Rabu, 30 Agustus 2017

Iman, Cinta dan Kebenaran


Agama selalu mengklaim sebagai kebenaran tapi yang dituntut dari agama justru adalah iman-kepercayaan tanpa syarat, bukan "membaca", berfikir, mengamati, memperhatikan, memahami, mengalirkan diri..., sesuatu yang jelas kontradiktif.

Iman itu sama dengan cinta, memang memberi kita limpahan energi, sugesti dan motivasi sehingga membuat kita mampu melakukan lebih banyak hal daripada umumnya orang..., tapi iman juga memiliki resiko-kutukannya sendiri..., iman pasti akan melumpuhkan nalar, menutup hati, melengahkan, membuat kemampuan kita memahami hakikat kebenaran menjadi melemah..., kehilangan "eling lan waspada" kita, sama seperti dampak dari arak atau candu.

Saya dulu beriman kalau yayang saya itu sosok sempurna, baik hati dan tidak sombong, relijius, ramah, pintar dan setia..., jodoh saya..., tragis, hingga bahkan dia terang telah pergi, berkhianat, sewiyah-wiyah, menjadi raja tega, iman itu tetap tak bergeming ditandai dengan cinta dan harapan saya yang juga tak bergeming. Kekeliruan sebesar gajah di depan mata akan tampak sebagai kebenaran jika iman atau cinta sudah berbicara-menguasai.

Iman hanya untuk sesuatu yang masih tak terjangkau akal dan hati-persepsi spiritual..., jadikan dia hanya "iklan", alat, pintu, sarana memahami hakikat kebenaran, bukan akhir-tujuan. Saya percaya, pada akhirnya, di dunia ini, tidak ada perkara yang tidak bisa dijangkau akal dan hati-persepsi spiritual kita. Tidak perlu memakai iman untuk menilai halal-haram atau maslahat-mudaratnya rokok, vaksin, musik, demokrasi, Pancasila dll, akal dan hati-persepsi spiritual kita sangat mampu menilainya. Memberdayakan akal dan hati-persepsi spiritual memang butuh "tarikat" lahir-batin yang berat dan konsisten, tapi itu harus kita tempuh, sebab itu adalah tugas teragung relijiusitas, spiritualitas, kemanusiaan kita.

Iman adalah musuh kebenaran-logika sebagaimana cinta..., kalau kita lebih memilih iman atau cinta, adil saja, berhentilah untuk mengklaim kebenaran..., kita adalah para pemabuk..., mabuklah dengan indah dan damai, jangan seperti wong-wong "soleh" KAE..., mabuknya rese', menganggu kenyamanan bahkan keselamatan orang lain...^^

Sabtu, 26 Agustus 2017

Alam Bawah Sadar: Antara Peluang dan Ancaman


Saya sebenarnya sudah tidak percaya lagi pada keberadaan hantu..., tapi nyatanya, tiap kali saya melewati tempat-tempat yang sedari kecil dimitoskan berhantu, bulu kuduk ini masih merinding, nafas memburu, jantung berdegup kencang..., sisa-sisa ketakutan masih membuncah kuat.

Kenyataan yang menunjukkan, alam sadar saya boleh saja merasa dan mengklaim sudah tidak percaya lagi pada hantu, tapi nyatanya, alam bawah sadar saya sebenarnya masih sangat percaya. Mengubah sesuatu yang sudah tertanam kuat di alam bawah sadar itu ibarat menghapus ukiran pada batu dengan karet penghapus, sangatlah tidak mudah..., sama tidak mudahnya dengan berusaha berhenti merokok bagi para pecandu rokok atau belajar bersabar bagi para pemarah.

Alam bawah sadar kita ibarat ladang, tidak peduli-mengenali yang ditanam itu rumput atau padi, sesuatu yang baik atau buruk, benar atau salah, sesat atau lurus, semuanya akan ditumbuhkannya untuk kemudian dituai. Bahkan fitnah, hoax atau kebohongan, mitos atau tahayyul jika ditanamkan terus-menerus, pada akhirnya akan disikapi alam bawah sadar-otak-tubuh kita sebagai sesuatu yang nyata, mengambil-alih kesadaran kita, merampas nalar, membungkam hati kita.

Sayangnya, banyak orang relijius sekarang gagal mengenali apa yang harusnya mereka tanam di alam bawah sadarnya..., mereka sama seperti orang-orang di kampung saya dulu, gemar menanam sesuatu yang hakikinya adalah kebohongan. Akibatnya jelas, "kegelapan", "belenggu" dan "penjara", kita harus menanggung ketakutan untuk sesuatu yang hanya bayangan, kita jadi "beronani", merasa senang, benar, baik, ada di jalan Tuhan untuk sesuatu yang hanya hayalan...

Rabu, 23 Agustus 2017

Tempat Suci: Antara Anugrah dan Kutukan


Orang tua-tua kita biasanya akan menasehatkan kita untuk tidak berfikir, berkata atau berbuat yang buruk-buruk saat kita berada di tempat ibadah, tempat suci atau tempat-tempat yang dihormati-dikeramatkan lainnya..., intinya, tempat yang secara spiritual bagus untuk berdoa.

Nasehat itu tepat sekali. Tempat (termasuk waktu, situasi atau kondisi) yang (secara spiritual) bagus untuk berdoa akan juga menjadi tempat yang paling berpotensi mendatangkan kutukan, musibah atau keburukan jika kita gagal "mendudukkan-memperlakukannya" dengan baik.

Wajar saja, bagus untuk berdoa akan berarti tempat itu secara default mampu melemahkan ego lahiriah kita, membuat kita berada dalam posisi "hipnotisable", sangat dekat dengan alam bawah sadar-hati kita..., pikiran, perkataan, doa dan perbuatan apapun akan menjadi penuh energi-menggurat kuat, tidak peduli itu baik atau buruk.

Sayangnya, banyak orang relijius sekarang gagal mengikuti nasehat orang tua-tua itu. Lihat saja, sudah menjadi fenomena cukup umum tempat ibadah digunakan untuk menghasut sesuatu yang jelas adalah hawa nafsu-keburukan..., amarah, kebencian, kedengkian, iri hati, prasangka buruk, keserakahan, ketakutan, keputus-asaan, birahi dll. Dampaknya sudah pasti dan jelas, tempat ibadah berubah menjadi tempat "angker", kehilangan keramat dan barokahnya, "dihuni" energi-energi negatif yang membutakan, menyesatkan dan melemahkan..., gagal menghubungkan umat dengan Tuhannya..., berubah menjadi hanya sebagai "kuil" dewa perang, dewa perusak,  dewa seks hingga dewa kematian...

Selasa, 22 Agustus 2017

Kebenaran dan Mimpi


Saat bermimpi, sangatlah sedikit di antara kita yang sadar kita sedang bermimpi, sebagian besar kita akan hanyut dalam mimpi itu, tubuh dan pikiran kita mengira-menyikapi mimpi itu sebagai sesuatu yang nyata. 

Pun demikian di alam nyata ini, banyak orang mengira sedang terjaga, bangun, sadar, padahal sejatinya masih hanya sedang bermimpi..., tragisnya, itu justru sering terjadi pada banyak orang relijius, orang yang harusnya lebih sadar dari yang lain. Mereka mengira pilihannya, idenya, agamanya benar padahal itu tak lebih dari mimpi-tipuan tubuh-pikiran akibat terus dipeliharanya "wirid", harapan dan angan-angan yang salah.

Menyadari kita sedang bermimpi (dalam tidur) adalah pertanda naiknya kesadaran kita, melemahnya kuasa tubuh-pikiran-ego-hawa nafsu dalam diri kita. Pun demikian dengan menyadari kita sedang bermimpi (saat terjaga), itu juga adalah cermin naiknya kesadaran. Sayangnya, mimpi seringkali terlalu indah untuk diakhiri, akibatnya, banyak orang lebih memilih meneruskan mimpinya daripada harus kembali berpijak di alam realitas-kebenaran yang memang sering tidak berpihak pada ego-ego mereka.

Mimpi yangyangan ama wong KAE memang indah, sulit bagiku untuk melepaskannya, pun demikian dengan mimpi tentang kebenaran dan syurga bagi banyak orang relijius..., tapi bagaimanapun juga, realitas, kebenaran hakiki harus kita terima bagaimanapun pahitnya..., mimpi harus kita lepas kalau kita ingin tegak sebagai manusia yang kuat dan bermartabat...

Minggu, 20 Agustus 2017

Paradoks Agama


Baik-buruk, halal-haram, berdosa-berpahala tidaknya suatu perbuatan bergantung pada menguntungkan tidaknya perbuatan itu bagi "mutmainah", ego tertinggi-mulia (super ego) kita. Perbuatan-perbuatan itu pasti dinamis, berubah dan berkembang, tidak bisa "dikunci-didogma" termasuk oleh adat, budaya bahkan termasuk agama.

Tugas hakiki agama adalah "alat" untuk memahami perbuatan-perbuatan mana saja yang masuk kategori itu (menguntungkan ego tinggi-mulia kita) sesuai konteks-waktu, tempat, situasi dan kondisi..., bukan alat untuk menggantikan, mengubur, mengkerdilkan, memanipulasi, "memaksakan-mendogmakan" yang mana saja perbuatan-perbuatan itu. Itu bisa dilihat dari ritual atau ibadah semua agama yang pasti memiliki kesamaan esensi, pengheningan dan pengorbanan, tapa nyepi dan tapa ngrame..., ritual yang jika dilakukan dengan benar dan konsisten pasti akan mengarah pada petunjuk-keterbimbingan. Petunjuk-bimbingan itu sangatlah kontekstual, terikat kondisi spesifik diri kita, waktu, etnis, tempat, bangsa kita atau bahkan umat manusia secara keseluruhan.

Tapi memang, agama selalu membawa paradoks, ironi, kutukannya sendiri..., ego-hawa nafsu memang cerdik..., limpahan perasaan benar yang ditimbulkan agama justru sering membutakan dan menjerumuskan penganutnya daripada mencerahkan dan meninggikannya, membuat penganutnya lupa akan kewajiban-kewajiban esensial beragamanya..., persis seperti seorang anak presiden yang merasa segalanya serba mudah, beres dan terjamin tanpa perlu bersusah payah lagi..., lupa untuk tetap melatih dan mengembangkan diri.

Bahkan jika seandainyapun agama kita betul benar, tapi jika cara beragama kita salah, tetap saja kita terhitung salah..., kita masih berstatus belum beragama secara esensi..., hidup kita tidak akan pernah terbimbing di jalan yang lurus, jalan yang benar-maslahat...

Sabtu, 19 Agustus 2017

Yang Benar, yang Mengamati


Ada beragam versi cerita tentang penguasa laut selatan..., kira-kira versi cerita yang paling benar-didukung argumen yang paling kuat itu cerita yang mana, menurut versi orang Sunda, Jawa ataukah menurut versi orang Bali...?.

Jauh panggang dari api. Yang jelas, baik yang argumennya paling kuat maupun yang paling lemah, mereka semua tidaklah pada tempatnya mengklaim kebenaran sebab mereka hanya sedang memperdebatkan-berebut klaim kebenaran sebuah dongeng, mitos, tahayyul, "pepesan kosong". Yang benar hampir pasti justru adalah pandangan-analisa orang-orang di luar para pendebat-pengklaim itu, antropolog, oseanografer, geolog atau spiritualis yang mengamati laut selatan dengan segenap akal budi mereka, tanpa terpengaruh cerita-cerita mistis yang melingkupinya.

Memperdebatkan agama mana yang benar itu sebenarnya sama dengan memperdebatkan versi cerita tentang panguasa laut selatan mana yang benar..., bahkan argumen yang paling kuat sekalipun masih berada jauh di luar garis-kotak kebenaran hakiki. Yang benar dan akan ditunjukkan pada kebenaran ya yang bersedia mengamati-mengamalkan-mentirakati agama dengan segenap akal budi mereka, dan itu hampir pasti, orang-orang yang berada di luar para pendebat-pengklaim kebenaran agama itu..., orang-orang yang bersedia menyepikan-mengheningkan diri, membebaskan diri dari cerita-cerita, dongeng tentang agama yang biasanya spekulatif, dramatis dan intimidatif itu...

Selasa, 15 Agustus 2017

Agama dan Naluri


Beragama itu seperti halnya kita makan, tidur atau bereproduksi..., apa yang menjadi tata caranya adalah budaya sementara keinginan untuk makan, tidur, bereproduksi itu sendiri adalah naluri, instink (untuk mempertahankan hidup).

Beragama adalah satu sarana memenuhi naluri, instink kita mempertahankan-menguatkan diri dengan cara memanggil-menghidupkan kembali potensi-potensi agung-tinggi-mukjizat-ruh ketuhanan kita yang terpendam lama akibat semakin nyamannya hidup. Untuk setiap potensi yang berhasil dihidupkan-dipanggil kembali, akan membuat kita lebih kuat, lebih pandai, lebih benar, lebih mampu menghadapi tantangan hidup.

Sayang sekali, banyak orang beragama sekarang terlalu berfokus pada sisi budayanya, bukan pada esensi-tujuan hakiki yang ingin dicapainya, sisi spiritualnya. Akibatnya, beragama tidak lagi mampu menghubungkan kita dengan "sangkan-asal-fitrah" kita, mengaktifkan kembali potensi-potensi agung-tinggi-mukjizat-ruh ketuhanan kita, justru sebaliknya, menjadi tirai penghalang, pelemah bahkan pembunuhnya.

Ego atau hawa nafsu selalu mempunyai ironi-kutukannya sendiri, tanpa kemampuan mengenali sekaligus mengendalikannya, apapun bisa disimpangkan dan dibolak-balikan jika dipandangnya kurang nyaman-menguntungkan dalam jangka pendek-tataran dangkal, termasuk agama. Pembolak-balikan yang sia-sia, akan menjadi bumerang, senjata makan tuan, sebab itu sama saja sedang melawan kehendak tinggi-mulia diri, hukum-hukum dasar alam semesta...


Jumat, 11 Agustus 2017

Yang Disembah, yang Membimbing


Menyembah gunung akan membuat kita terhubung dengan sang gunung, berujung pada dipahaminya karakter gunung sehingga kita bisa menghindari diri dari bencana sekaligus mengambil manfaat dari gunung itu. Pun demikian jika kita menyembah lautan, sungai, dewi padi, dewa kekayaan, dewi keadilan, dewa cinta, dewa perang, Nabi, Wali, orang Arab, pahlawan, leluhur atau nenek moyang, raja, bendera dll, energi-spirit-kehendak dari yang disembah itu akan masuk pada diri kita, mengambil alih sebagian "kesadaran" kita.

Lantas bagaimana jika kita menyembah Tuhan yang maha esa..., akan terhubung dengan siapa....?. Kaum Sufi dan Kejawen mengatakan akan terhubung dengan diri sejati kita, "pamomong" kita, "sedulur papat lima pancer" kita, alam semesta, saya setuju dengan pandangan ini.

Menyembah Tuhan yang maha esa memang kelihatan ideal tapi pasti sekaligus menjadi yang paling sulit dipraktekkan, perlu perjuangan, latihan, tarikat, riyadoh yang sangat keras. Kita harus menguasai semua ego-ego rendah kita, amarah, lawamah dan sufiyah kita, "mati sajroning urip" untuk bisa melakukan itu. Faktanya, sebagian besar orang yang merasa dan mengklaim sedang menyembah Tuhan yang maha esa, bertauhid paling murni, hampir pasti, sejatinya hanya sedang menyembah Nabi, bangsa Arab, Ulama, dongeng, dogma, prasangka atau bahkan hanya menyembah ego-hawa nafsunya sendiri. Itu bisa dilihat dari energi-spirit yang memasuki, menguasai dan membimbing mereka, sangat jauh dari pertanda menyatunya diri mereka dengan diri sejati-alam semesta, sang maha pembimbing, maha baik, maha benar...

Rabu, 09 Agustus 2017

Luka dan Cahaya


“The wound is the place where the Light enters" (Rumi).

Tepat sekali kata-kata Sufi besar ini. Agamapun sebenarnya adalah ritual "melukai", menyakiti atau menyengsarakan diri.

Luka, rasa sakit atau kesengsaraan itu ibarat vaksin, menyakitkan untuk sementara, menguatkan  untuk selanjutnya.

Sebab saat luka, rasa sakit atau kesengsaraan itu datang, diri-jiwa kita "tercambuk", energi, potensi-potensi agung-hebat yang terpendam lama di alam bawah sadar kita, otak "primitif" kita akan bangkit-terbuka, mengkompensasi-mengobati luka, rasa sakit atau kesengsaraan itu.

Energi, "cahaya" besar yang bangkit atau terbuka itu pada akhirnya bukan hanya berguna untuk menyembuhkan luka, rasa sakit atau kesengsaraan tapi juga untuk keperluan yang lain, energi, cahaya itu akan menguatkan dan membimbing kita pada segala aspek kehidupan.

Sayang sekali, banyak orang relijius sekarang bukannya menjadikan agama sebagai ritual melukai-menyakiti-menyengsarakan diri, justru sebaliknya, dijadikan ritual menyenangkan diri-melukai orang lain...

Iman dan Akal


Dengan iman penuh, kita memang (dalam batas tertentu) bisa mendatangkan, menghentikan atau memindahkan hujan, merubah pasir menjadi emas, menyembuhkan orang sakit, menghidupkan orang mati, membelah lautan, menang duel melawan puluhan orang, menjadi kaya, berkuasa dan lain sebagainya..., tapi apakah iman bisa mencegah satu sel saja di tubuh kita untuk tidak menua dan mati?. Menurut riset biologi, tidak bisa.

Ada lingkup dan batas dimana kekuatan iman, sugesti, motivasi, placebo masih sanggup merubah realitas, merubah "dunia"..., melampaui batas itu, iman akan membentur "dinding baja" puluhan meter, takkan sanggup menembusnya. Batas itu hanya bisa dipahami melalui akal-penguasaan sains dan hati-spiritualitas. Batas itulah yang sering disebut sebagai takdir, sunatullah atau kehendak-hukum alam.

Masalahnya sekarang, banyak orang maunya menggunakan iman untuk memahami-memecahkan masalah apapun termasuk masalah yang sudah sangat terang bisa dijangkau-dipecahkan akal-sains dan hati-persepsi spiritual. Mereka mengira iman adalah jin botol, tongkat ajaib atau mantra sapu jagat yang bisa "disuruh" melakukan apapun termasuk melakukan hal-hal yang melampaui batas takdir, sunatullah atau kehendak-hukum alam. Jelas, mereka telah jatuh dalam tahayyul (klenik), judi (spekulasi), bid'ah (mengada-ada), kafir (salah Tuhan) tanpa sedikitpun disadari..., sesuatu yang konon katanya sangat ingin mereka hindari.

Iman bukanlan ujung melainkan hanya awal untuk kita memahami ilmu dan kebenaran yang maha luas. Jangan pernah menjadikannya ujung karena itu sama saja kita sedang mengikatkan belenggu di leher kita, membuat penjara di otak kita, menutup sumber "mata air" kita, "membunuh" guru kita...

Jumat, 04 Agustus 2017

Ego, Perampok Makrifat Kita


Dalam pertunjukan wayang, seringkali diceritakan, para Ksatria saat bertapa atau bermeditasi selalu digoda bidadari kahyangan yang montok-montok, mereka jogat-joget, kedap-kedip, pesam-pesem, colek-colek pada para Ksatria itu, Ksatria yang berhasil mengatasi godaan, akan berhasil tapanya, mendapat pusaka atau petunjuk, bertemu dengan dewa-dewa.

Gambaran cerita wayang itu sekalipun penuh improvisasi-dibungkus dramatisasi, esensinya jelas benar-nyata. Apa ego yang paling menjadi obsesi kita di alam nyata, akan mewujud menjadi godaan terbesar saat kita berusaha mendaki maqom spiritual yang lebih tinggi. Jika pikiran kita masih dipenuhi obsesi akan wanita, bidadari atau seks, itu juga godaan-penghalang terbesar yang akan kita hadapi. Itu akan segera mewujud menjadi "sosok" wanita cantik saat kita bermeditasi, menggoda kita, jika kita tidak berhasil mengabaikannya-birahi kita bangkit, meditasi kita akan badar atau gagal mencapai kekhusukan sehingga gagal pula mendapat anugrah atau pengetahuan yang lebih tinggi. Pun demikian jika obsesi kita adalah prasangka, dendam, iri hati, harta atau tahta (kekuasaan), sudah pasti itu-paling tinggi hanya akan membawa kita pada petunjuk dari ego-hawa nafsu-setan kita saat bermeditasi, mungkin saja petunjuk itu menguntungkan bagi diri pribadi kita, tapi jelas, kecil kemungkinannya untuk menguntungkan bagi orang lain.

Meditasi adalah proyeksi-gambaran sempurna akibat dari suatu pikiran, sikap atau perbuatan. Pikiran, sikap, perbuatan baik atau buruk akan bisa langsung dilihat konsekwensinya seperti apa, tidak perlu pergi ke akhirat dulu, tidak perlu membuka kitab suci. Apa yang membantu keberhasilan kita hidup bermeditasi adalah cermin apa pikiran, sikap, perbuatan yang berpahala, sebaliknya, yang menghalanginya adalah dosa. Dogma yang tidak selaras dengan pola-pola itu, sudah pasti salah atau ditafsirkan secara salah...

Selasa, 01 Agustus 2017

Agama dan Pembatasan


Agama adalah ajaran tentang pembatasan-pengendalian-kezuhudan bukan ajaran tentang pengumbaran-keserakahan. Agama yang tidak memicu pengikutnya membatasi-mengendalikan-menzuhudkan diri, secara esensi jelas tidak bisa disebut sebagai agama, lebih tepat kalau itu disebut ideologi tradisi atau budaya..., atau agama yang ditafsirkan secara salah.

Mengapa pembatasan?. Wajar saja, karena pembatasan-kemampuan membatasi itu memerlukan energi mental-spirital yang tinggi, siapa yang gemar melatihnya, pada akhirnya akan memiliki "kesadaran", energi spiritual, prana atau chi yang tinggi pula..., sama seperti binaragawan yang akhirnya memiliki energi fisik yang kuat setelah sekian lama melatih otot-otot tubuhnya.

Kuatnya energi otot akan membuat kita digdaya, lebih mungkin "ngasorake", menang melawan musuh fisik..., sementara kuatnya kesadaran-energi spiritual membuat kita "menang tanpa ngasorake", "sugih tanpa banda", "digdaya tanpa aji", nglurug tanpa bala". Hidup kita akan senantiasa "terbimbing", terdukung, terlindungi, selalu melangkah di jalan yang lurus, benar, baik, tepat dan efisien, tujuan hakiki agama.

Sekarang ironis, banyak orang merasa dan mengklaim relijius tapi justru menunjukkan gejala kurang bisa membatasi-mengendalikan-menzuhudkan diri..., mereka lebih egois, mudah marah, mengamuk, iri hati, berprasangka buruk dan lebih serakah (baik terhadap harta, tahta atau wanita). Mereka tertipu, mengira sedang mendekat pada agama atau Tuhan padahal yang terjadi sebaliknya, sedang menjauh dari esensi agama atau Tuhan...