Bagaimana tingkat moderasi dan toleransi kita menyikapi lingkungan, perbedaan, ketidaknyamanan, mencerminkan sampai seberapa besar bakat kita memahami hakikat kebenaran.
Ekstrimisme-fanatisme dan intoleransi apapun dasar dan tujuannya dan bagaimanapun syahdu efek mental-psikologis yang ditimbulkannya, tetaplah berasal dari ego, syahwat atau hawa nafsu, berasal dari naluri primitif kita untuk mempertahankan eksistensi diri, menguasai-mendominasi pihak lain. Dia memang memberi kita limpahan motivasi-energi fisik-mental tapi dia akan melemahkan akal dan menutup hati-tempatnya kekuatan, kebijaksanaan dan kebenaran, membuat kita kesulitan untuk tetap menjadi manusia seutuhnya, manusia yang cerdas dan beradab. Dia hanya berguna jika yang dihadapi adalah lawan yang lemah secara fisik, sebaliknya akan menjadi bumerang jika yang dihadapi adalah lawan yang sedikit saja berakal dan berhati.
Kita tidak akan bisa khusuk bermeditasi, berzikir atau berdoa jika rasa gatal atau pegal saja masih kita urus-perhatikan-rasakan-dramatisir atau suara tikus jatuh saja masih membuat pikiran kita buyar-teralih. Meditasi, zikir atau doa tanpa khusuk itu sia-sia, tidak akan membuat kita diberkahi-dipahamkan pada sasmita-petunjuk, ilmu dan kebijaksanaan. Pun demikian dalam kehidupan sehari-hari, kalau perkara perbedaan pendapat, partai, capres, etnis, mazhab atau agama saja masih didramatisir, membuat kita sibuk-bermusuhan, membuat pikiran kita buyar, teralih dan terkuras, kita tidak akan bisa "khusuk" menjalani hidup, karenanya kita tidak akan bisa pula memahami hakikat kebenaran, memahami sasmita-petunjuk, mendapat ilmu-kebijaksanaan, memahami apa-apa yang baik-maslahat bagi kita, masyarakat, umat atau bangsa kita...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar