Selasa, 15 Agustus 2017

Agama dan Naluri


Beragama itu seperti halnya kita makan, tidur atau bereproduksi..., apa yang menjadi tata caranya adalah budaya sementara keinginan untuk makan, tidur, bereproduksi itu sendiri adalah naluri, instink (untuk mempertahankan hidup).

Beragama adalah satu sarana memenuhi naluri, instink kita mempertahankan-menguatkan diri dengan cara memanggil-menghidupkan kembali potensi-potensi agung-tinggi-mukjizat-ruh ketuhanan kita yang terpendam lama akibat semakin nyamannya hidup. Untuk setiap potensi yang berhasil dihidupkan-dipanggil kembali, akan membuat kita lebih kuat, lebih pandai, lebih benar, lebih mampu menghadapi tantangan hidup.

Sayang sekali, banyak orang beragama sekarang terlalu berfokus pada sisi budayanya, bukan pada esensi-tujuan hakiki yang ingin dicapainya, sisi spiritualnya. Akibatnya, beragama tidak lagi mampu menghubungkan kita dengan "sangkan-asal-fitrah" kita, mengaktifkan kembali potensi-potensi agung-tinggi-mukjizat-ruh ketuhanan kita, justru sebaliknya, menjadi tirai penghalang, pelemah bahkan pembunuhnya.

Ego atau hawa nafsu selalu mempunyai ironi-kutukannya sendiri, tanpa kemampuan mengenali sekaligus mengendalikannya, apapun bisa disimpangkan dan dibolak-balikan jika dipandangnya kurang nyaman-menguntungkan dalam jangka pendek-tataran dangkal, termasuk agama. Pembolak-balikan yang sia-sia, akan menjadi bumerang, senjata makan tuan, sebab itu sama saja sedang melawan kehendak tinggi-mulia diri, hukum-hukum dasar alam semesta...


Tidak ada komentar:

Posting Komentar