnya setiap mimpi dan halusinasi itu kembali datang, saya "protes", saya jadi sadar saya cuman sedang bermimpi-berhalusinasi, saya bahkan jadi bisa mengontrol mimpi-halusinasi saya itu, bisa mengamati dan menikmatinya tapi tidak hanyut-terkuasai alur-ceritanya.


Tidak bisa tidak, kita harus punya standar nalar, moral, nurani yang tinggi serta ego-obsesi pribadi yang rendah agar kita tidak hanyut-jatuh dalam pesona delusi-halusinasi yang menjerat saat kita menjalani "laku" relijius-spiritual. Orang berdelusi-berhalusinasi hakikatnya orang yang sedang gila, tidak waras, sedang mengalami kekacauan bahkan kerusakan fisik-fungsi otaknya, ironis kalau mereka justru dipuja-puja, dikira orang sakti, orang suci, utusan Tuhan, titisan Dewa atau yang lainnya.


Kebaikan atau kemaslahatan yang dibangun dari dogma, dari dongeng, mitos atau tahayyul, dari mimpi-delusi-imajinasi-halusinasi dan hal-hal tidak bisa terverifikasi lainnya itu lemah dan rapuh, akan membawa dilema-kutukannya sendiri, akan sering memicu mudarat atau keburukan yang jauh lebih besar. Kebaikan itu bukan perkara ghaib yang hanya datang dari sosok-sosok ghaib, nalar dan nurani kita sangat cukup untuk bisa memahami-menangkap-memverifikasi itu...

Kamis, 05 April 2018

Kebenaran, Agama dan Spiritualitas



Apa yang menjadi obsesi dan angan-angan kita di alam-pikiran "sadar", akan menjadi penggoda-pembegal-penjerumus terbesar kita saat menjalani "laku" spiritual, menjadi penghalang kita dari kebenaran.


Jika kita terobsesi dengan wanita, dia akan menjelma menjadi bidadari montok bergeletakan pesam-pesem kedap-kedip ngguya-ngguyu, jogat-joget..., jika kita percaya itu dan mengikuti atau hanyut dalam godaannya-syahwat kita kemudian bangkit, kita akan terlempar dan terhempas, sama seperti terlempar dan terhempasnya kita dari tidur saat mengalami mimpi basah, kita terbegal obsesi kita, gagal menggapai kesadaran yang lebih tinggi. Dimengerti saja kalau banyak orang relijius sekarang merasa melihat 72 bidadari bahenol melambai-lambaikan tangan, memanggil-manggil mereka untuk segera menjamahnya dengan cara mengebom bunuh diri, itulah kutukan dahsyat dari obsesi, iman atau angan-angan yang sesat.


Jika kita terobsesi menjadi Nabi, pasti, kita akhirnya akan "mimpi" bertemu malaikat atau Tuhan, memberi kita wahyu, menunjuk kita menjadi Nabi..., jika kita percaya itu dan kemudian dengan pedenya mengaku-ngaku menjadi Nabi, berusaha menyebarkan ajaran kita, habislah sudah kita..., kita tidak akan bisa menggapai pengetahuan yang lebih tinggi, kita hanya akan mendapat pengetahuan tentang apa-apa yang mendukung terpenuhinya obsesi atau angan-angan kita itu..., ayat-ayat atau ajaran yang kita ciptakanpun tidak akan jauh dari upaya penguatan legitimasi atas "kenabian" kita itu.


Pun jika kita terobsesi dengan kekayaan atau kekuasaan, dia akan mewujud menjadi sosok yang akan memberi kita petunjuk bagaimana memenuhi obsesi kita itu, jika basis moral kita lemah, hampir pasti, dia akan memberi petunjuk yang pada dasarnya menghalalkan segala cara termasuk dengan menjadi kriminal. Pernah mendengar cerita orang jaman dulu mencari kekayaan atau jabatan dengan menumbalkan anak, keluarga atau tetangganya?. Cerita itu benar, kalau kuatnya obsesi akan kekayaan atau kekuasaan kita melebihi kuatnya basis moral kita, seperti itulah petunjuk yang akan kita dapat saat kita menjalani laku spiritual, liar..., wajar saja, berani menumbalkan orang akan berarti ledakan energi emosional-sugestif, membuat kita lebih mampu menggapai apapun yang diinginkan termasuk kekayaan dan kekuasaan. Dimengerti saja mengapa banyak politisi dan orang "soleh" kita sekarang suka menghalalkan segala cara (dengan tetap merasa benar) demi mewujudkan obsesinya..., tanpa sadar, mereka telah terbimbing sekaligus terjerumus alam bawah sadarnya sendiri akibat rendahnya basis-tingkat moral mereka.


Bahkan "laku" spiritual tidak akan membantu-tidak akan membawa kita pada hakikat kebenaran jika kita gagal mengendalikan ego kita. Dia hanya akan menjadi "amplifier" energi, "alat" yang hanya sekedar membantu terwujudnya ego-ego kita. Tiada kebenaran, tiada agama dan spiritualitas tanpa menjadikan pengendalian ego sebagai "laku" utama...

Rabu, 04 April 2018

Antara Agama dan Sandiwara Radio



Jaman saya kecil dulu (sekitar SD hingga awal SMP), saya adalah penggemar berat sandiwara radio. Saur Sepuh, Tutur Tinular, Misteri Gunung Merapi, Misteri Nini Pelet dll pernah rutin saya dengar seri demi seri hingga tamat. Saya hampir tak bisa melewatkan satu seripun, apapun saya korbankan demi tetap mendengarnya. Waktu itu saya mengira-berfikir kalau cerita-adegan dalam sandiwara radio (dan juga film, dongeng, novel, cerpen dll) itu sesuatu yang nyata terjadi, saya tidak cukup kritis, tidak mempertanyakan bagaimana proses sesuatu yang saya yakini "nyata" itu bisa tersaji di radio.


Entah berkah atau musibah, suatu hari saya melihat kupasan-liputan proses membuat sandiwara radio di TVRI, kalau tidak salah di acara Apresiasi Film Indonesia..., ternyata cuman "gitu". Saya terguncang dan bersedih, saya berusaha menyangkalnya, untuk beberapa tahun, saya masih (berusaha) tidak mempercayainya. Mosok siech, cerita yang terasa begitu "serius", indah, dramatis dan menghibur itu ternyata cuman bohongan, rekayasa, dibuat bahkan sambil cekikikan...?. Saya tetap dan terus mabuk sandiwara radio, hanyut dalam setiap cerita demi ceritanya, tetap menjadi marah, takut, senang, sedih mengikuti alur emosi yang dibangun sang sutradara.


(Sebagian besar) "cerita" agama itu sebenarnya persis seperti cerita sandiwara radio, film, dongeng, novel, cerpen dll (di mata kita waktu kecil), begitu indah, dramatis, menghibur, mencandu, mengaduk-aduk emosi kita, sering dikira nyata tapi hakikatnya tetaplah tak lebih dari imajinasi. Saat kita tahu proses membuatnya, kita akan "patah hati", merasa hampa, galau, sedih, takut, putus asa..., bagi kita yang lemah, bodoh dan egois, akan berusaha terus menyangkalnya, sulit untuk ikhlas menerima kenyataan pahit itu, sama seperti saya dulu sulit mengikhlaskan kenyataan kalau sandiwara radio itu tidak lebih dari gurauan, produk imajinasi yang dibuat dengan maksud hanya untuk sekedar mendapatkan uang. Lihat tuch, saking kuatnya penyangkalan, banyak orang relijius sekarang sudah sampai taraf gila dalam memelintir-melintir, menekuk-nekuk, mencocok-cocokkan (ayat) agama agar tampak selaras dengan sains, akal sehat dan nurani, mereka tidak menerima realitas apapun yang merongrong imajinasi-iman indahnya.


