Jumat, 26 Mei 2017

Agama, Novel dan Film


Agama itu bukan sebuah novel atau film, dihadirkan untuk merampok-mengambil-alih "kesadaran" kita, membuat kita merasa syahdu, menangis, tertawa, sedih, takut, bahkan heroik untuk sesuatu yang hanya imajinasi-dongeng-sesuatu yang tidak nyata..., sesuatu yang hanya hasil dari kreatifitas-kepandaian pembuatnya mengaduk-aduk indra-emosi-perasaan kita.

Sebaliknya, agama adalah sebuah "laku-meditasi-tarikat-tapa brata", dihadirkan untuk menaikkan kesadaran-makrifat-pencerahan kita, membatasi peran-tipu daya indra-emosi-perasaan kita dalam memandang-memahami dunia termasuk memahami teks-teks agama itu sendiri..., membuat kita hanya merasa syahdu, menangis, tertawa, sedih, takut dan heroik untuk sesuatu yang secara nyata beralasan, ada dasar realitasnya.

Sayangnya, hampir semua agama sekarang berusaha didakwahkan-ditampilkan-ditanamkan seperti halnya novel atau film, berusaha menciptakan keimanan dan ketaatan melalui pelemahan kesadaran, melalui pemabukan, delusifikasi, bukannya melalui pensadaran-pemakrifatan. Kenyataan itulah yang membuat agama menjadi seumpama pisau bermata dua, sebaik dan sedamai apapun ajarannya, akan dengan mudah tergelincir menjadi berakibat sebaliknya, menjadi sumber masalah-kejahatan, disalah-pahami. Wajar saja, kebaikan, kebenaran, keimanan atau ketaatan yang ditumbuhkan dari ketidaksadaran-kemabukan-delusi akan pasti juga menyebabkan seseorang kehilangan kemampuan untuk memahami lingkup lebih luas-rumit apa-apa yang secara hakikat baik dan benar..., yang pantas diimani dan ditaati, yang akan menjadi "rahmatan lil'alamin".

Daripada kita sibuk mengajarkan-mendakwahkan orang lain apa-apa yang kita anggap baik atau benar, apa yang pantas diimani atau ditaati, membuatnya "mabuk", lebih baik kita sibuk mengajarkannya cara memahami apa-apa yang secara hakikat baik atau benar, yang pantas diimani atau ditaati, membuatnya "sadar". Karena memang hanya itulah yang membuat kebaikan, kebenaran, keimanan dan ketaatan seseorang menjadi berdasar-berpondasi, bukan kebaikan, kebenaran, keimanan dan ketaatan spekulatif yang rapuh, yang hanya didasari emosi sesaat, prasangka atau tahayyul...

Jumat, 12 Mei 2017

Agama, Mobil dan Motor


Tahun 90-an, di mata saya, Honda Civic Wonder dan Yamaha Alfa itu tampak keren sekali..., saya berfikir, tidak mungkin ke depannya ada orang atau pabrikan yang bisa membuat mobil dan motor lebih keren dari itu. Honda Civic Wonder dan Yamaha Alfa telah menjadi obsesiku-mengisi sebagian besar mimpi-mimpiku waktu itu.

Tapi nyatanya, seiring berjalannya waktu, pandangan "sempit-labil-emosional" saya itu terbukti salah besar. Inovasi demi inovasi, "bid'ah" demi "bid'ah" telah menciptakan mobil dan motor yang sama sekali tak kuduga kekerenannya, dramatis, melompat sangat jauh dari apa yang pernah kupikirkan. Honda Civic dan Yamaha Alfa yang dulu tampak keren, menjadi obsesi, sekarang tampak cupu, ndeso, bahkan "nggilani", jangankan menjadi obsesi, tidak malu memakainya saja sudah untung.

Pun demikian sebenarnya dengan yang terjadi pada agama. Pada saat agama itu baru muncul, pastilah para pendiri dan penganutnya akan memandang agama mereka itu paling "keren", paling "inovatif", paling sempurna, paling benar, tidak akan mungkin lagi ada agama baru yang mampu menandingi kekerenan, inovasi, kesempurnaan dan kebenarannya. Wajar saja, yang mereka jadikan pengukur dan pembanding adalah masa lalu dan situasi faktual waktu itu, masa dan situasi yang pasti tidak sempurna, menjadi alasan-pemberi energi mengapa inovasi-munculnya agama baru itu terjadi.

Fundamentalisme agama itu seumpama saya terus ngotot meyakini dan berusaha memaksakan keyakinan saya pada orang lain kalau Honda Civic Wonder dan Yamaha Alfa itu adalah mobil dan motor yang paling keren di saat Honda Jazz dan Yamaha Mio telah muncul. Cermin ketidak-ikhlasan saya menerima realitas baru..., cermin kebodohan saya memahami apa yang sejatinya keren..., cermin niat jahat saya mengunci kekerenan agar tidak berkembang-tetap ada di titik terendahnya.

Kehendak Tuhan, kehendak alam semesta itu sama dengan kehendak manusia akan desain sebuah mobil atau motor, "hidup", berubah dan berkembang, jangan "bunuh" dia, jangan kunci dia, jangan kerdilkan dia, sebaliknya, pahami dia, ikuti dia melalui akal dan hati-persepsi spiritual kita...

Kamis, 11 Mei 2017

Dogma dan Realita


Perilaku bangsa Arab sekarang yang "gitu" jelas akan membuat orang Yahudi dan Kristen semakin yakin akan kebenaran dogma kalau bangsa Yahudi adalah bangsa pilihan Tuhan, bangsa unggul, yang ditakdirkan untuk memimpin-membimbing bangsa-bangsa lainnya. Bagi saya tentu tidak, hanya membuat saya lebih mengerti mengapa suatu dogma berikut karakternya itu muncul. Situasi psikologis-sosial-budaya masyarakat di mana dogma itu muncullah yang memicu sekaligus menjadi penentu bagaimana karakternya.

Dogma lahir dari pengheningan diri, dia adalah persepsi spiritual, alam bawah sadar kita, "pamomong" kita, amarah, lawamah, sufiyah dan mutmainah kita, "Gusti" yang bersemayam dalam diri kita tentang apa-apa yang terbaik yang harus dipercaya atau dilakukan seseorang, suatu masyarakat atau suatu bangsa pada suatu waktu, suatu tempat dan suatu situasi-kondisi.

Dogma kalau Yahudi adalah bangsa pilihan Tuhan itu mirip dengan dogma (mitos) kalau hanya orang Jawa saja yang bisa dan berhak memimpin-membimbing-mempersatukan Nusantara sebagaimana dipercaya orang-orang Jawa tradisional, hampir pasti itu lahir dari situasi psikologis-sosial-budaya yang kurang lebih sama. Mungkin dulunya bangsa Yahudi adalah bangsa yang paling tinggi tingkat kesadaran atau makrifatnya baik secara spiritual, moral, akal ataupun budayanya di antara bangsa-bangsa lain di sekitarnya. Wajar hingga kemudian para spiritualis atau Nabi-Nabi mereka mendapat "ilham-wahyu" yang mengagungkan bangsa mereka sekaligus "memerintahkan" mereka memimpin-membimbing bangsa-bangsa lainnya. Dalam pertunjukan wayang selalu digambarkan kalau orang (tanah) Jawa itu memiliki kawruh, ilmu, kesadaran, tata krama, kecerdasan, peradaban yang tinggi, sementara orang (tanah) sebrang atau non Jawa digambarkan sebagai orang-orang bodoh dan liar yang kanibal, hanya bisa ribut, mau menang dan benar sendiri, tidak punya tata krama. Cerita dalam wayang itu jelas adalah potret-gambaran keadaan Nusantara di masa lalu, wajar kemudian para spiritualis Jawa dulu memunculkan dogma yang pada dasarnya mengagungkan orang Jawa sekaligus membebaninya dengan kewajiban memimpin dan membimbing, mirip dengan yang terjadi pada bangsa Yahudi.

Bagi saya pribadi, orang Yahudi dan Kristen yang masih percaya bangsa Yahudi adalah bangsa pilihan Tuhan itu jelas bodoh dan zalim..., sama dengan bodoh dan zalimnya orang Jawa tradisional yang masih percaya hanya orang Jawa saja yang bisa-berhak memimpin-membimbing-mempersatukan Nusantara atau bodoh dan zalimnya orang Islam yang masih percaya kalau orang Yahudi, Kristen, musyrik/pagan itu akan selalu membenci dan berusaha mencelakakan mereka..., orang-orang yang kehilangan "konteks", terbelenggu masa lalu, terbelenggu sejarah...

Rabu, 10 Mei 2017

Satukanlah Pandangan, Perkataan dan Perbuatan Kita


Alam bawah sadar kita tidak bisa diwiridi-ditanami dua atau lebih hal yang secara spirit-esensi bertentangan pada satu waktu. Itu akan membuat energi emosional-akal-spiritual kita terkuras tanpa mendapat manfaat apa-apa. Bahkan akan memicu sangat banyak mudarat atau keburukan, akan terjadi pertentangan parah yang sangat berdampak pada kesehatan mental-akal-spiritual kita. Akan membuat kita kehilangan semua sumber daya pemaham kebenaran dan kebaikan, pengunduh anugrah, hidayah dan keberkahan.

Kita tidak bisa-di satu sisi berpandangan-berkeyakinan negri ini berpegang pada thoghut atau setan tapi kita tidak bersedia pergi dari negri ini. Kita tidak bisa memandang agama atau Tuhan kita itu tinggi, besar, kuat atau agung tapi kita juga percaya agama atau Tuhan kita itu perlu dibela atau dilindungi. Kita tidak bisa membenci pekerjaan atau majikan kita tapi kita tidak segera berhenti bekerja untuk kemudian memilih pekerjaan atau majikan lain. Kita tidak bisa berkata korupsi itu buruk tapi kita sendiri malah korupsi. Kita tidak bisa meyakini masturbasi itu dosa tapi nyatanya kita terus melakukan itu.

"Yen wedi aja wani-wani, yen wani aja wedi-wedi". Coba lihat, wong perokok berat saja berani kok konsekwen..., kebanyakan mereka-kalau tidak berusaha menyangkal-menutup diri dari riset apapun tentang bahaya rokok, ya akan belajar ikhlas menyiapkan diri menerima dampak buruk rokok. Menjadi ironis melihat kenyataan banyak diantara kita-di satu sisi sering merasa dan mengklaim kuat, benar, berilmu atau soleh tapi di sisi lain memilih menjadi pengecut, peragu bahkan munafik, tidak konsekwen melaksanakan sepenuhnya apa yang sudah dipilih, diyakini atau dikatakan.

Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung..., pencerahan terjadi saat pikiran, perkataan, perbuatan, hati kita telah selaras, tidak ada perbedaan, tidak ada jarak. Kita memiliki energi emosional-akal-spiritual yang terbatas, jangan gunakan itu untuk membuat api sekaligus air, membesarkan atau membangun satu hal untuk kemudian dikecilkan-diruntuhkan kembali dengan kita membesarkan-membangun hal lainnya yang bertentangan...

Selasa, 09 Mei 2017

Pilih Iman atau Kebenaran?


Saya dulu punya teman tetangga kost yang selalu mengeluh katanya kurang njemprak alias perkasa di ranjang, sudah minum Irex hingga Kuku Bima tapi tetep nglentruk alias susah "kluruk" katanya.

Karena dia sering banget mengeluh soal itu, akhirnya saya kemudian iseng, asal ceplos, asal muni, niatnya untuk ngledek saja, memberi dia saran, "coba kamu rutin makan belalang mentah" (waktu itu saya sedang membakar belalang sehingga jadi muncul ide saran itu). Saran itu ternyata dijalankannya, terbukti beberapa minggu kemudian dia memberitahu saya katanya dia sudah perkasa lagi, resepku jos gandos alias terbukti!. Sebenarnya saya ingin tertawa ngakak guling-guling mendengar "kesaksiannya" itu tapi terpaksa saya empet, kasihan kalau entar dia loyo lagi begitu diberi tahu kalau saran itu sejatinya cuman bohongan.

Begitulah contoh dampak dramatis dari sebuah iman atau kepercayaan. Memang itu akan memberi kita limpahan motivasi, energi, sugesti, tapi jelas, itu akan menjauhkan kita dari hakikat kebenaran. Tidak ada bukti ilmiah atau empiris apapun kalau belalang mentah bisa bikin seorang lelaki menjadi perkasa di ranjang. Kalaupun teman saya itu menjadi perkasa betulan, itu pasti cuman efek placebo yang timbul akibat dari kuatnya iman atau kepercayaan dia terhadap kata-kata saya sehingga itu mampu menghubungkan alam sadarnya dengan alam bawah sadarnya, membuat apa yang dipikirkan, diharapkan, dipercayanya mudah mewujud menjadi kenyataan.

Pun demikian sejatinya dengan dampak iman atau kepercayaan terhadap agama, memang itu akan membuat kita dibanjiri motivasi, energi, sugesti, perasaan syahdu, tenang, damai hingga heroik, tapi itu pasti akan menjauhkan kita dari pemahaman terhadap hakikat kebenaran..., membuat hidup kita mudah jatuh dalam perangkap ego, spekulasi, prasangka, mitos, tahayyul, delusi, ilusi hingga halusinasi. Membuat akal kita melumpuh, hati tertutup, tidak berfungsi sebagaimana wajarnya.

Kalau yang kita inginkan adalah kekuatan, energi, motivasi, sugesti, bangunlah iman sekuat mungkin, buang akal dan tutuplah hati karena memang itulah ancaman terbesarnya. Tapi kalau yang kita kehendaki adalah kebenaran, sebaliknya, batasi iman, kalau perlu bunuhlah dia, pasrahkan diri, gunakan akal dan hati kita untuk memahami dunia ini. Tapi yang jelas, jadilah konsekwen, kalau kita lebih memilih membangun iman, jangan pernah mengklaim kebenaran, sebab kebenaran itu tidak untuk diimani atau diklaim tapi untuk diamati, dipahami, dibuktikan dengan segenap akal dan hati kita...

Jumat, 05 Mei 2017

Cinta dan Makrifat



Cinta akan menghubungkan kita dengan hati kita, diri sejati kita, tempatnya kebenaran, pengetahuan, kekuatan, Tuhan..., mengantarkan kita pada "penglihatan", pencerahan, makrifat.

Jika kita mencintai wanita kita, kita akan menjadi sangat empatik, hati kita akan terhubung dengan hati wanita yang kita cintai..., kita akan dipahamkan tentang apa-apa yang terbaik, yang membahagiakan, yang disukai wanita kita..., kita akan mengetahui keadaan wanita kita di manapun dia berada-walau terpisah jarak ribuan kilo meter..., bahkan kita akan diberi "penglihatan" tentang masa depan dari wanita yang kita cintai.

Jika kita mencintai pekerjaan kita, kita akan dibanjiri ide-ide brilian, kreatifitas, inovasi..., membuat pekerjaan kita menjadi sangat efektif, efisien, produktif..., membuat pekerjaan kita terasa menggembirakan-membahagiakan bagaimanapun besar kesulitan-tantangannya..., membuat hasil dari pekerjaan kita menjadi penuh berkah, memberi energi positif bagi siapapun yang menikmatinya.

Jika kita mencintai negara atau tanah air kita, kita akan menyatu secara mental-spiritual dengannya..., membuat kita dipahamkan apa-apa yang terbaik yang bisa kita lakukan untuk tanah air kita..., membuat kita mampu melihat sekaligus megambil peluang-berkah-kebaikan yang diberikan tanah air kita..., membuat kita bisa mencegah mudarat hingga bahkan azab yang mungkin timbul akibat kesalahan perilaku kita-masyarakat kita dalam bernegara.

Masalahnya sekarang, banyak orang "soleh" justru mengharamkan mencintai wanita, pekerjaan atau bahkan tanah airnya..., alasannya kelihatannya bagus, agar bisa mencintai Allah sepenuhnya. Sayangnya, itu hanya sebatas teori, retorika atau jargon, sebab faktanya, yang mereka kira sebagai sedang mencintai Allah ternyata tidak lebih dari mencintai prasangka, mitos, tahayyul, dogma tentang Allah..., bukan mencintai Allah sebagai esensi..., mereka hanya sedang mencintai indra, pikiran bahkan hawa nafsu mereka sendiri.

Cinta dalam dalam segala bentuknya dan terhadap siapapun termasuk mencintai wanita kita, pekerjaan kita, tanah air kita, sesama manusia, sesama makhluk adalah pintu, ilham, sarana kita belajar mencintai Allah dengan benar. Hanya dengan kita belajar itu kita akan terhindar dari cinta buta terhadap Allah, cinta tanpa pencerahan-makrifat, cinta yang hanya tumbuh dari prasangka dan ego-hawa nafsu...

Kamis, 04 Mei 2017

Yang Dipuja, yang Menguasai


Orang-orang jaman dulu banyak yang mendapat ilham, wangsit atau petunjuk untuk menjadi maling, perampok, pezina, pemerkosa, hingga bahkan menjadi pembunuh saat menjalani "laku" spiritual demi mendapatkan kekayaan, kehormatan atau kekuasaan. Orang-orang "soleh" jaman sekarang banyak yang mendapat ilham, "hidayah" untuk memusuhi, memerangi, memfitnah, menindas atau bahkan menghabisi orang yang tidak se-ide, se-agama, se-etnis, se-golongan atau se-ras demi tujuan yang sama.


Kelihatan berbeda tapi secara esensi sebenarnya sama saja, hanya beda kemasan, intinya mereka hanya sedang menjalani petunjuk-berusaha memenuhi hawa nafsu-amarah, lawamah dan sufiyahnya.


Kenyataan yang menunjukkan bahkan spiritualitas atau relijiusitas tetap tidak akan mampu mengantarkan pengamalnya ke jalan yang lurus, jalan Tuhan, jalan suci jika itu tidak diawali-didasari dengan "laku-tarikat" pengendalian ego-hawa nafsu terlebih dahulu. Sebaliknya, justru sering membuat pengamalnya  "mabuk" berat, kesulitan untuk sekedar memahami yang mana sebenarnya jalan yang lurus-jalan Tuhan-jalan suci itu.


Siapa yang akan memberi kita hidayah-petunjuk, membimbing, "mengemong", mengayomi, mengilhami, menjadi "Tuhan" bagi hidup kita bergantung dari siapa "sedulur-pamomong" kita yang dominan kita "hidupi", kita puja-menguasai hidup kita, apakah ego (hawa nafsu) kita, akal (malaikat) kita atau hati (Tuhan kita).


Spiritualitas atau relijiusitas hanya akan mengantarkan kita ke jalan yang lurus-jalan Tuhan-jalan suci jika itu ditafsiri sebagai "laku-tarikat" mengendalikan ego-hawa nafsu kita, menjadikan hati kita sebagai "raja". Sayangnya, banyak orang sekarang bukannya menjadikan relijiusitas atau spiritualitas sebagai laku-tarikat mengendalikan ego-hawa nafsu, justru sebaliknya, dijadikan sarana memenuhinya..., dijadikannya hanya sebagai pengkamuflase ego-hawa nafsunya agar tampak dan dirasakan lurus dan suci...

Selasa, 02 Mei 2017

Tiada Sembah tanpa Rendah Hati



Orang Jawa tradisional, hanya menyembah keris, gunung, pohon atau batu besar saja banyak yang hidupnya menjadi berkah bagi orang lain, menjadi "rahmatan lil 'alamin". Sekarang banyak orang mengklaim menyembah Tuhan yang esa tapi hidupnya justru menjadi masalah-musibah bagi orang lain-alam semesta. Kenyataan yang mencerminkan-mungkin saja obyek yang mereka-orang Jawa tradisional sembah salah, tapi jelas, cara menyembah mereka tidaklah salah sehingga apa yang disembahnya tetap menghubungkannya dengan hati-diri sejatinya-Gustinya.

Bersujud, berlutut, menghormat atau menyembah terhadap apa dan siapapun..., Terhadap Tuhan yang esa, dewa-dewa, leluhur..., terhadap keris, gunung, pohon atau batu besar, atau terhadap sesama manusia adalah salah satu bentuk "laku-tarikat" melemahkan ego-hawa nafsu yang jika dilakukan dengan benar, ikhlas, sungguh-sungguh pada akhirnya akan membukakan pintu hati kita, membuat kita dalam posisi "tutup cangkir terbuka", siap menerima berkah-anugrah kekuatan, petunjuk-pengetahuan atau bahkan kekayaan dari siapapun.

Tanda kalau bersujud, berlutut, menghormat atau menyembah kita telah benar dan berhasil adalah tumbuhnya sikap rendah hati, perasaan-pengakuan kalau diri kita ini lemah, bodoh-tidak tahu banyak atau tidak punya apa-apa. Sikap-sikap yang pada akhirnya akan ditangkap-dipersepsikan hati-alam bawah sadar kita-Gusti yang bersemayam di dalam diri kita sebagai pesan kalau kita sedang sangat memerlukan bantuan-pertolongan-anugrah berupa kekuatan, petunjuk-pengetahuan atau bahkan kekayaan darinya.

Kalau bersujud, berlutut, menghormat atau menyembah kita malah membuat kita tinggi hati, merasa kuat, benar, suci, pandai atau kaya seperti yang terjadi pada banyak orang "soleh" sekarang, itu ibarat "tikus mati di lumbung beras", "menyembah setan di rumah Tuhan". Bersujud, berlutut, menghormat atau menyembah bukannya membukakan pintu hati-tempatnya kekuatan, pengetahuan dan anugrah malah sebaliknya mengotori, menutup bahkan mematikannya. Akibatnya sudah pasti, kesesatan, membuat orang "mati" di tempat yang harusnya justru membuatnya "bangun" dan "hidup", terbimbing di jalan yang lurus...