Menyembah gunung akan membuat kita terhubung dengan sang gunung, berujung pada dipahaminya karakter gunung sehingga kita bisa menghindari diri dari bencana sekaligus mengambil manfaat dari gunung itu. Pun demikian jika kita menyembah lautan, sungai, dewi padi, dewa kekayaan, dewi keadilan, dewa cinta, dewa perang, Nabi, Wali, orang Arab, pahlawan, leluhur atau nenek moyang, raja, bendera dll, energi-spirit-kehendak dari yang disembah itu akan masuk pada diri kita, mengambil alih sebagian "kesadaran" kita.
Lantas bagaimana jika kita menyembah Tuhan yang maha esa..., akan terhubung dengan siapa....?. Kaum Sufi dan Kejawen mengatakan akan terhubung dengan diri sejati kita, "pamomong" kita, "sedulur papat lima pancer" kita, alam semesta, saya setuju dengan pandangan ini.
Menyembah Tuhan yang maha esa memang kelihatan ideal tapi pasti sekaligus menjadi yang paling sulit dipraktekkan, perlu perjuangan, latihan, tarikat, riyadoh yang sangat keras. Kita harus menguasai semua ego-ego rendah kita, amarah, lawamah dan sufiyah kita, "mati sajroning urip" untuk bisa melakukan itu. Faktanya, sebagian besar orang yang merasa dan mengklaim sedang menyembah Tuhan yang maha esa, bertauhid paling murni, hampir pasti, sejatinya hanya sedang menyembah Nabi, bangsa Arab, Ulama, dongeng, dogma, prasangka atau bahkan hanya menyembah ego-hawa nafsunya sendiri. Itu bisa dilihat dari energi-spirit yang memasuki, menguasai dan membimbing mereka, sangat jauh dari pertanda menyatunya diri mereka dengan diri sejati-alam semesta, sang maha pembimbing, maha baik, maha benar...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar