Jumat, 17 Februari 2017

Sadarkan Diri, Cegahlah Delusi




Dulu-waktu SMP, dengan sangat yakin bahkan sombongnya, saya merasa dan mengklaim sudah dewasa, sudah tahu baik-buruk, benar-salah, sudah tahu apa-apa yang terbaik buat diri saya, sudah tidak perlu dibimbing dan diatur-atur orang tua..., sudah bukan anak-anak lagi, anak-anak adalah yang seumuran SD ke bawah, begitu pikirku waktu itu. Saya jadi gemar membangkang dan melawan orang tua, guru, ulama dan siapapun yang menurutku waktu itu salah, diktator, tidak sayang, tidak pengertian.


Menginjak SMU apalagi saat umurku 17 tahun, saya memandang anak SMP itu "rendah" sekali, masih ingusan, bau kencur, tidak tahu apa-apa, labil, cintanya masih cinta monyet, hanya bisa menggunakan okol saat memecahkan masalah..., saya sadar kalau perasaan "dewasa" saat saya masih SMP ternyata hanya delusi belaka. Dewasa adalah 17 tahun ke atas, pikirku waktu itu, saat sudah mulai bisa berfikir rasional, sudah bisa bertanggung jawab terhadap apapun keputusan, sikap dan perbuatannya. Waktu kuliah, perasaan-pandangan yang kurang lebih senada muncul terhadap anak SMU..., sekarang, bahkan anak kuliahanpun masih tampak sebagai anak-anak, belum bisa sepenuhnya dipercaya, masih terlalu labil-emosional dalam berfikir dan berperilaku.


Begitulah cermin apa yang disebut sebagai tingkat atau maqom "kesadaran" atau ma'rifat. Kesadaran rendah kita hanya bisa diketahui saat kesadaran kita sudah naik-meninggi. Kalau kesadaran lahiriah atau akal, umur dan tingkat pendidikan memang akan cukup bisa mencerminkan tingkat kesadaran seseorang, tapi untuk kesadaran batiniah tidak. Kesadaran batiniah atau meningkatnya "kekuasaan" hati hanya bisa digapai-ditingkatkan melalui "laku" pengendalian-penyepian diri, menekan-mencegah fitnah-tipu daya-ilusi-delusi pikiran-indra akibat tingginya ego-hawa nafsu.


Masalahnya sekarang, banyak orang yang kesadaran batiniahnya sebenarnya masih hanya setingkat "SMP" tapi dengan yakin bahkan takaburnya merasa sudah seperti anak "kuliahan", "dosen" bahkan "professor", merasa sangat tahu apa-apa yang baik-buruk, lurus-sesat, benar-salah bagi umat, masyarakat dan bangsa serta merasa berhak memaksakan itu kalau perlu dengan kekerasan.


Ini jelas adalah tragedi, orang-orang yang hakikatnya bodoh, enggan belajar, meremehkan, menolak bahkan membid'ahkan "laku-tarikat" "pensadaran", hanya memiliki ego-syahwat-hawa nafsu-semangat-energi tapi hendak memaksa menjadi pemimpin, penghakim atau penguasa..., itu ibarat anak SMP hendak memaksa jadi dosen, sudah pasti akan sesat dan menyesatkan..., ironisnya, mereka yang demikian itu biasanya menjadikan Tuhan sebagai "baju"...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar