Senin, 25 Desember 2017

Yang Menyembah, yang Mendapat Berkah



Sangat sering saya mendengar perkataan yang bernada mengejek atau merendahkan dari orang-orang yang fanatik agama asing, "agama asli Nusantara adalah menyembah pohon dan batu", katanya. Intinya, mereka hendak menghakimi agama asli Nusantara sebagai kuno, tidak bermutu, tidak lengkap, tidak masuk akal, tidak sempurna, tidak bisa dijadikan pedoman.


Bahkan, menyembah pohon dan batu (termasuk menyembah gunung, sungai, lautan dan lain sebagainya) masih jauh lebih baik jika ternyata itu lebih mampu mengkhusukkan-mengheningkan, meluruhkan ego kita daripada menyembah dewa-dewa agung dan suci atau Tuhan yang maha esa tapi hanya sambil lalu..., tapi justru memicu meningginya ego kita, membuat kita menjadi sombong, merasa lebih benar, lurus, terhormat, terpelajar, berpengetahuan, rasional dan beradab dibanding orang atau pemeluk agama lain termasuk agama asli Nusantara.


Pohon dan batu itu secara default mempunyai sifat netral, sama seperti goa Hiro, sungai Gangga atau bukit Tursina, setinggi-tingginya penyembahan kita terhadapnya, tidak akan memicu tertransfernya energi negatif-buruk apapun kepada kita. Sementara menyembah dewa-dewa agung atau suci, Tuhan yang maha esa, bisa menjadi sangat berbahaya jika kita gagal mengenali sifat-sifat dan kehendak hakikinya, akan membuat kita tergelincir dan tersesat, berakhir menjadi hanya menjadi penyembah dongeng, mitos, tahayyul, pendiri-tokoh agama, ego-hawa nafsu dan prasangka atau harapan kita.


Muhammad bermeditasi di goa Hiro, Buddha Gautama bermeditasi di bawah pohon Bodi, Musa bermeditasi di bukit Tursina, pertapa-pertapa Hindhu bermeditasi di gunung Himalaya. Menyembah pohon dan batu atau bentuk-bentuk alam lainnya itu adalah awal atau sumber dari lahirnya agama-agama (asing) yang diklaim modern. Jelas tidak masuk akal kalau justru penganut agama-agama modern itu malah merendahkannya, itu sama saja merendahkan satu "guru", asal muasal atau sumber kawruh-ilmu tertinggi mereka sendiri.


Tujuan hakiki dari penyembahan dalam segala bentuk dan bajunya adalah terkuasainya ego-hawa nafsu, panca indra. Ego-hawa nafsu, panca indra yang terkuasai akan berarti datangnya kawruh, petunjuk atau pengetahuan, berkat dan rahmat. Jangan pernah merendahkan atau mempermasalahkan apapun obyek yang disembah seseorang. Selama yang disembah itu masih mampu mengkhusukkannya, membawa pada terkuasainya ego-hawa nafsu-panca indranya, orang itu berada dalam arah menuju kebenaran hakiki..., menuju jalan lurus, pencerahan, makrifat...

Mukjizat Dibalik Bidah



Apa yang hakikinya baik atau maslahat bagi seseorang, suatu kaum, suatu bangsa atau umat manusia secara keseluruhan itu selalu berubah, berkembang dan berganti seiring berubahnya waktu, tempat, situasi dan kondisi yang melingkupinya.


Karenanya, pembaruan, inovasi atau bid'ah termasuk dalam syariat, ajaran atau aturan agama adalah keharusan, "panggilan", "aliran" yang harus terus berusaha dipahami, didorong dan diikuti. Itu adalah sunatullah, hukum dasar alam semesta-kehendak hakiki Tuhan yang tidak bisa dilawan atau diingkari kalau seseorang, suatu kaum, suatu bangsa atau umat manusia secara keseluruhan ingin tetap eksis, ingin tetap menjadi "khalifah" di muka bumi ini. Berusaha mengingkari atau melawannya adalah bentuk kesombongan, kebodohan, kegelapan, bid'ah, syirik, kekafiran tertinggi secara hakikat..., yang akan memicu azab, hukuman atau musibah dalam segala bentuknya.


Satu-satunya sunatullah, hukum dasar alam semesta-kehendak hakiki Tuhan yang pasti, tidak berubah atau berganti adalah hukum sebab akibat, tabur tuai, karma. Agama manapun pasti dan harus menjadikan itu sebagai aqidah atau pokok keimanan, harus mengikatkan diri pada prinsip-hukum itu tanpa syarat. Sebaliknya, prinsip-hukum itu tidak bisa diikat atau dimanipulasi oleh agama manapun, suatu agama hanya bisa memberinya "baju-bingkai" atau "cerita-dongeng" tentangnya, sementara esensinya tetaplah bebas dan universal. Orang yang berbuat jahat siapapun dia, beragama apapun, siapapun korbannya dengan niat apapun tetaplah pendosa, sedang menanam keburukan bagi dirinya sendiri.


Agama yang baik, yang lurus, yang benar bukanlah agama yang murni, yang asli, yang anti bid'ah, justru sebaliknya, agama yang membolehkan, memfasilitasi bahkan mendorong lahirnya bid'ah, mendorong dibentuknya ajaran, aliran, sekte atau bahkan agama baru, dengan catatan, bid'ah itu timbul dari kesadaran-pengetahuan lebih tinggi kita, dari akal dan hati kita..., bukan bid'ah yang timbul dari kepentingan, "tipu daya" ego-hawa nafsu kita. Sebab hanya dengan itu, misi hakiki agama akan tetap terjaga dan tercapai, tetap mampu menjaga umat manusia pada kebaikannya, senantiasa dekat pada sunatullah, hukum dasar alam semesta, kehendak hakiki Tuhan... 

Kamis, 21 Desember 2017

Kiblat Agama



Orang-orang keturunan Jawa di Suriname (terletak di Amerika Selatan) kalau membangun masjid biasanya arah kiblatnya akan sama dengan arah kiblat saat mereka masih tinggal di Jawa yaitu menghadap arah barat.


Secara sains, geografi, matematika, menentukan kiblat dengan cara seperti itu jelas sangat keliru. Menghadap barat di Suriname tidaklah memiliki konsekwensi sama dengan menghadap barat di Jawa yang akan berarti sama dengan menghadap kiblat atau ka'bah, bahkan justru sebaliknya, akan berarti membelakangi kiblat-ka'bah. Bumi ini bulat, jauh lebih dekat jarak antara Suriname ke Mekah jika ditempuh melalui arah timur daripada ditempuh melalui arah barat, konsekwensinya, arah kiblat harusnya juga menghadap timur, bukan barat.


Bagaimanapun itu adalah pelajaran sangat berharga, satu satir getir, cermin "gunung es" gagalnya penganut agama memahami makna-tujuan hakiki dari ajaran-perintah agamanya sendiri. Untungnya, yang disalah-pahami hanya kiblat fisik ibadah, salah menentukan arah kiblat fisik tidaklah memiliki konsekwensi buruk apapun. Bagaimana kalau yang disalahpahami adalah kiblat hakikat-tujuan hakiki beragama?. Sudah pasti itu akan menjadi masalah bahkan musibah besar..., yang akan membuat agama kehilangan fungsi-tujuan hakikinya, akan membuat agama justru menjadi musuh ilmu, pengetahuan, kemanusiaan, peradaban, kesadaran, pencerahan. Dan itulah kenyataan yang sekarang ini justru banyak terjadi.


"Kiblat" agama adalah kemaslahatan-kebaikan, rahmatan lil'alamin, memayu hayuning bawana. Dan kiblat itu "hidup", memiliki sifat bebas, mengalir, fleksibel, berubah dan berkembang mengikuti berubahnya ruang, waktu, situasi, kondisi, konteks..., tidak bisa diikat, dibingkai, dibungkus secara keras dengan tradisi atau teks-teks agama. Tradisi atau teks agama yang baik diterapkan pada satu tempat, waktu, orang atau kaum, belum tentu akan baik pula jika ditempatkan pada tempat, waktu, orang atau kaum yang berbeda.


Sayangnya, akibat kakunya para penganut agama memegang tradisi, adat, kebiasaan dan teks-teks agama ditambah mewabahnya kebodohan serta kuatnya pengaruh ego-hawa nafsu, kiblat itu sering berubah, bergeser bahkan berbalik, menyimpang sangat jauh..., menjadi berkiblat pada ego-hawa nafsu yang memicu mudarat-keburukan, azab-musibah bagi alam semesta, disadari ataupun tidak, diakui ataupun tidak...

Rabu, 20 Desember 2017

Kutukan Mayoritas



Kehidupan beragama dalam masyarakat tanpa ditopang "kesadaran" itu memiliki pola-mekanisme yang sama dengan kehidupan berharta, bertahta atau berwanita, semakin ditumpuk-banyak-menjadi mayoritas, akan semakin melalaikan, menggelapkan, membodohkan, menjumudkan, mengkorupkan dan menzalimkan.


Siklus Polibios atau "cakra manggilingan" akan juga berlaku pada kehidupan beragama. Kejayaan, kemapanan, kesalehan (lahiriyah) atau kemayoritasan sudah pasti akan memicu kelalaian, kelalaian memicu kelemahan, kelemahan memicu kehancuran, kehancuran memicu pembelajaran, pembelajaran memicu pencerahan, pencerahan memicu kejayaan, kejayaan memicu kelalaian, kelalaian memicu kelemahan dan seterusnya.


Wajar saja, dalam posisi kuat-berkuasa-mayoritas atau kaya, terlalu sulit bagi siapapun untuk mampu tetap "sadar", menjaga empatinya, menjaga sikap adilnya, menjaga sikap zuhudnya, menjaga sikap waspadanya. Kenikmatan-kesenangan yang diperoleh dari kekuatan-kekuasaan-kemayoritasan atau kekayaan akan segera melumpuhkan-mengkeruhkan-menutup akal dan hati-persepsi spiritualnya kecuali bagi mereka yang ikhlas bersedia mengimbanginya dengan mengkawruhkan-menzuhudkan-mentasawufkan-menspiritualitaskan-mensadarkan diri.


Beruntunglah mereka yang dilahirkan sebagai etnis atau pemeluk agama minoritas, asal disikapi positif, kelemahan mereka akan memaksa-membuat akal dan hati-persepsi spiritualitasnya lebih terasah dan terpacu demi terus mampu menjaga eksistensinya, mereka secara default pasti akan menjadi lebih kuat baik secara mental maupun spiritual dibanding mereka yang dilahirkan sebagai etnik atau pemeluk agama mayoritas. Beruntunglah mereka yang dilahirkan sebagai etnis atau pemeluk agama mayoritas tapi tetap mampu menjaga kesadarannya, kemayoritasannya tidak akan berujung pada kelalaian dan kelemahannya untuk kemudian memicu kejatuhannya...

Jumat, 15 Desember 2017

Cinta Tak Pernah Salah



Banyak orang relijius sekarang terobsesi dengan kebencian dan permusuhan hingga bahkan sudah sampai pada taraf menjadikannya tarikat, wirid, ibadah, aqidah dan Tuhan. Mereka merasa benar, suci dan bahkan heroik saat membenci atau memusuhi orang yang tidak seagama maupun sebaliknya, dibenci dan dimusuhi orang yang tidak seagama. Konon kabarnya, membenci dan memusuhi orang tidak seagama adalah perintah Tuhan, semakin dibenci dan dimusuhi orang yang tidak seagama, menandakan semakin benarnya keberagamaan seseorang, semakin ada di jalan yang lurus, jalan Tuhan, semakin teguh berpegang pada ajaran-kitab suci agamanya.


Pandangan yang tragis sekaligus konyol sekali, mencerminkan gagalnya mereka-para penganut agama berfikir, berlogika, memahami konteks, lingkup, alasan, asal-muasal-sebab serta tujuan hakiki suatu ajaran agama. Atau bahkan mencerminkan gagalnya pendiri agama memprediksi-mengantisipasi perubahan-perubahan sosial-budaya, moral dan cara beragama masyarakat jauh hari setelah masa hidupnya-didirikannya agama. Orang masih berfikir kalau orang yang tidak seagama atau tidak bertuhan itu pasti zalim-jahat dan sesat di saat segalanya justru sudah berubah dan berbalik, sekarang orang yang seagamalah yang sering lebih zalim-jahat dan lebih sesat dari yang tak seagama.


Orang beragama (harusnya) itu seumpama orang yang bersedia menolong sesamanya tanpa syarat atau pamrih..., semua orang pasti akhirnya akan mencintainya bahkan termasuk musuh-musuhnya. Tidak ada yang salah dengan cinta, sebab dialah kehendak dan hukum paling dasar dari Tuhan-alam semesta. Ditempatkan dimanapun, dia akan baik, mencerminkan kebenaran, akan menjadi berkah dan rahmat termasuk dicintai orang yang tak seagama hingga bahkan dicintai orang jahat. Dibenci orang yang tidak seagama baru mencerminkan kalau kita benar sepanjang yang tidak seagama itu nyata dan terbukti punya niat egois-zalim-jahat terhadap kita, bukan dibenci karena kita sendirilah yang egois-zalim-jahat terhadap mereka.


Musuh hakiki suatu (penganut) agama itu bukan (penganut) agama lain melainkan ego, hawa nafsu, setan..., dan dia bisa berdiam dimanapun, di dalam orang yang seagama, berbeda agama, bertuhan atau tidak bertuhan. Saat dia-ego, hawa nafsu, setan berkuasa, dia akan menjadi ancaman bagi siapapun yang ada dalam jangkauannya tidak peduli seagama atau tidak, bertuhan atau tidak. Jangan geer karena kita telah dibenci penganut agama lain, sebab boleh jadi, itu terjadi semata karena kita telah menjadi "setan", telah zalim dan jahat, menjadi ancaman bagi mereka...

Rabu, 06 Desember 2017

Yang Egois, yang Terpecah



Banyak orang Islam sekarang terobsesi dengan persatuan atau ukhuwah Islamiyah tapi tujuannya tragis sekaligus sarkastis sekali, katanya agar umat Islam ditakuti umat lain. Tujuan yang egoistik sekali..., yang justru akan mencegah mereka dari dicapainya persatuan itu sendiri. Hanya preman, penjahat, diktator, fasis, rasis, komunis, teroris yang terobsesi dengan ketakutan, orang baik-baik takkan pernah menginginkan itu, mereka lebih memilih dicintai atau dihormati bahkan oleh musuh-musuh mereka.


Keinginan untuk ditakuti itu datang dari naluri primitif kita..., dari amarah, lawamah dan sufiyah kita..., dari hasrat untuk berprasangka, mendominasi, menindas, menguasai, memperbudak, mengeksploitasi pihak lain. Ego itu buta..., kalau kita tidak mampu menahan amarah terhadap orang lain, kita juga akan susah menahan amarah terhadap keluarga kita sendiri..., kalau kita egois terhadap umat lain, akan egois pula akhirnya kita terhadap umat sendiri. Tanpa kemampuan mengenali sekaligus mengendalikannya, niat sebaik atau sesuci apapun akan segera terbajak dan tersimpangkan, jatuh dalam perangkapnya.


Persatuan atau ukhuwah hakiki itu hanya milik mereka yang mau dan mampu mengenali sekaligus mengendalikan egonya. Umat yang bersatu karena berhasil mengendalikan ego, takkan membuat umat lain manapun merasa takut atau terancam, jangan salah mengira. Persatuan yang tumbuh dari-didasari niat-niat egoistik itu ibarat persatuan orang untuk mencuri atau merampok, sangatlah rapuh..., mungkin awalnya akan mempermudah dicapainya tujuan bersama tapi pada akhirnya akan memicu perpecahan lebih dalam, akan membuat mereka ribut dan hancur sendiri, berebut hasil dari persatuan "sesat" itu...

Senin, 04 Desember 2017

Ujung Penyembahan dan Cinta



Saat saya ada di perantauan, Ibu saya dulu selalu tahu kondisi saya, apakah sedang sedih atau bahagia, sedang sakit atau sehat, sedang bermasalah atau penuh berkah. Sampai sekarangpun masih seperti itu, dia tahu selera makan saya, perasaan atau isi hati saya, keinginan-keinginan saya..., "cinta" yang membuat saya kadang malu dan tidak enak sendiri. Dia sering menyediakan makanan yang dia sendiri berpantang memakannya, dia tahu cewek yang sedang saya taksir, dia juga tahu kalau hati saya sedang hancur akibat disewiyah-wiyah sepada-pada.


Ujung akhir dari penyembahan itu sama dengan ujung akhir dari cinta yaitu puncak empati-menyatunya kehendak, pikiran, perasaan, perilaku, pengetahuan kita dengan obyek yang kita sembah-cintai. Kalau kita memang betul sedang menyembah Tuhan atau mencintai pasangan kita, kita harus mampu membaca-mengerti sekaligus ikhlas mengalirkan-menenggelamkan diri dalam kehendak-kehendak hakikinya.


Yang mana Tuhan dan yang mana setan itu jelas, bahkan orang-orang tak beragama atau tak bertuhan-melalui akal dan nuraninya saja pasti tahu-mengerti itu. Sekarang tragis, banyak orang relijius merasa dan mengklaim sangat keras katanya sedang menyembah Tuhan tapi perilakunya justru menunjukkan hal yang sebaliknya, hanya sedang menyembah setan..., sama seperti banyak lelaki yang merasa dan mengklaim sedang mencintai wanitanya tapi perilakunya menunjukkan kalau mereka hanya sedang mencintai dirinya sendiri, hawa nafsunya, nganunya.


Tiada penyembahan dan cinta tanpa empati, tanpa mengenal, tanpa makrifat, tanpa kawruh, tanpa pencerahan. Itu tak lebih dari penyembahan-cinta pada tahayyul, prasangka, harapan, angan-angan yang akan dengan mudah "dibajak" ego kita untuk kemudian disimpangkan, berakhir menjadi hanya sebatas penyembahan-cinta terhadap diri kita sendiri, ego kita, hawa nafsu kita, "setan" kita...

Minggu, 03 Desember 2017

Tiada Penyatuan tanpa Pencerahan



Orang Salafi percaya Muslim akan bersatu hanya jika mau berpegang sepenuhnya pada Qur'an dan Sunnah..., orang Hizbut Tahrir percaya itu jika Muslim bersedia menegakkan Khilafah..., sementara orang Syiah lain lagi, percaya itu jika Muslim mengikuti Ahlul Bait Nabi.


Pandangan-pandangan yang sarkastik sekali..., apakah mereka tidak sedang mengatakan hal yang sebaliknya, justru kengototan berpegang pada keyakinan-keyakinan itulah yang menjadi penyebab utama perpecahan Muslim...?. Faktanya, orang yang paling keras menyerukan persatuan Muslim adalah juga orang yang paling egois, paling keras mengklaim kalau hanya dirinya-pandangan-alirannyalah yang benar, yang akan membawa persatuan..., pandangan yang jelas justru memicu sulitnya persatuan itu sendiri.


Perpecahan itu selalu timbul karena tingginya ego, karena masing-masing pihak enggan berunding, berkompromi, mengurangi tuntutannya terutama atas apa yang dikira sebagai kebenaran. Ego yang tinggi, kecilnya akan memicu lemahnya empati-kemampuan untuk memahami-mengerti-mengakomodasi persepsi, perasaan, kehendak orang lain, besarnya memicu kejahilan-kegagalan memahami hakikat kebenaran..., lebih besar lagi, memicu kezaliman-perlakuan tidak adil terhadap pihak-pihak yang tidak sepaham.


Ajaran serancu apapun masih bisa ditolong, masih bisa dipersatukan jika pemercayanya memiliki tradisi mengendalikan ego yang kuat. Wajar saja, ego yang terkendali akan berarti lebih mudahnya menangkap-memahami sesuatu yang esensi, jika esensi dipahami, yang "indrawi" termasuk perbedaan "pakaian" dan pandangan keagamaan menjadi tak banyak berarti, akan meluruh dengan sendirinya. Sebaliknya, ajaran seindah apapun akan segera berubah menjadi "mesin perang" jika pemercayanya gagal mengendalikan egonya..., wajar saja, ego yang tak terkendali akan membuat orang dalam posisi "mabuk", lumpuh nalar dan hati, hidup hanya bisa mengikuti naluri-naluri primitifnya-hal yang menguntungkan diri pribadi-kelompoknya saja.


Muslim bukannya kurang ini-itu, hanya kurang kemampuan mengendalikan ego-hawa nafsu..., amarah, lawamah dan sufiyahnya. Jika itu bisa diatasi, pasti, sebagian besar masalah akan selesai..., ribuan perbedaan akan tampak sebagai keindahan, anugrah, rahmat yang disyukuri, bukan malah memicu perpecahan, permusuhan dan peperangan yang dikutuki..., dan yang terpenting, Muslim takkan lagi terus berbenturan dengan sains, akal, nurani, demokrasi, hak azasi, emansipasi dan umat lain...

Sabtu, 02 Desember 2017

Yang Menghormati, yang Diberkahi



Seorang atheist yang mampu menghormati sesama manusia, sesama mahluk dan alam semesta ini, akan lebih diberkahi dan dirahmati daripada theist yang hanya mampu menghormati apa yang mereka kira sebagai Tuhan atau hanya mampu menghormati mereka yang beragama atau bertuhan sama.


Menghormati (termasuk memuja, menyembah, mencinta) apa dan siapapun obyeknya itu akan meluruhkan ego kita..., ego yang luruh akan berarti luruhnya juga satu tirai penghalang kesadaran-makrifat kita, akan membukakan pintu hati, tempatnya berkah, rahmat, pengetahuan, kekuatan, bimbingan, pengayoman..., akan menghubungkan kita dengan diri sejati kita, akan menghubungkan kita dengan obyek yang kita hormati. Semakin banyak obyek yang kita hormati dan semakin sering kita menghormatinya, semakin banyak pula kita hakikinya sedang beribadah.


Jangan geer, sombong, merasa benar dan menang sendiri karena kita telah merasa beriman kepada Tuhan..., iman kita tidak akan banyak berguna jika tidak berujung pada dihormatinya sesama manusia, sesama mahluk dan alam semesta ini. Justru, kegeeran, kesombongan perasaan benar dan menang sendiri kita karena telah bertuhan itu ibarat "mburu uceng kelangan deleg", akan membabat habis manfaat spiritual dari iman kita kepada Tuhan, membuat kita bangkrut justru di tempat yang harusnya membuat kita beruntung.


Agama atau Tuhan bagaimanapun teori, dogma atau syariatnya, esensi atau hakikatnya tetaplah sama, sarana kita meluruhkan ego, "tapa nyepi" dan "tapa ngrame", dengan "laku-tarikat" terbesarnya adalah penghormatan terhadap sesama manusia, sesama mahluk dan alam semesta ini. Jika agama atau pemahaman agama kita tidak memicu kita pada hal itu semua, kita tertipu parah, merasa telah beruntung padahal aslinya buntung, merasa telah terbimbing padahal aslinya tersesatkan, merasa diberkahi padahal aslinya diazab, merasa kuat padahal aslinya lemah...