Senin, 13 Februari 2017

Antara yang Benar dan yang Baik




Di seberang jalan depan rumah saya dulu ada pohon elo raksasa yang dikeramatkan banyak orang, air sadapannya konon mampu menyembuhkan segala penyakit. Tiap pagi, ada saja orang menyadap airnya, bahkan kadang-kadang ada juga yang membakar kemenyan dibawahnya.


Apakah secara sains-ilmiah air dari pohon elo tersebut benar berkhasiat...?, saya yakin tidak. Apakah secara agama (mainstream) kepercayaan terhadap khasiat air pohon elo itu dibenarkan...?, saya yakin juga tidak. Tapi apakah kepercayaan terhadap khasiat air pohon elo itu buruk...?, saya yakin sangat belum tentu...!. Nyatanya air itu telah membuat banyak orang sembuh dari sakitnya tanpa keluar uang, kepercayaan masyarakat terhadapnya telah membuat air itu memiliki kekuatan-karomah tersendiri-sugesti dan prana.


Yang benar belum tentu baik dan yang baik belum tentu benar. Karena itulah spiritualitas (termasuk di dalamnya agama) muncul. Spiritualitas itu tumbuh dari persepsi "hidup-mengalir" otak kita tentang apa yang baik bagi individu, masyarakat, bangsa atau umat manusia secara keseluruhan. Dia sebenarnya tidak pernah menjadikan kebenaran sebagai dasar berpijak. Kebenaran menurut persepsi spiritualitas adalah benar-baik, bukan benar-benar. Jadi, kalau ada orang mengklaim agamanya sebagai kebenaran mutlak jelas dia sesat dan menyesatkan. Kita hanya bisa mengklaim agama kita benar-baik, itupun pada saat dan tempat agama itu diturunkan, bukan untuk setiap tempat dan waktu. Agar agama senantiasa terjaga benar-baiknya di setiap tempat dan waktu, jelas sangat diperlukan para pembaharu-penghubung (dogma-ajaran) agama dengan konteks-situasi-kondisi faktual-terkini, para spiritualis yang memiliki kemampuan setara dengan para pendiri agama itu sendiri. Kepercayaan terhadap khasiat air pohon elo di seberang jalan depan rumah saya jelas berasal dari panggilan-petunjuk yang datang dari persepsi spiritual, dia memang tidak benar (baik secara ilmiah maupun secara agama mainstream) tapi berakibat baik.


Karena alasan merusak aqidah, sekarang pohon elo di seberang jalan depan rumah saya sudah tidak ada-ditebang. Untuk mencari kesembuhan dari sakitnya, masyarakat harus datang ke dokter, dukun atau membeli jamu yang harganya selangit. Kelihatannya itu merupakan bentuk kemajuan baik secara ilmiah maupun aqidah, tapi secara esensi jelas belum tentu, jika nyatanya masyarakat masih sangat bergantung pada sugesti-placebo untuk menyembuhkan diri, itu adalah bentuk keburukan-kerugian besar..., ibarat lepas dari mulut harimau, jatuh ke mulut buaya..., dari "menyembah" pohon yang gratis menjadi menyembah dokter, dukun atau jamu yang pasti berbayar...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar