Jaman saya kecil dulu-sebagaimana umumnya orang Jawa, tentu sering dibilangin oleh orang tua, "jangan menduduki bantal, entar bisulan" atau "jangan bermain di luar rumah saat sande kala mbok digondol wewe". Kata-kata orang tua saya itu dulu sangat efektif membuat saya takut, tidak berani melakukan apa yang dilarangnya itu tanpa sekalipun mempertanyakan alasannya, pokoknya patuh buta-mutlak tanpa syarat.
Memasuki masa remaja, saya mulai mempertanyakan-mengkritisi ajaran orang tua saya itu, menurutku itu ajaran bodoh, tidak logis, tidak masuk akal, tahayyul, tidak seharusnya dipercaya apalagi diikuti. Hari-hari sayapun kemudian diisi dengan kepongahan, mengolok-olok bahkan mencaci-maki ajaran itu bahkan hampir semua ajaran Jawa lainnya termasuk tata krama ala Jawapun saya anggap dan hakimi kampungan, feodal, kolot, kuno.
Tapi kini, saya mulai bisa mengerti hikmah-ilmu-rahasia dibalik ajaran orang tua kita itu dulu, boleh saja faktanya itu betul tidak logis, tidak masuk akal tapi jika nyatanya ada hikmah-kemaslahatan besar dibaliknya, tidak seharusnya kita membabi-buta menolaknya. Tingkat kesadaran orang itu berbeda, bagi orang yang berkesadaran rendah seperti saat kita masih anak-anak, tidak terlalu penting mengukur kelogisan suatu ajaran, sebab tujuan dari sebuah ajaran pasti hanya untuk mengarahkan orang melakukan atau tidak melakukan sesuatu, yang penting ajaran itu tujuannya baik, tidak bertentangan dengan nilai yang tumbuh dari "kesadaran" batiniah-universal kita.
Jaman saya anak-anak menyikapi ajaran adat orang tua adalah cermin orang relijius "lahir", relijius dogmatis atau fundamentalis, orang yang patuh buta-mutlak terhadap ajaran-dogma agama tanpa mau mikir dan mempertanyakan rasionalitas dan hikmah-rahasia dibaliknya. Jaman saya remaja adalah cermin orang atheis-rasionalis, mengukur segala sesuatu hanya berdasar logika-nalar, pokoknya ajaran apapun yang bertentangan dengan logika-nalar berarti salah, tidak boleh diikuti. Sementara jaman sekarang adalah cermin orang relijius "batin" atau spiritualis yang mengukur sebuah ajaran lebih didasari realitas-hakikat maslahat-tidaknya, bukan hanya didasari dalil-dogma, bukan pula hanya didasari logis-tidaknya.
Yang jadi masalah adalah jika ada orang tua masih percaya buta-mutlak kalau menduduki bantal itu bisa bikin bisulan atau keluar saat sande kala itu akan digondol wewe, mereka jelas telah membawa "kesadaran" masa anak-anaknya di masa seharusnya itu sudah ditinggalkan. Sama seperti orang-orang fundamentalis, mereka akan menjadi tampak konyol sekaligus sering bermasalah dengan "peradaban", hidup mereka akan terus dipenuhi delusi, halusinasi, prasangka dan spekulasi akibat dikuncinya kesadaran mereka di masa "anak-anak", tidak bisa berkembang, tidak bisa mendayagunakan nalarnya, tidak bisa mendengar kata hatinya...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar