Kamis, 30 Mei 2019

Agama, Menguatkan atau Melemahkan?



Orang yang sangat percaya sihir atau santet, melihat ada kembang tercecer di halaman rumahnya saja bisa membuatnya langsung jatuh sakit. Bukan sakit karena disihir atau disantet orang melainkan sakit yang terbentuk karena pikiran, PSIKOSOMATIS, sakit karena mengira ada orang telah menyihir atau menyantetnya..., pasangka yang akhirnya mewujud menjadi realitas.


Cukup sering saya menemui kejadian seperti itu, bahkan saya sendiri pernah menjadi terdakwanya, gara-gara mantanku sakit-sakitan dan PADU terus karo bojone, bapaknya pernah datang kepadaku, dia memelas memintaku untuk mengikhlaskan anaknya hidup dengan yang lain, tidak lagi mengganggu hidupnya. Mengikhlaskan RAIMU, mengganggu matamu..., emangnya saya cowok apaan masih ngarep anakmu yang sudah jadi RONGSOKAN itu..., anakmu disewiyah-wiyah lanange dan jadi sakit-sakitan itu karena sudah gak cantik lagi, suaminya sudah bosan ingin ganti tapi gak punya cukup dalih, bukan karena ulahku SU...!. Prasangka buruk mantanku dan bapaknya terhadapku itu membuat penderitaannya makin bertambah, masalahnya makin rumit, lebih dari yang seharusnya dia tanggung.


Pun demikian dengan orang yang sangat percaya Jokowi itu komunis atau pemimpin zalim, bahkan Jokowi solat, umroh atau berakrab ria dengan rakyatnya saja masih akan dihina dan dicaci maki. Mereka (para pemrasangka-pembenci) itu "sakit" bukan karena melihat fakta-realitas kalau Jokowi itu komunis dan zalim betulan melainkan semata karena prasangka buruk yang terinternalisasi kuat kalau Jokowi itu komunis dan zalim. Prasangka yang akhirnya menjadi pembentuk utama persepsinya, persepsi yang menjatuhkan mereka pada penderitaan, kejahilan bahkan kezaliman.


Agama tanpa laku-kawruh itu hanya akan membentuk manusia-manusia lemah mental-spiritual, nalar-nurani, berhentilah mengira semua agama baik. Agama hanya akan baik jika dia menjadikan "laku-tarikat-tapa brata" sebagai ajaran-ritual utama. Manusia yang lemah mental-spiritual, nalar-nurani itu akan menjadi sangat mudah dimanipulasi, dihipnotis, diprovokasi, disihir dan ujung akhirnya, diperbudak...

Jumat, 24 Mei 2019

Ujung Akhir Pencarian Tuhan



Ujung tertinggi pencarian kita akan Tuhan hanya akan sampai pada diri kita sendiri, jati diri kita, alam semesta ini. Mukjizat, karomah, wahyu, hidayah, berkah atau anugrah-anugrah keilahian lainnya itu tidak datang dari mana-mana-tidak datang dari obyek di luar diri kita, dia datang dari dalam diri kita sendiri..., demikian juga dengan setan, jin, malaikat, dewa-dewa dan sosok-sosok dianggap ghaib lainnya.


Pada saat ujung itu tergapai, kita akan dihadapkan pada 3 pilihan, tetap mengimani Tuhan, menjadi agnostik atau menjadi ateis. Semua pilihan akan menjadi  benar karena pasti didasari argumen yang kuat. Semua pilihan tidak akan menjadi masalah bagi siapapun karena pasti, pilihan yang didasari pengetahuan, hanya akan menyisakan sedikit perbedaan bahkan di antara dua orang yang secara lahir tampak sangat berbeda seperti antara yang teis dan ateis. Jika Buddha Gautama yang tidak mengakui adanya Maha Dewa (Tuhan semesta alam), Yesus yang mengklaim diri sebagai Tuhan dan Jalaluddin Rumi yang bertuhankan Allah bertemu di satu majelis, hampir pasti, tidak akan ada perdebatan apalagi permusuhan diantara mereka. Mereka akan saling menghormati pandangan masing-masing, bisa saja diantara mereka saling meledek tapi pasti dalam suasana penuh canda tawa. Sebab mereka sadar, perbedaan di antara mereka sangatlah kecil, hanya masalah kontek, tuntutan zaman-kondisi masyarakat di mana mereka tinggal, selebihnya, 99% di antara mereka sama.


Masalahnya sekarang, banyak orang relijius menjadikan iman sebagai awal sekaligus ujung akhir keberagamaan mereka-bukannya menjadikannya pintu-laku-tarikat mencari Tuhan. Akibatnya, agama menjadi tetap terkunci sebagai klenik atau tahayyul, tidak membawa pada kawruh atau pengetahuan yang lebih tinggi, yang esensi. Cara beragama seperti itu persis seperti beo yang sangat fasih berdoa atau bersahadat, tetap takkan membuatnya dianggap sebagai sudah beragama. Orang-orang demikian sudah pasti akan terus bermasalah dengan peradaban dan "kemaslahatan", akan gagal mengalirkan diri dengan kehendak Tuhan-alam semesta yang "hidup", berubah dan berkembang.


Tepat sekali kata-kata Sheikh Siti Jenar, "syariat baru berlaku setelah kita memasuki alam kematian." Sebab sebelum ego kita mati, sebelum kita menguasai raga kita, sebelum kita sampai pada jati diri kita, kita sebenarnya masih dalam status tidur, mimpi, mabuk, "bangkai" yang tidak punya kehendak sendiri, hidup hanya bisa mengikuti naluri, angan-angan, ego, bukan didasari pemahaman atas kebenaran. Agama tidak akan banyak membantu-tidak akan membawa pada kebenaran, sama seperti beo yang berdoa sepanjang hari, tidak akan punya nilai apa-apa, tidak akan membuatnya lepas dari statusnya sebagai burung...

Agama dan Hukum Dasar Alam Semesta



Sekte Islam Salafi sebenarnya tidaklah mengajarkan terorisme dan pembrontakan (bughot), tapi mengapa dimanapun Salafi berkembang, di situ terorisme dan pembrontakan juga berkembang...?. Agama Kristen sebenarnya tidak mengajarkan kekerasan, tapi mengapa sejarahnya tetap saja dipenuhi dengan kekerasan...?


Alam bawah sadar kita adalah matematikawan ulung, jujur dan adil, dia akan menumbuhkan, merealitaskan apapun yang dominan-paling banyak ditanamkan di atasnya, tidak peduli itu baik atau buruk, benar atau salah. Tidak ada artinya di satu sisi kita mengklaim cinta damai, toleran, anti kekerasan, anti terorisme atau pembrontakan, tapi di sisi lain kita terus menebar penghakiman kalau kelompok di luar diri kita itu salah, sesat, kafir, zindiq, musyrik, ahlul bid'ah, kuburiyyun dan sebagainya. Itu akan diterjemahkan oleh alam bawah sadar kita sebagai perintah untuk mengubah, menekan, memaksa, menindas dan bahkan membunuh. "Timbunan" perintah itu pada akhirnya akan meledak menjadi tindak kekerasan hanya dengan sedikit pemicu, melibas habis "cinta damai" kita. Toleransi kita atas sesuatu yang dianggap ancaman atau gangguan dari kelompok di luar diri kita akan menjadi sangat rendah. Lihat kerusuhan bernuansa SARA di negri kita beberapa tahun lalu, kelihatannya saja itu dipicu hal yang sangat sepele, namun sebenarnya tidak, itu dipicu prasangka-penghakiman yang sudah ditimbun bertahun-tahun sebelumnya. Apa yang tampak "lahir" sebagai pemicu itu hanya kebetulan saja, jika tidak ada itupun, pada akhirnya kerusuhan akan tetap terjadi.


Cinta damai atau toleran memang mudah diucapkan, tapi sebenarnya itu "laku" yang teramat berat diterapkan. Karena jelas, kita harus berani dan mampu melepas apa-apa yang paling melekat-paling primordial di diri kita terutama suku, ras, bahkan akidah atau doktrin-doktrin utama agama kita, gambarannya, seperti orang Islam disuruh makan babi atau orang Hindhu disuruh makan sapi. Orang-orang yang lemah, tanpa kawruh, tidak akan mungkin mampu melakukan itu, mereka hanya akan menjadikan cinta damai dan toleransi sebagai pemanis bibir, retorika belaka, tanpa jiwa, tanpa punya akar kuat.


Agama-hukum-hukum dasar alam semesta itu sederhana dan pasti, "sapa nandur ngunduh"..., (agama) yang di luar itu sudah tentu hanya dongeng, klenik, tahayyul, hiasan, simbol, derivat, optional..., bolehlah kita mengagumi keindahan atau peran moralnya, tapi tidak untuk menggantikan atau mempertentangkannya dengan agama-hukum dasar dasar alam semesta, mendudukannya sebagai kebenaran mutlak. Kalau dengan beragama malah memicu kita menjadi pemrasangka, penghakim, pemarah, pembenci, pendendam dan hal-hal tak selaras dengan agama-hukum dasar alam semesta lainnya, maka sejatinya kita telah zalim-rugi, mengejar simbol-baju-hiasan mengorbankan esensi, "mburu uceng kelangan deleg"...

Jumat, 17 Mei 2019

Esensi "Ketuhanan Yang Maha Esa"



Banyak orang sering berfikir-mengklaim kalau sila pertama Pancasila itu terinspirasi dari doktrin tauhid, monotheisme, satunya Tuhan. Padahal sebenarnya tidak, itu berasal dari filosofi yang jauh lebih dalam dan tinggi, "Bhinneka Tinggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa"..., sama sekali bukan dimaksudkan untuk mengistimewakan satu agama tertentu (yang bertuhan satu, agama Abrahamik-Samawi), dia hanya sedang mengarahkan kita pada esensi kebenaran-ketuhanan yang satu. Sekelas Eggi Sudjana saja tidak memahami itu sampai-sampai menuduh agama yang bertuhan lebih dari satu itu bertentangan dengan Pancasila.


Sebab memang, bertuhan banyak atau satu itu tidak penting secara esensi..., bertuhan banyakpun kalau disembah dengan kekhusukan dan kepasrahan penuh pada akhirnya akan mengantarkan orang pada esensi ketuhanan yang satu. Sebaliknya, bertuhan satu tapi gambaran tentangnya (sifat dan kehendaknya) dibangun semata hanya dari prasangka, angan-angan, hawa nafsu, dongeng, budaya, dogma, tetap saja, Tuhan itu hanya akan berstatus jimat atau berhala yang dihidupi hanya dari iman dan ritual pemujanya. Nama sama sekali takkan membantu kita membawa pada yang esensi..., tas buatan Cibaduyut tidak akan otomatis menjadi Louis Vuitton hanya karena ditempeli label Louis Vuitton..., walaupun inyonge ndower kewer-kewer ngaku-ngaku TORA SUDIRO toh tetep ae ketok olo tur ndeso, buktine, hingga selapuk ini panggah JOMBLO...! ^^


Tauhid-Ketuhanan Yang Maha Esa bukan milik siapa-siapa, bukan milik agama manapun apalagi hanya milik manhaj KAE..., dia milik mereka yang mau dan mampu berserah diri-mengheningkan diri, mampu menguasai tubuh-indra-ego-hawa nafsunya...

Iman dan Kekuasaan Tuhan



Kalau cara bertuhan-beragama kita masih hanya didasari iman (bukan "laku-kawruh"), kekuasaan Tuhan kita hanya akan menjadi sebatas kekuasaan kita "mewirid" kekuasaannya.


Jika Tuhan kita gagal merahmati kita, gagal mengabulkan doa-doa kita, gagal membela kita, berarti itu tanda jelas kita gagal mewirid kekuasaannya-gagal mengimani, mengibadahi dan meritualinya dengan sungguh-sungguh. Iman kita masih hanya sebatas di mulut, baju-fisik, perasaan, tidak sampai berakar-direstui kesadaran lebih tinggi kita. Menyadari-mengakui itu lebih baik walau ego-hawa nafsu kita akan pasti selalu menyangkalnya keras. Jangan seperti wong-wong soleh KAE, di satu sisi-doa-keinginan mereka terus gagal tak terwujud, tapi di sisi lain-bukannya introspeksi malah ngombro-ombro angkoro, mereka justru dengan tak tahu malunya semakin keras dalam mengklaim pemilik kebenaran-pintu surga, paling relijius, paling beriman dan bertakwa..., sikap yang mencerminkan ketidaktahuan, kesombongan bahkan kezaliman. Bahkan jikapun doa-keinginan mereka terwujud, itu sama sekali bukan tanda mereka benar, itu hanya tanda mereka sukses mewirid kekuasaan Tuhan-menciptakan Tuhan. Sebab Sang Kebenaran itu kuat dan otonom, punya arah kehendak sendiri, tak bisa dimanipulasi dan dipaksakan termasuk dengan iman.


Cara bertuhan seperti itu (hanya didasari iman) sebenarnya persis sama dengan cara orang "menuhankan" jimat (keris, pohon, gunung, lautan, makam dsb), keliru besar kalau anda merasa berbeda. Jimat hanya akan menjadi bertuah, menjadi "maha kuasa" jika kita terus mengimaninya, menghormatinya, merituali-mewiridnya (menyembahnya, memuasaninya, menjamasinya, memenyaninya, mengembanginya, mensucikannya, membelanya dll). Jimat akan segera berkurang atau bahkan hilang tuahnya jika kita sudah tidak lagi sungguh-sungguh mengimani, menghormati, merituali-mewiridnya..., iman, hormat, ritual adalah pembangun sekaligus penyelaras-penghubung kita dengan energi, spirit, khodam atau yoni yang tertanam di dalam sebuah jimat, pusaka atau sesembahan.


Sayangnya, cara beragama seperti itulah yang sangat digandrungi banyak orang sekarang, mereka menjadikan iman sebagai "dewa", awal sekaligus ujung dari relijiusitas. Padahal iman hanya mengarahkan kita pada kekuatan, bukan kebenaran. Iman tanpa laku-kawruh akan pincang, membuat kita mudah tertipu dan terjerumus, hanya menjadikan agama sebagai ritual menciptakan sekaligus "memperbudak" Tuhan, menyembah ego kita sendiri, syirik akbar, bukannya menjadikannya ritual memahami-menyelaraskan diri dengan sifat-sifat dan kehendak hakikinya yang satu-universal, tauhid...

Sabtu, 11 Mei 2019

Iman dan Keserakahan, Apakah Ada Bedanya?



Dulu saya sering dinasehati ibu saya, "banyak zikir dan ibadah nak biar gak mudah digendam (dihipnotis) orang." Nasihat itu kuturuti tapi kenyataannya tetap saja saya beberapa kali jadi korban gendam, ibu saya sendiri yang menasehati juga mengalami nasib sama. Tragisnya, yang menggendam saya dan ibu saya justru orang yang tampaknya relijius, sangat mengerti agama dam sedang berjuang demi agama..., uang saya pernah dikuras habis setelah seorang pedagang sovenir (kaligrafi) keliling mengatakan kalau hasil jualan sovenirnya sebagian akan disumbangkan ke pesantren dan anak yatim.


Siapa bilang orang relijius atau beriman itu lebih kebal terhadap gendam, hipnotis, sihir, santet, pelet, welek, tulah, laknatan, gangguan jin, kesurupan, hasutan, kebohongan, teori konspirasi dan lain-lain manipulasi-serangan mental-batin?. Justru sebaliknya, mereka sebenarnya jauh lebih rawan..., secara mental-spiritual mereka ibarat pemilik rumah yang membiarkan pintunya terus terbuka, akan lebih mudah dimasuki "maling" dengan segala maksud dan kepentingannya.


Iman-kepercayaan (tanpa dasar) itu masih bagian dari ego atau hawa nafsu, sama dengan prasangka, harapan, keserakahan, dia akan melemahkan kesadaran. Jika kita gagal memfilter dan menguasainya, dia akan berarti terbukanya benteng-pintu-aura menuju jantung kesadaran kita. Efeknya, kita akan dengan mudah diserang-dikuasai orang lain, kesadaran kita diambil-alih, akan juga membuat kita mudah terhubung ke kekuatan-dunia kegelapan. Orang beriman yang bahkan tidak sengaja menjatuhkan kitab sucinya bisa terkena sial seumur-umur, tapi bagi yang tak mengimaninya, menjadikannya bungkus tempepun takkan memiliki dampak apa-apa..., orang beriman melihat orang berpenampilan atau berkata-kata relijius akan langsung melemah kesadarannya, cukup dengan sedikit modal kata-kata manis, dia bisa langsung terhipnotis, terpelet, terhasut..., lihat tuch sekarang, cuman modal jenggot, jubah, sorban ditambah sedikit "ngayat", wong-wong KAE bisa menjadikan orang lain bak budak, apapun kata-katanya langsung dipercaya dan dituruti.


Jadi ingat temanku dulu, seorang santri tulen, ngaku memiliki jimat dan doa pengusir jin, tapi lucunya, dia justru yang paling takut jin dan paling sering ngaku diganggu jin... ^^ Iman-kepercayaannya terhadap jin telah membuatnya kehilangan otoritasnya sendiri...

Kamis, 09 Mei 2019

Surga dan Ego Manusia



Surga menurut orang Eropa: tempat yang hangat, hijau dan cerah sepanjang tahun, pulau-pulau tropis adalah surga bagi orang Eropa. Surga menurut Kristen/Buddha: tempat orang hidup di alam roh yang bebas penderitaan, bebas dari kehendak daging-ego-hawa nafsu. Surga menurut Islam: taman rindang penuh sungai dan bidadari MONTOK bergeletakan, surga menurut Islam adalah tempat orang bisa bebas mengumbar hawa nafsu.


Dari kenyataan itu saja kita bisa mengerti pola-pola umum agama-budaya berikut darimana sebenarnya mereka berasal. Wajar surganya orang Eropa seperti itu, mereka tinggal di daerah dingin dekat kutub, hawa hangat, pemandangan hijau, cuaca cerah adalah kenikmatan tak ternilai, hanya datang saat musim-musim tertentu saja. Yesus dan Buddha adalah orang tercerahkan, wajar mereka berpandangan-justru keterikatan pada daging/ego-hawa nafsu adalah neraka yang sebenarnya, bebas dari itu akan berarti puncak kesadaran-kebahagiaan. Wajar surganya Islam seperti itu, bangsa Arab tinggal di padang pasir yang tandus, jarang pohon, tanpa sungai, dengan lelaki yang sangat memuja seks, jika tidak digambarkan seperti itu, mungkin tidak akan ada orang Arab tertarik memeluk Islam.


Agama datang dari persepsi kesadaran lebih tinggi pendirinya tentang apa yang baik, yang menguntungkan, yang menopang eksistensi-kecilnya bagi diri pribadi pendirinya, keluarganya, bangsanya, besarnya-bagi umat manusia secara keseluruhan..., dia sangat dipengaruhi-terikat konteks-situasi dan kondisi masyarakat dimana agama lahir. Mungkin jika ada agama lahir di tanah Jawa, surga yang digambarkannya adalah "tempat semua anggota keluarga bisa berkumpul kembali dalam kedamaian." Karena memang itulah hal yang paling diobsesikan orang Jawa. Yang jelas, kalau ada agama yang menggambarkan surga sebagai "tempat penuh Coca-Cola dengan wong KAE pesam-pesem, ngguya-ngguyu, kedap-kedip, jogat-joget, mungkin saya takkan kuasa untuk tak segera memeluknya... ^^


Perkara wujud atau gambaran surga (dan agama secara umum) sejatinya tidak lebih dari perkara marketing saja, perkara pragmatis, perkara apa yang secara faktual dipersepsikan menarik oleh suatu masyarakat. Pendiri agama adalah marketer ulung yang mendapat ilmu-ilmu marketingnya dari kesadaran lebih tingginya. Gambaran surga (dan agama secara umum) bukanlah perkara benar atau salah karena memang dia berasal dari "tempat" yang tak didesain untuk mengenali-mementingkan itu...


Kamis, 02 Mei 2019

Antara Akal dan Relijiusitas



Bisakah akal berselaras dengan agama...?. Menurutku tidak mungkin kecuali kita memandang agama sebagai "laku" atau tarikat-ritual menguasai ego-indra, mengabaikan sisi dogma dari agama. Mungkin hanya akal dalam tataran yang sangat sederhana saja yang bisa diselaraskan dengan agama.


Akal menuntut bukti, agama menuntut iman, sesuatu yang jelas bertolak belakang, berusaha menyatukannya hanya akan menghasilkan orang-orang seperti ZAKIR NAIK atau HARUN YAHYA, melacurkan akalnya demi mendukung ego relijiusnya, retorikanya memang tampak hebat, membuai dan mempesona tapi tak punya substansi kebenaran apa-apa. Atau seperti argumen beragama orang Salafi atau Farisi, terkesan sangat rapi-ilmiah-benar-masuk akal memang, tapi justru karena itulah mereka telah menguras dan menghalangi semua yang indah-indah, humanis bahkan yang esensi-hakikat dari agama, menyisakan agama hanya sebatas simbol dan ritual kering dan kaku, tanpa makna dan jiwa. Atau kalau di Indonesia, seperti Rocky Gerung, hanya sedang mengeksploitasi "bahasa", hukum dan teori filsafat yang agung demi memoles ego politiknya agar tampak masuk akal. Mereka telah menggunakan anugrah akalnya di tempat yang salah..., yang harusnya digunakan untul menopang dimengertinya kebenaran hakiki malah hanya digunakan menopang dan memoles egonya agar terasa dan tampak sebagai kebenaran.


Bahkan jika agama anda mengatakan bumi ini berbentuk kotak atau kembang-kembang, sudah terima saja, tidak perlu berusaha dipoles-poles, diplintir-plintir, dicocok-cocokkan biar tampak masuk akal, agama sama sekali tidak butuh itu. Bagaimanapun tidak masuk akalnya suatu ajaran agama, kalau anda imani dengan sungguh-sungguh, tetap akan memberi anda energi dan keberkahan. Biarlah cerita Adam-Hawa atau banjir Nuh diterima apa adanya tanpa perlu menghubung-hubungkannya dengan sains karena itu memang tidak perlu dan tidak akan bisa.


Lain halnya kalau yang ingin anda ikuti adalah akal (termasuk hati, kesadaran lebih tinggi anda), penyabot utamanya adalah ego-sesuatu yang indah-indah terutama sekali, khayalan indah kalau agama andalah yang paling benar. Selagi anda tak mampu menguasai khayalan itu, anda tidak mungkin bisa jadi manusia yang sepenuhnya berakal...

Kebenaran dan Kesengsaraan



Ada yang berusaha memahami kebenaran dengan seumur hidup tidak menikah..., ada yang berusaha memahami kebenaran dengan berkhalwat dan beruzlah-menyingkirkan diri dari riuhnya dunia..., ada juga yang berusaha memahami kebenaran dengan bertapa brata, ngukut panca indra, hidup dalam kezuhudan, tidak makan, minum dan tidur. Dengan jalan-jalan berat itupun tidak ada jaminan apapun orang akan sampai pada pemahaman akan hakikat kebenaran.


Sekiranya kita tahu, sadar, mengerti betapa sulit dan beratnya laku-ritual untuk memahami apa yang benar bahkan untuk perkara yang sangat kecil dari hidup kita, kita pasti akan sangat malu bahkan takut bermudah-mudah mengklaim kalau diri kita benar. Mudah mengklaimnya sama dengan ketidaktahuan, kegegabahan bahkan kesombongan. Hanya akan sangat sedikit orang yang akan sanggup menempuh jalan-jalan menuju dimengertinya kebenaran, ukurlah diri. Tepat sekali kata-kata temanku dulu saat dia kuminta sedikit menghormati Ulama, dia seorang yang (kelihatannya) ateis ditandai dengan seringnya dia merendahkan/mengejek Ulama, waktu itu dia dengan ketus menjawab, "kalau masih doyan mangan lan ngeue, dia masih sama lagh seperti kita, gak usahlah menganggap dia lebih benar atau mulia." Saya dulu membantah keras argumennya itu, sesat dan ngawur pikirku, penistaan terhadap Ulama, tidak ada dasar dan dalilnya..., tapi sekarang saya sadar, secara esensi memang seperti itulah kenyataannya, kebenaran hanya milik mereka yang mampu menguasai raganya, panca indranya, egonya, hawa nafsunya, bukan milik orang yang berbaju atau menguasai banyak "teori" tentang agama.


Sekarang ironis, banyak orang yang sekedar mengendalikan prasangka, amarah, kebencian, iri hati, birahi dan "laku" ringan lainnya saja tidak mampu, tapi sangat keras dalam berbicara, merasa dan mengklaim kebenaran. Jelas mereka sangat tidak tahu malu dan tidak tahu diri..., jahil sekaligus takabur secara hakikat, kebenaran ada pada pengendalian akan hal ITU, bukan malah memicu hal ITU...