Minggu, 26 Februari 2017

Passion Kita, Guru Kita, Realitas Kita




Saya itu dulu bisa berenang, naik motor, nyetir mobil dan banyak ketrampilan lainnya itu tanpa didahului belajar sama sekali, sekali mencoba langsung bisa. Langsung dengan santainya nyebur ke cekdam yang dalam atau jalan-jalan ke kota yang ramai. Ibu saya sangat heran bahkan pernah sangat khawatir karena itu, dia pernah histeris melihat saya nyemplung ke sungai di depan rumah yang airnya tengah menggelegak karena banjir, pernah juga beberapa kali mengira saya mengalami kecelakaan di jalan karena terlambat pulang dari bermain setelah dibelikan motor baru. Demikian juga dengan ketrampilan elektronik, peternakan/pertanian yang saya kuasai, semua didapat dengan sangat singkat dan otodidak, tidak belajar melalui pendidikan formal atau kursus yang memakan waktu lama.



Passion, minat atau ketertarikan yang sangat kuat akan membuat "suket godong kayu dadi rowang". Jati diri kita, pamomong kita, kesadaran-pengetahuan lebih tinggi kita, alam semesta inilah yang akan jadi "rowang", membantu kita, mengajari kita, menjadi guru kita. Jangankan saat diri kita terjaga-tersadar, saat tidurpun kita akan terus belajar. Mimpi-mimpi kita akan terasa dan berefek nyata, mempengaruhi langsung realitas di otak dan fisik kita, tidak banyak berbeda dengan efek saat kita belajar di alam nyata. Itu terbukti saat saya dulu mulai-pertama kali mempraktekkan apa yang saya pelajari di alam mimpi-imajinasi-obsesi, saya mengalami fenomena seperti halnya dejavu, merasa seolah-olah sedang mempraktekkan sesuatu yang sudah biasa saya lakukan bertahun-tahun sebelumnya, sangat lancar, mudah dan nyaman bahkan langsung mahir. 



Naik motor, nyetir mobil, berenang, bertani, beternak adalah sesuatu yang relatif netral atau positif, tidak berpotensi mengganggu hak orang lain. Lantas bagaimana jika yang kita passioni, minati, tertariki adalah sesuatu yang sifatnya sangat egoistik seperti halnya harta, tahta, wanita atau bahkan (delusi akan) syurga?. Sama saja, jati diri kita, pamomong kita, kesadaran-pengetahuan lebih tinggi kita, alam semesta ini akan juga dengan ikhlas membantu mengajari-menunjukkan cara mendapatkan itu semua. Dia tidak akan peduli petunjuk atau bantuan yang dia berikan itu baik atau buruk, benar atau salah, melanggar hukum, agama, nilai-nilai moral atau tidak. Dia hanya akan peduli baik-buruk, benar-salah jika sedari awal kita memang sudah peduli itu.



Jadi, jangan heran, orang-orang yang gagal mengendalikan keinginan, minat, ketertarikannya akan harta, tahta, wanita atau hal-hal egoistik lainnya, dia akan cenderung mendapatkan ilham-petunjuk yang pada dasarnya menghalalkan segala cara seperti ilham-petunjuk untuk berbohong, memfitnah, menghasut, mengeksploitasi agama atau Tuhan, rakyat atau negara seperti halnya yang terjadi pada banyak politisi dan agamawan kita sekarang. Hanya satu saja akar yang mendasari itu semua, mereka serakah...!

Sabtu, 18 Februari 2017

Hakikat Arak




Perasaan orang yang kecanduan dogma-agama itu sebenarnya mirip dengan perasaan orang yang kecanduan rokok, alkohol atau narkotik, sangat nikmat memang dirasakannya, berusaha melepaskan diri darinya akan berarti "sakau", sakit luar biasa baik secara mental hingga bahkan fisik..., memicu-membentuk trauma, fobia, paranoia, psikosomatik, delusi hingga halusinasi yang merusak dan menyesatkan.


Tapi coba saat kita berhasil sepenuhnya lepas dari kecanduan mereka semua, limpahan rasa nikmat, beruntung, kuat, diberkahi, tercerahkan akan mengalir deras, jauh lebih deras dari saat kita masih ada dalam jeratannya. Dogma, rokok, alkohol atau narkotik menjadi kelihatan "wajah" aslinya, dia tak lebih dari "sosok" pembodoh, pembunuh raga, akal dan hati kita..., nikmatnya tak seberapa, tapi harga yang harus dibayar tiada terkira.


Mabuk, kecanduan atau ketidaksadaran adalah perkara esensi, saat agama melarang kita mabuk alkohol atau narkotik, agama hakikatnya juga sedang melarang kita untuk "mabuk" dengan sebab lain termasuk mabuk dogma, etnis, partai, wanita, harta, tahta, tokoh dan lain sebagainya. Sekarang ironis, banyak orang begitu keras membenci-menentang orang mabuk alkohol atau narkotik tapi dia sendiri kaffah mabuk dogma, etnis, partai, tokoh, harta, tahta, wanita, prasangka, amarah, kebencian..., ibarat "mburu uceng kelangan deleg", mereka ingin mengejar kesalehan yang sebenarnya sedikit tapi malah memicu kesalahan yang jauh lebih besar...

Godaan Hakikat




Saat kita bermeditasi, jika kita gagal menekan-menguasai pikiran-imajinasi kita tentang wanita, erotisme, seksualitas hingga kemudian birahi kita bangkit, meditasi kita gagal, kita tidak akan bisa khusuk, menggapai kedamaian-ketenangan apalagi ilmu-pengetahuan.


Saat kita bermeditasi, jika kita gagal menekan-menguasai pikiran-prasangka-memori-imajinasi yang memicu amarah, kebencian, dendam dan sakit hati hingga kemudian emosi-detak jantung kita naik, meditasi kita gagal, jika dipaksakan, yang kita dapat hanya lelah dan sakit hingga bahkan halusinasi.


Saat kita bermeditasi, tentu, kita akan sering "merasa" terdampar di tempat-negri asing, jatuh dalam lorong gelap dan dingin atau bertemu "makhluk-makhluk" mengerikan, jika kita gagal menekan-menguasai rasa takut yang ditimbulkan ilusi dramatis itu, meditasi kita gagal, kita akan kembali ke alam "nyata-fisik" dengan segala keterbatasannya.


Birahi, amarah dan ketakutan adalah godaan-tantangan terbesar saat kita bermeditasi, dia adalah "perampok-penjegal" yang selalu menghalangi kita dari mencapai-mendapat kekhusukan-ketenangan-kedamaian-kesadaran-pengetahuan-kebijaksanaan yang lebih tinggi.


Apa yang menjadi godaan-tantangan kita dalam bermeditasi itu sebenarnya juga menjadi godaan-tantangan utama hidup kita di alam "nyata". Birahi, amarah dan ketakutan membuat kita sulit khusuk menjalani hidup, gagal memahami apa yang penting, benar atau maslahat.


Masalahnya sekarang, banyak orang "relijius" justru menjadikan birahi, amarah dan ketakutan sebagai "komoditas", mereka sangat intensif-masif terus-menerus "menghasut-menjual" itu di tengah masyarakat kita. Sudah Berapa kali anda hari ini dihasut untuk berpoligami, nikah dini, nikah siri, atau dijanjikan syurga dengan bidadarinya yang montok-montok?. Sudah berapa kali hari ini anda dihasut untuk marah-benci pada Jokowi, Ahok, Syiah, Yahudi, Cina dll?. Sudah berapa kali pula anda ditakut-takuti komunis, kiamat, dosa, neraka, dajjal dll?. Apa yang dihasutkan orang-orang "relijius" itu kelihatannya saja didasari niat hendak membimbing kita ke jalan yang lurus tapi sejatinya tidak, justru sebaliknya, mereka hendak menyesatkan-mengeksploitasi kita melalui penutupan, pelemahan bahkan pembunuhan jantung "urat" kesadaran-ma'rifat kita...

Jumat, 17 Februari 2017

Sadarkan Diri, Cegahlah Delusi




Dulu-waktu SMP, dengan sangat yakin bahkan sombongnya, saya merasa dan mengklaim sudah dewasa, sudah tahu baik-buruk, benar-salah, sudah tahu apa-apa yang terbaik buat diri saya, sudah tidak perlu dibimbing dan diatur-atur orang tua..., sudah bukan anak-anak lagi, anak-anak adalah yang seumuran SD ke bawah, begitu pikirku waktu itu. Saya jadi gemar membangkang dan melawan orang tua, guru, ulama dan siapapun yang menurutku waktu itu salah, diktator, tidak sayang, tidak pengertian.


Menginjak SMU apalagi saat umurku 17 tahun, saya memandang anak SMP itu "rendah" sekali, masih ingusan, bau kencur, tidak tahu apa-apa, labil, cintanya masih cinta monyet, hanya bisa menggunakan okol saat memecahkan masalah..., saya sadar kalau perasaan "dewasa" saat saya masih SMP ternyata hanya delusi belaka. Dewasa adalah 17 tahun ke atas, pikirku waktu itu, saat sudah mulai bisa berfikir rasional, sudah bisa bertanggung jawab terhadap apapun keputusan, sikap dan perbuatannya. Waktu kuliah, perasaan-pandangan yang kurang lebih senada muncul terhadap anak SMU..., sekarang, bahkan anak kuliahanpun masih tampak sebagai anak-anak, belum bisa sepenuhnya dipercaya, masih terlalu labil-emosional dalam berfikir dan berperilaku.


Begitulah cermin apa yang disebut sebagai tingkat atau maqom "kesadaran" atau ma'rifat. Kesadaran rendah kita hanya bisa diketahui saat kesadaran kita sudah naik-meninggi. Kalau kesadaran lahiriah atau akal, umur dan tingkat pendidikan memang akan cukup bisa mencerminkan tingkat kesadaran seseorang, tapi untuk kesadaran batiniah tidak. Kesadaran batiniah atau meningkatnya "kekuasaan" hati hanya bisa digapai-ditingkatkan melalui "laku" pengendalian-penyepian diri, menekan-mencegah fitnah-tipu daya-ilusi-delusi pikiran-indra akibat tingginya ego-hawa nafsu.


Masalahnya sekarang, banyak orang yang kesadaran batiniahnya sebenarnya masih hanya setingkat "SMP" tapi dengan yakin bahkan takaburnya merasa sudah seperti anak "kuliahan", "dosen" bahkan "professor", merasa sangat tahu apa-apa yang baik-buruk, lurus-sesat, benar-salah bagi umat, masyarakat dan bangsa serta merasa berhak memaksakan itu kalau perlu dengan kekerasan.


Ini jelas adalah tragedi, orang-orang yang hakikatnya bodoh, enggan belajar, meremehkan, menolak bahkan membid'ahkan "laku-tarikat" "pensadaran", hanya memiliki ego-syahwat-hawa nafsu-semangat-energi tapi hendak memaksa menjadi pemimpin, penghakim atau penguasa..., itu ibarat anak SMP hendak memaksa jadi dosen, sudah pasti akan sesat dan menyesatkan..., ironisnya, mereka yang demikian itu biasanya menjadikan Tuhan sebagai "baju"...

Rabu, 15 Februari 2017

Tuhankanlah Tuhanmu, Bukan Ego dan Prasangkamu!




Siapa yang benar-benar kita cintai, hormati, puja, sembah baik yang masih hidup atau sudah mati, spiritnya akan masuk ke dalam diri kita, mengambil alih "kesadaran" kita, disadari ataupun tidak. Pun demikian jika yang kita cintai, hormati, puja, sembah adalah Tuhan..., inilah yang dalam dunia tasawuf atau spiritual disebut "manunggaling kawula lan Gusti", pencerahan atau makrifatullah.


Pengesaan Tuhan atau tauhid memang mudah diteorikan, diucapkan atau diklaim tapi untuk mewujudkannya di alam hakikat itu sangatlah sulit, hanya orang-orang yang mampu "mati sajroning urip", mengendalikan sepenuhnya ego-persepsi-tipu daya indrawinya yang akan bisa. Kebanyakan orang sebenarnya hanya menjadikan mitos-tahayyul-prasangka mereka, pikiran mereka, ego-hawa nafsu mereka, pembawa agama mereka atau ulama mereka sebagai Tuhan yang diesakan, bukan sebagai penunjuk jalan-wasilah menuju Tuhan yang esa.


Akibatnya menyedihkan, jauh panggang dari api. Orang sibuk mengklaim berfikir, berbicara dan berbuat atas nama Tuhan tapi hakikatnya hanya atas nama mitos-tahayyul-prasangka mereka, pikiran mereka, ego-hawa nafsu mereka, pembawa agama mereka atau ulama mereka. Tuhan yang mereka atas-namakan diabaikan-dicampakkan, jangankan berusaha diikuti, berusaha didengar-dipahami kehendak-kehendak hakikinya saja tidak. Ironisnya perilaku demikian justru banyak dijumpai pada orang-orang yang mengklaim pengesaan Tuhan atau tauhidnya paling murni...

Senin, 13 Februari 2017

Antara yang Benar dan yang Baik




Di seberang jalan depan rumah saya dulu ada pohon elo raksasa yang dikeramatkan banyak orang, air sadapannya konon mampu menyembuhkan segala penyakit. Tiap pagi, ada saja orang menyadap airnya, bahkan kadang-kadang ada juga yang membakar kemenyan dibawahnya.


Apakah secara sains-ilmiah air dari pohon elo tersebut benar berkhasiat...?, saya yakin tidak. Apakah secara agama (mainstream) kepercayaan terhadap khasiat air pohon elo itu dibenarkan...?, saya yakin juga tidak. Tapi apakah kepercayaan terhadap khasiat air pohon elo itu buruk...?, saya yakin sangat belum tentu...!. Nyatanya air itu telah membuat banyak orang sembuh dari sakitnya tanpa keluar uang, kepercayaan masyarakat terhadapnya telah membuat air itu memiliki kekuatan-karomah tersendiri-sugesti dan prana.


Yang benar belum tentu baik dan yang baik belum tentu benar. Karena itulah spiritualitas (termasuk di dalamnya agama) muncul. Spiritualitas itu tumbuh dari persepsi "hidup-mengalir" otak kita tentang apa yang baik bagi individu, masyarakat, bangsa atau umat manusia secara keseluruhan. Dia sebenarnya tidak pernah menjadikan kebenaran sebagai dasar berpijak. Kebenaran menurut persepsi spiritualitas adalah benar-baik, bukan benar-benar. Jadi, kalau ada orang mengklaim agamanya sebagai kebenaran mutlak jelas dia sesat dan menyesatkan. Kita hanya bisa mengklaim agama kita benar-baik, itupun pada saat dan tempat agama itu diturunkan, bukan untuk setiap tempat dan waktu. Agar agama senantiasa terjaga benar-baiknya di setiap tempat dan waktu, jelas sangat diperlukan para pembaharu-penghubung (dogma-ajaran) agama dengan konteks-situasi-kondisi faktual-terkini, para spiritualis yang memiliki kemampuan setara dengan para pendiri agama itu sendiri. Kepercayaan terhadap khasiat air pohon elo di seberang jalan depan rumah saya jelas berasal dari panggilan-petunjuk yang datang dari persepsi spiritual, dia memang tidak benar (baik secara ilmiah maupun secara agama mainstream) tapi berakibat baik.


Karena alasan merusak aqidah, sekarang pohon elo di seberang jalan depan rumah saya sudah tidak ada-ditebang. Untuk mencari kesembuhan dari sakitnya, masyarakat harus datang ke dokter, dukun atau membeli jamu yang harganya selangit. Kelihatannya itu merupakan bentuk kemajuan baik secara ilmiah maupun aqidah, tapi secara esensi jelas belum tentu, jika nyatanya masyarakat masih sangat bergantung pada sugesti-placebo untuk menyembuhkan diri, itu adalah bentuk keburukan-kerugian besar..., ibarat lepas dari mulut harimau, jatuh ke mulut buaya..., dari "menyembah" pohon yang gratis menjadi menyembah dokter, dukun atau jamu yang pasti berbayar...

Rabu, 08 Februari 2017

Iman dan Kebenaran




Beriman kepada batu cincin akan memiliki dampak psikis-mental yang sama dengan beriman kepada Tuhan yang maha esa atau maha besar, sama-sama mensyahdukan, memotivasikan, menguatkan. 


Iman bukanlah pertanda, cermin, ukuran kalau kita benar melainkan pertanda kalau kita berhasil memanipulasi-memfokuskan pikiran kita. Iman justru menjadi penghalang terbesar kita memahami kebenaran. Sebab untuk bisa beriman sepenuhnya, mau tidak mau kita harus bersedia mengabaikan-membunuh akal dan hati kita, dua instrumen pemaham kebenaran utama.


Ibnu Taimiyah berkata, "siapa yang menggunakan akalnya, maka dia telah kafir". Tepat sekali, saya sangat setuju dengan pendapat Sheikh panutan sekte Wahabi ini, memang kenyataannya seperti itu kalau yang hendak kita cari-bangun adalah iman, lain persoalannya kalau yang hendak kita cari-pahami adalah kebenaran.


"Allah tidak mungkin menganugrahi kita akal sehat lalu memberikan kita syariat yg bertentangan dengannya" (Ibnu Rusydi). Kata-kata Ibnu Rushdi ini juga tepat. Kalau yang hendak kita cari adalah kebenaran, akal (termasuk hati) adalah pengukur-penilai tervalid mana yang kebenaran dan mana sesuatu yang hanya sedang didudukkan sebagai kebenaran. Mengabaikan akal adalah konyol, itu sama saja menolak-mengabaikan-mencampakkan anugerah terbesar Tuhan.


Yang jelas, iman tanpa dasar kebenaran itu sama dengan iman kepada mitos atau tahayyul, rapuh, kekuatan dan manfaatnya sepenuhnya bergantung pada sejauh mana kelemahan dan kebodohon kita. Yang jelas, iman dan kebenaran itu memiliki "ruh" yang sangat berbeda bahkan merupakan kebalikan, sangat susah disatukan. Kebenaran bukan untuk diimani melainkan untuk disaksikan-dibuktikan dengan segenap akal-hati kita, sebaliknya, keimanan tidak membutuhkan kebenaran sebagai dasar. Kalau ada orang mengklaim imannya sebagai kebenaran, secara substantif dia sedang melucu...

Selasa, 07 Februari 2017

Jebakan Dibalik Kesalehan-Pengetahuan




Beberapa kali dulu saya menjadi korban gendam atau hipnotis orang "soleh", orang yang berpenampilan agamis, ngomong agamis dan katanya sedang berjuang demi agama, demi Tuhan, demi kebaikan, demi umat. Saya harus kehilangan banyak uang untuk sesuatu yang tidak berguna. Saya sadar telah digendam atau dihipnotis setelah mereka pergi jauh. Modusnya macam-macam, dari minta sumbangan langsung sampai menjual souvenir relijius dengan harga selangit, katanya sebagian hasilnya akan disumbangkan ke masjid, pesantren hingga panti asuhan.



Jangankan belajar ilmu "dunia", jika seseorang gagal mengenali-menguasai ego-hawa nafsunya, bahkan belajar ilmu agama atau spiritualitaspun tidak akan membuat orang itu menjadi lebih baik, lebih empatik, lebih bijak, lebih zuhud..., sebaliknya, malah akan menyuburkan ego-syahwat-watak angkara-keserakahannya. Pengetahuan dan kelebihannya bukannya digunakan untuk membimbing atau membantu orang lain, "memayu hayuning bawana" malah sebaliknya, dijadikan sarana untuk mengeksploitasinya, menjadikannya alat memenuhi hasrat-hasrat pribadinya.



Orang-orang Sufi memandang karomah sebagai ujian yang harus diwaspadai. Tepat sekali, faktanya, sangat banyak orang yang justru tergelincir, menjadi sesat, sombong, egois dan hedonik-gagal mencapai maqom spiritual yang lebih tinggi justru setelah dianugrahi banyak karomah. Kenyataan sama terjadi pada orang yang dianugrahi karomah "lahir", diberi anugrah mengetahui banyak teks-dogma agama, bukannya membuatnya semakin rendah hati malah sebaliknya, membuatnya semakin keras dan tinggi hati, mau menang dan benar sendiri...

Hakikatkanlah-Rasionalkanlah-Adilkanlah Pandangan Kita




Pandangan atau tafsir kalau seorang pemimpin mutlak harus seagama, segolongan atau seetnis apapun dasarnya, mungkin dalam jangka pendek akan menguntungkan, membuat peluang berkuasanya orang yang segolongan, seagama atau seetnis menjadi lebih besar. Tapi dalam jangka panjang-seiring menguatnya akal-nurani umat-masyarakat, pasti tidak, akan sangat merugikan. Itu justru akan menjauhkan umat-masyarakat yang berakal dan bernurani dari agama golongan atau etnisnya..., dan terutama, dari kebaikan-kemaslahatannya.


Pandangan atau tafsir kalau pemimpin harus seagama, segolongan atau seetnis itu tumbuh dari ego-hawa nafsu, dari naluri mempertahankan dan menguatkan diri, dari naluri menindas, menguasai, mengeksploitasi pihak lain. Memang pandangan-tafsir itu akan memberi limpahan motivasi-energi emosional tapi itu juga akan membutakan, melumpuhkan akal-menutup hati, modal utama mencapai kebenaran, kekuatan dan kemuliaan. Jika itu sudah tidak ada pada pemimpin dan masyarakat, kemunduran dan musibahlah yang akhirnya akan terjadi.


Memiliki pandangan-keyakinan atau tafsir kalau seorang pemimpin harus seagama, segolongan atau seetnis itu bernilai yang sama dengan memiliki pandangan-keyakinan kalau bumi ini datar. Terlalu banyak-mahal biaya-energi-konsekwensi yang harus ditanggung karena itu hakikatnya sama saja sedang memusuhi-berperang melawan akal dan nurani, berperang melawan realitas-hakikat kebenaran, berperang melawan hukum-hukum dasar alam semesta-sunatullah. Kalaupun pandangan itu menang-dianut sebagian besar umat-masyarakat, itu akan berarti melemah bahkan matinya akal dan nurani umat-masyarakat, sesuatu yang pasti akan memiliki dampak yang jauh lebih buruk, lebih luas dan lebih sistemik..., akan berarti mewabahnya kegelapan, kebodohan bahkan kezaliman yang berujung pada kelemahan, keterbelakangan, kekacauan bahkan kehancuran umat dan masyarakat itu sendiri.

Kemaslahatan atau kebaikan itu netral, bisa ada pada siapa saja, tidak terikat pada agama, golongan atau etnis tertentu, siapa yang "memenjarakannya" hanya pada agama, golongan atau etnis tertentu, dia sedang membatasi atau bahkan menolak datangnya kebaikan untuk dirinya sendiri...

Antara SARA, Saru dan Kesadaran




Mengapa isu SARA di jaman modern seperti sekarang masih juga digunakan banyak orang sebagai sarana menumpuk kekuatan demi mencapai tujuan?.


SARA dan hal-hal sangat primordial-melekat lainnya di mata alam bawah sadar-naluri primitif kita itu seumpama seekor rusa di hadapan singa lapar atau Dewi Persik joget-joget di hadapan lelaki binal..., mampu melemahkan kesadaran-kewaspadaan, melumpuhkan akal-hati dalam sekejap mata, membuat seseorang kembali memiliki kesadaran setingkat hewan..., mampu menyemangatkan, menguatkan, memperkasakan, memberingaskan tanpa perlu banyak kata..., mampu mengumpulkan, mensimpatikan, memarahkan orang dengan modal yang sangat minimal. Bagi orang-orang yang egonya kelewat tinggi tapi minim akal-kesabaran, jelas-daripada repot-repot mengajak-meyakinkan atau mendidik-mencerahkan orang-masyarakat agar mendapat simpati-dukungan-keuntungan, jauh lebih mudah dan praktis dengan mengeksploitasi isu SARA.


Mampu menjerat singa lapar dengan rusa itu bukan sebuah prestasi, pun demikian dengan menaklukkan lelaki binal dengan Dewi Persik, itu adalah sebuah oportunisme-pragmatisme-primitivisme-egoisme. Bagaimana tingkat keberadaban, pencerahan, kesadaran atau ma'rifat kita tercermin dari bagaimana tingkat kesediaan kita mengabaikan godaan seksi-gemerlapnya SARA saat berusaha menggapai apapun yang kita inginkan.


Jadi ingat teman dekat saya, dia menyarankan saya agar berpenampilan dan berperilaku lebih agamis (menurut versi dia) dan bergaul dengan kaum agamis (versi dia juga) biar cepat dapat jodoh..., mungkin saran dia benar tapi sulit saya jalankan, sebab saya sungguh tak ingin "menjual diri", menjadi orang munafik hanya demi memenuhi ego-ego saya... 

Jumat, 03 Februari 2017

Kebenaran dan Ego




Memperjuangkan agama, rakyat atau negara hanya bermodalkan ego atau hawa nafsu itu seumpama orang nekat naik kuda liar dengan harapan bisa sampai lebih cepat ke tujuan yang diharapkannya. Bahkan seorang penunggang kuda professional, kecil kemungkinannya untuk tidak jatuh dan celaka, kecil kemungkinannya untuk bisa selamat sampai ke tujuan.


Ego (setan) adalah kebalikan dari akal (malaikat) dan hati (Tuhan). Keduanya tidak bisa disatukan, jika ego naik, akal dan hati pasti menurun, pun sebaliknya, jika akal berkuasa dan hati berbicara, ego pasti akan binasa. Kebenaran apa yang bisa diharapkan dipahami jika akal dan hati sudah mati?. Agama, rakyat atau negara jelas adalah sesuatu yang sangat memerlukan akal dan hati sebagai dasar-modal memperjuangkannya, bukan ego. Memperjuangkannya hanya dengan ego itu ibarat ABG labil memperjuangkan seorang wanita hanya bermodalkan syahwat, hampir pasti justru berujung pada ditekan, diancam, dianiaya, diperkosa, diperbudak, dieksploitasi bahkan dibunuhnya wanita yang katanya dipujanya..., hampir pasti akan berujung pada terpuruk, terhina bahkan matinya agama, rakyat dan negara yang katanya dicintainya.


Ask yourself..., tidak perlu latah berbicara tentang kebenaran jika nyatanya untuk sekedar mengendalikan ego-ego terdasar-amarah-lawamah..., untuk sekedar tidak marah, tidak berbohong, tidak berprasangka buruk, tidak serakah, tidak binal, tidak mendengki saja tidak mampu..., itu sudah sangat cukup menunjukkan kalau kebenaran yang sedang kita teriakkan itu tidak lebih dari kebenaran tahayyul-delusi-halusinasi-mimpi-onani...

Khusukkan Diri, Bijakkan Diri




Bagaimana tingkat moderasi dan toleransi kita menyikapi lingkungan, perbedaan, ketidaknyamanan, mencerminkan sampai seberapa besar bakat kita memahami hakikat kebenaran.


Ekstrimisme-fanatisme dan intoleransi apapun  dasar dan tujuannya dan bagaimanapun syahdu efek mental-psikologis yang ditimbulkannya, tetaplah berasal dari ego, syahwat atau hawa nafsu, berasal dari naluri primitif kita untuk mempertahankan eksistensi diri, menguasai-mendominasi pihak lain. Dia memang memberi kita limpahan motivasi-energi fisik-mental tapi dia akan melemahkan akal dan menutup hati-tempatnya kekuatan, kebijaksanaan dan kebenaran, membuat kita kesulitan untuk tetap menjadi manusia seutuhnya, manusia yang cerdas dan beradab. Dia hanya berguna jika yang dihadapi adalah lawan yang lemah secara fisik, sebaliknya akan menjadi bumerang jika yang dihadapi adalah lawan yang sedikit saja berakal dan berhati.


Kita tidak akan bisa khusuk bermeditasi, berzikir atau berdoa jika rasa gatal atau pegal saja masih kita urus-perhatikan-rasakan-dramatisir atau suara tikus jatuh saja masih membuat pikiran kita buyar-teralih. Meditasi, zikir atau doa tanpa khusuk itu sia-sia, tidak akan membuat kita diberkahi-dipahamkan pada sasmita-petunjuk, ilmu dan kebijaksanaan. Pun demikian dalam kehidupan sehari-hari, kalau perkara perbedaan pendapat, partai, capres, etnis, mazhab atau agama saja masih didramatisir, membuat kita sibuk-bermusuhan, membuat pikiran kita buyar, teralih dan terkuras, kita tidak akan bisa "khusuk" menjalani hidup, karenanya kita tidak akan bisa pula memahami hakikat kebenaran, memahami sasmita-petunjuk, mendapat ilmu-kebijaksanaan, memahami apa-apa yang baik-maslahat bagi kita, masyarakat, umat atau bangsa kita...