Kekuatan sejati ada pada menerima kebenaran-kenyataan sekalipun pahit, bukan kuat menyangkalnya hanya karena itu terasa manis, menyenangkan dan menguntungkan. Kebenaran sejati hanya untuk orang yang siap, ikhlas, pasrah menerima itu apapun konsekwensinya, bukan untuk orang yang masih dipenuhi pamrih, prasangka, harapan, angan-angan, ego-hawa nafsu atas apa yang dianggapnya benar...

Senin, 02 April 2018

Yang Mengetahui, Tak Mudah Menghakimi



Pernahkah waktu kecil, anda diajari, kalau bertemu kawanan lebah harus mengucap kata "pahit... pahit... pahit..." dengan maksud agar tidak disengatnya..., atau saat memancing ikan, anda diajari untuk meludahi atau lebih tepatnya, menyembur umpan pancing anda dengan maksud (konon) agar umpan menjadi lebih gurih sehingga disukai ikan..., atau saat anda naik gunung, anda dilarang berfikir dan berkata yang buruk-buruk karena katanya itu bisa langsung seketika terwujud...?.


Sejak kecil saya ini sudah kritis dan pemberani, selalu mempertanyakan bahkan menolak atau melawan apapun yang diajarkan orang kampung jika itu saya nilai tidak masuk akal. Kekritisan, penolakan dan perlawanan saya bertambah keras setelah saya mengenal ajaran agama versi keras. Saya dulu menghakimi banyak sekali ajaran-adat-budaya Jawa sebagai kuno, kolot, tahayyul, bid'ah bahkan syirik termasuk ajaran-adat-budaya di atas yang saya sebutkan..., apalagi setelah ditambah pengalaman saya yang tidak bisa membuktikan kebenarannya langsung, semakin merasa di atas anginlah saya..., nyatanya setelah mengucap "pahit... pahit... pahit..." toh sering saya tetap disengat lebah juga atau setelah sudah menyembur umpan pancing saya, nyatanya tetap saja gak dapat ikan..., benar pala loe peang, pikirku waktu itu.


Tapi sekarang saya mengerti hikmah dibalik ajaran-adat-budaya itu. Ajaran-adat-budaya itu bagaimanapun mencerminkan tingginya pengetahuan spiritual leluhur kita. Saat kita mengucap "pahit... pahit... pahit...", kita sebenarnya sedang berdoa, memfokuskan-menguatkan energi-prana kita sehingga akhirnya-jika berhasil, lebah terkelabuhi, tunduk atau menjadi jinak. Pun saat kita menyembur umpan pancing kita, kita sebenarnya sedang berdoa-memberinya energi yang akan membuatnya lebih ber-aura, memiliki data tarik di mata ikan. Saat kita sedang mendaki atau berada di gunung, tentu kita akan sering dicekam kelelahan dan ketakutan karena kesukaran dan bahayanya atau sebaliknya, merasa tenang, damai dan terpesona karena keindahannya, saat itu juga pintu menuju alam bawah sadar kita terbuka lebar, pikiran dan perkataan apapun akan mudah tergurat dan terwujud termasuk pikiran dan perkataan buruk. Gunung atau tempat-tempat yang membuka pintu alam bawah sadar kita lainnya adalah kuil yang sebenarnya, tempat terbaik berdoa, bersumpah atau bahkan mengutuk..., wajar orang-orang relijius jaman dulu suka membangun kuil, pertapaan atau pesanggrahan di gunung-gunung..., wajar leluhur kita menyuruh kita menjaga pikiran, perkataan dan perbuatan kita tetap baik saat berada di tempat-tempat itu.


Tahayyul, bid'ah atau syirik adalah ajaran atau kepercayaan yang tidak ada koneksi atau korelasinya dengan realitas, fakta atau kebenaran hakiki..., yang murni tumbuh hanya dari prasangka atau angan-angan..., ask yourself, apakah bukan justru ajaran atau kepercayaan anda sendiri yang penuh tahayyul, bid'ah dan syirik, bukannya ajaran atau kepercayaan yang sering anda hakimi penuh itu semua...?