Minggu, 20 Agustus 2017

Paradoks Agama


Baik-buruk, halal-haram, berdosa-berpahala tidaknya suatu perbuatan bergantung pada menguntungkan tidaknya perbuatan itu bagi "mutmainah", ego tertinggi-mulia (super ego) kita. Perbuatan-perbuatan itu pasti dinamis, berubah dan berkembang, tidak bisa "dikunci-didogma" termasuk oleh adat, budaya bahkan termasuk agama.

Tugas hakiki agama adalah "alat" untuk memahami perbuatan-perbuatan mana saja yang masuk kategori itu (menguntungkan ego tinggi-mulia kita) sesuai konteks-waktu, tempat, situasi dan kondisi..., bukan alat untuk menggantikan, mengubur, mengkerdilkan, memanipulasi, "memaksakan-mendogmakan" yang mana saja perbuatan-perbuatan itu. Itu bisa dilihat dari ritual atau ibadah semua agama yang pasti memiliki kesamaan esensi, pengheningan dan pengorbanan, tapa nyepi dan tapa ngrame..., ritual yang jika dilakukan dengan benar dan konsisten pasti akan mengarah pada petunjuk-keterbimbingan. Petunjuk-bimbingan itu sangatlah kontekstual, terikat kondisi spesifik diri kita, waktu, etnis, tempat, bangsa kita atau bahkan umat manusia secara keseluruhan.

Tapi memang, agama selalu membawa paradoks, ironi, kutukannya sendiri..., ego-hawa nafsu memang cerdik..., limpahan perasaan benar yang ditimbulkan agama justru sering membutakan dan menjerumuskan penganutnya daripada mencerahkan dan meninggikannya, membuat penganutnya lupa akan kewajiban-kewajiban esensial beragamanya..., persis seperti seorang anak presiden yang merasa segalanya serba mudah, beres dan terjamin tanpa perlu bersusah payah lagi..., lupa untuk tetap melatih dan mengembangkan diri.

Bahkan jika seandainyapun agama kita betul benar, tapi jika cara beragama kita salah, tetap saja kita terhitung salah..., kita masih berstatus belum beragama secara esensi..., hidup kita tidak akan pernah terbimbing di jalan yang lurus, jalan yang benar-maslahat...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar