Rabu, 08 Februari 2017

Iman dan Kebenaran




Beriman kepada batu cincin akan memiliki dampak psikis-mental yang sama dengan beriman kepada Tuhan yang maha esa atau maha besar, sama-sama mensyahdukan, memotivasikan, menguatkan. 


Iman bukanlah pertanda, cermin, ukuran kalau kita benar melainkan pertanda kalau kita berhasil memanipulasi-memfokuskan pikiran kita. Iman justru menjadi penghalang terbesar kita memahami kebenaran. Sebab untuk bisa beriman sepenuhnya, mau tidak mau kita harus bersedia mengabaikan-membunuh akal dan hati kita, dua instrumen pemaham kebenaran utama.


Ibnu Taimiyah berkata, "siapa yang menggunakan akalnya, maka dia telah kafir". Tepat sekali, saya sangat setuju dengan pendapat Sheikh panutan sekte Wahabi ini, memang kenyataannya seperti itu kalau yang hendak kita cari-bangun adalah iman, lain persoalannya kalau yang hendak kita cari-pahami adalah kebenaran.


"Allah tidak mungkin menganugrahi kita akal sehat lalu memberikan kita syariat yg bertentangan dengannya" (Ibnu Rusydi). Kata-kata Ibnu Rushdi ini juga tepat. Kalau yang hendak kita cari adalah kebenaran, akal (termasuk hati) adalah pengukur-penilai tervalid mana yang kebenaran dan mana sesuatu yang hanya sedang didudukkan sebagai kebenaran. Mengabaikan akal adalah konyol, itu sama saja menolak-mengabaikan-mencampakkan anugerah terbesar Tuhan.


Yang jelas, iman tanpa dasar kebenaran itu sama dengan iman kepada mitos atau tahayyul, rapuh, kekuatan dan manfaatnya sepenuhnya bergantung pada sejauh mana kelemahan dan kebodohon kita. Yang jelas, iman dan kebenaran itu memiliki "ruh" yang sangat berbeda bahkan merupakan kebalikan, sangat susah disatukan. Kebenaran bukan untuk diimani melainkan untuk disaksikan-dibuktikan dengan segenap akal-hati kita, sebaliknya, keimanan tidak membutuhkan kebenaran sebagai dasar. Kalau ada orang mengklaim imannya sebagai kebenaran, secara substantif dia sedang melucu...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar