Jumat, 22 April 2016

Kenali Hatimu dan Berkembanglah!




Jaman saya kecil dulu-sebagaimana umumnya orang Jawa, tentu sering dibilangin oleh orang tua, "jangan menduduki bantal, entar bisulan" atau "jangan bermain di luar rumah saat sande kala mbok digondol wewe". Kata-kata orang tua saya itu dulu sangat efektif membuat saya takut, tidak berani melakukan apa yang dilarangnya itu tanpa sekalipun mempertanyakan alasannya, pokoknya patuh buta-mutlak tanpa syarat.


Memasuki masa remaja, saya mulai mempertanyakan-mengkritisi ajaran orang tua saya itu, menurutku itu ajaran bodoh, tidak logis, tidak masuk akal, tahayyul, tidak seharusnya dipercaya apalagi diikuti. Hari-hari sayapun kemudian diisi dengan kepongahan, mengolok-olok bahkan mencaci-maki ajaran itu bahkan hampir semua ajaran Jawa lainnya termasuk tata krama ala Jawapun saya anggap dan hakimi kampungan, feodal, kolot, kuno.


Tapi kini, saya mulai bisa mengerti hikmah-ilmu-rahasia dibalik ajaran orang tua kita itu dulu, boleh saja faktanya itu betul tidak logis, tidak masuk akal tapi jika nyatanya ada hikmah-kemaslahatan besar dibaliknya, tidak seharusnya kita membabi-buta menolaknya. Tingkat kesadaran orang itu berbeda, bagi orang yang berkesadaran rendah seperti saat kita masih anak-anak, tidak terlalu penting mengukur kelogisan suatu ajaran, sebab tujuan dari sebuah ajaran pasti hanya untuk mengarahkan orang melakukan atau tidak melakukan sesuatu, yang penting ajaran itu tujuannya baik, tidak bertentangan dengan nilai yang tumbuh dari "kesadaran" batiniah-universal kita.


Jaman saya anak-anak menyikapi ajaran adat orang tua adalah cermin orang relijius "lahir", relijius dogmatis atau fundamentalis, orang yang patuh buta-mutlak terhadap ajaran-dogma agama tanpa mau mikir dan mempertanyakan rasionalitas dan hikmah-rahasia dibaliknya. Jaman saya remaja adalah cermin orang atheis-rasionalis, mengukur segala sesuatu hanya berdasar logika-nalar, pokoknya ajaran apapun yang bertentangan dengan logika-nalar berarti salah, tidak boleh diikuti. Sementara jaman sekarang adalah cermin orang relijius "batin" atau spiritualis yang mengukur sebuah ajaran lebih didasari realitas-hakikat maslahat-tidaknya, bukan hanya didasari dalil-dogma, bukan pula hanya didasari logis-tidaknya.


Yang jadi masalah adalah jika ada orang tua masih percaya buta-mutlak kalau menduduki bantal itu bisa bikin bisulan atau keluar saat sande kala itu akan digondol wewe, mereka jelas telah membawa "kesadaran" masa anak-anaknya di masa seharusnya itu sudah ditinggalkan. Sama seperti orang-orang fundamentalis, mereka akan menjadi tampak konyol sekaligus sering bermasalah dengan "peradaban", hidup mereka akan terus dipenuhi delusi, halusinasi, prasangka dan spekulasi akibat dikuncinya kesadaran mereka di masa "anak-anak", tidak bisa berkembang, tidak bisa mendayagunakan nalarnya, tidak bisa mendengar kata hatinya...

Selasa, 12 April 2016

Mengalirkan Diri, Menyelamatkan Diri





Waktu masih remaja dulu, saya pernah diajari teman saya cara menyeberangi sungai yang alirannya sangat deras tanpa harus hanyut atau tenggelam. Caranya sederhana dan tanpa kuduga sama sekali, cukup dengan menghanyutkan diri di aliran sungai itu sambil sedikit demi sedikit melangkahkan kaki ke depan menyeberangi sungai.


Sekali dua kali praktek memang menakutkan sekali, saya harus bergumul dengan gelegak air dengan batu-batu besar di kanan kiri yang siap menghajar tubuh saya sedikit saja lengah atau salah perhitungan, tapi lama-lama itu dirasakan sebagai sesuatu yang biasa bahkan justru ada kenikmatan tersendiri, mungkin terasa sama dengan mereka yang bermain selancar.


Ikhlas menghanyutkan diri beberapa puluh meter tapi menghindarkan saya dari hanyut ribuan meter, itulah hikmah-pelajaran yang bisa saya ambil. Coba seandainya saya itu dulu ngotot menyeberangi sungai yang deras itu dengan berjalan lurus ke depan sebagaimana yang ada dalam bayangan saya, bukannya akan sampai di seberang sungai, malah saya pasti akan jatuh dan terseret air, tenggelam, menghantam batu-batu, kecil kemungkinannya untuk saya akan selamat.


Aliran air sungai yang deras itu adalah cermin kehendak alam-kehendak hakiki Tuhan, mau tidak mau kita harus berusaha memahami-mengikuti-menyesuaikan diri dengan arah-kehendak-karakternya kalau kita ingin selamat mencapai tujuan yang kita inginkan. Sekarang banyak orang beragama dengan pede bahkan sombongnya-atas nama Tuhan atau kebenaran ngotot berusaha menyeberangi "sungai deras" dengan cara berjalan lurus ke depan, sesuatu yang akan sia-sia saja, akan bernilai bunuh diri. Itulah cermin akibat fatal dari beragama tanpa didasari ilmu, tanpa "kawruh", delusilah yang akan terjadi, spekulasilah yang akan dipilih, akibatnya hampir pasti, niatnya ingin "menyeberang" ke syurga tapi malah akhirnya "hanyut" ke neraka...

Sabtu, 09 April 2016

Pikiranmu, Harimaumu




Dulu saya ini pernah kedanan pada seorang wanita, gandrung-gandrung kapirangu lir Burisrawa lara jiwa..., kalau siang sering tanpa sadar ngrungrung senggon-nggon, nek gak muni "lali-lali tan biso lali" ea muni "duh wong ayu pepujaning ati", sampai sering malu saya gara-gara tanpa sadar nyanyiin itu di tempat umum. Sementara kalau malam, kuhabiskan waktuku untuk berdoa, memohon agar dia dijodohkan denganku..., dalam tidurpun, selalu saja ngimpiin dia, mimpi yang sangat indah dan dramatis, terasa bagai nyata.


Tapi apa yang kemudian akhirnya terjadi...?, pikiran, perasaan, prasangka dan harapan yang begitu kuat terpatri bukannya mengantarkan dia menjadi jodohku malah membuatku menjadi "gila", sering mengalami ilusi, delusi dan halusinasi hebat, merasa-mendengar dia mengucap salam-mengetuk pintu rumahku, setelah dibuka ternyata tidak ada siapa-siapa, sering di tengah keramaian melihat ada wanita yang tampak seperti dia tapi setelah didekati dan disapa ternyata bukan dia. Kenyataan yang menunjukkan kalau pikiran, perasaan, prasangka dan harapan yang tak terkendali tidak akan bisa mengantarkan kita kemanapun selain kesesatan-ilusi, delusi dan halusinasi.


Jadi bisa dimengerti mengapa aliran-aliran keagamaan yang gemar sekali mengindoktrinasikan pikiran, perasaan, prasangka dan harapan kalau dirinyalah yang paling benar-yang lain salah semua, akhirnya banyak memunculkan orang-orang "gila" yang tertipu otaknya sendiri. Jadi bisa dimengerti mengapa Abu Jibril dengan pedenya mengatakan "siapa yang ikut Pancasila akan binasa" atau orang-orang Hizbut Tahrir kemana-mana teriak "khilafah solusinya", atau orang-orang ISIS mampu berbuat sebrutal itu tapi tetap merasa ada di jalan Tuhan.


Pikiran, perasaan, prasangka dan harapan memang akan memberi kita limpahan motivasi dan energi, tapi itu juga akan menjauhkan kita dari hakikat kebenaran, kalau yang ingin kita cari atau kita klaim adalah kebenaran, sudah seharusnya kita ikhlas belajar mengendalikan itu. Kita harus belajar mengosongkan-menetralkan pikiran, perasaan, prasangka dan harapan kita sehingga pada akhirnya pikiran perasaan, prasangka dan harapan kita akan menjadi selaras-diisi langsung oleh yang maha benar...

Kesombongan itu Membutakan, Membodohkan




Amerika itu dikenal sebagai negara yang kuat baik kuat secara ekonomi, militer dan terutama, kuat secara intelektual..., tapi mengapa kebijakan Amerika di Timur Tengah dan belahan dunia lainnya tampaknya selalu salah?. Ingin menyebarkan demokrasi malah memicu anarki, ingin memberantas terorisme malah menyuburkan terorisme, ingin menggulingkan diktator malah memunculkan diktator baru yang lebih kejam, ingin membendung fundamentalisme malah akhirnya mendukung rezim-rezim fundamentalis. Kenyataan yang sangat tidak sinkron dengan fakta kalau Amerika itu negara cerdas, terpelajar, tercerahkan.


Kekuatan itu dekat dengan kesombongan dan kesombongan adalah ekspresi ego-hawa nafsu yang melemahkan akal, menutup hati-melemahkan empati, "daya lihat". Akal, empati dan daya lihat yang lemah akan berarti lemahnya daya tepat dan daya adil. Jika itu yang terjadi, kita atau siapapun dalam posisi "mabuk", akan mudah salah pikir, salah sikap, salah jalan.


Kalau Amerika sombong tentu wajar toh mereka secara fakta betul kuat di hampir semua sisi, pantas untuk sombong..., kesombongannya tidak akan terlalu banyak memicu masalah serius. Yang menjadi masalah adalah, banyak orang kita sekarang yang sebenarnya sangat lemah tapi sombong, merasa kuat, merasa benar, merasa pandai. Akibatnya fatal, memicu matinya empati dan "daya lihat", membuat pikiran, perkataan dan langkah apapun menjadi cenderung salah, membuat mereka tidak mampu memperbaiki-menguatkan diri, terus terjebak dalam kelemahan...

Lihatlah ke Dalam Agar Kita Mampu Melihat ke Luar





Hanya dengan kita mau dan mampu melihat ke "dalam", kita akan mampu melihat ke "luar" dengan benar, adil, obyektif dan proporsional.


Agama lahir dengan maksud agar pemeluknya lebih mau dan mampu melihat ke dalam, ke jati dirinya, ke kesadaran-pengetahuan-kekuatan lebih tingginya, ke Pamomongnya, ke Gusti atau Dewa yang bersemayam di dalam dirinya.


Tapi yang terjadi sekarang justru sering sebaliknya, banyak orang beragama sangat sibuk melihat ke luar, berusaha menilai dan menghakimi setiap detail apapun yang mereka lihat di luar sana. Mereka justru menjadi sangat enggan melihat ke dalam dirinya, introspeksi.

Mereka mengira dengan begitu, dirinya bisa tetap lurus dan meluruskan orang lain, membuat dirinya diberkahi dan dirahmati Tuhan. Padahal sikap-cara beragama seperti itu sudah pasti hanya akan membuat kita seumpama peribahasa, "kuman di seberang lautan tampak, gajah di pelupuk mata tiada tampak". Kita akan menjadi gagal tahu sekaligus gagal adil, gagal melihat kelebihan orang lain sekaligus mengenali kelemahan diri, gagal meraih pengetahuan dan kebijaksanaan dari agama.


"Ruh" ilmu itu ada di dalam diri kita-kesadaran-pengetahuan lebih tinggi kita. Pandangan apapun-didasari apapun kita terhadap dunia di luar sana-jika itu tanpa didasari "ruh" ilmu, kesadaran-pengetahuan lebih tinggi kita, pandangan itu sudah pasti hanya akan bernilai prasangka, spekulasi, tahayyul, yang akan sangat rawan terdistorsi, termanipulasi kepentingan-ego-hawa nafsu kita...

Penderitaan adalah Peluang Besar




Dalam pertunjukan wayang, penderitaan, cobaan atau masalah itu sering digambarkan sebagai "pendadaran", kesempatan kita untuk menguji diri, jika kita berhasil melaluinya, kemuliaan, kejayaan atau pencerahanlah yang akan kita dapat, sebaliknya, jika kita gagal, kita akan "masuk kotak", tenggelam dalam pusaran kehendak alam tanpa arti.


Sekilas penggambaran itu hanya bersifat retorika, sama seperti retorika politisi atau motivator ulung saat berusaha menghibur-memotivasi "ABG" labil, tapi sebenarnya tidak, itu pandangan yang tumbuh dari "penglihatan", kawruh atau kema'rifatan.


Penderitaan, cobaan atau masalah asal tetap "disadari" dan diikhlaskan itu akan bernilai sebagai "tapa brata", sarana kita mengetuk "gerbang" langit, menguras-mengunduh-membangunkan kekuatan-pengetahuan Ilahiyah, kesadaran lebih tinggi yang ada dalam diri kita-yang akan tetap tertidur dan terpendam jika kita terus hidup dalam kenyamanan atau kesenangan.


Seorang mahasiswa pasti akan mengharap bisa melalui tahap pendadaran bagaimanapun itu tampak berat, menyusahkan bahkan mengerikannya. Menjadi ironis jika kita malah terus menghindari atau bahkan meratapi pendadaran yang sesekali menimpa hidup ini. Sikap yang sejatinya-di satu sisi akan mendramatisir-menguatkan dampak buruk penderitaan, cobaan dan masalah itu sendiri, sementara di sisi lain, akan membuat kita tertutup dari kemungkinan mendapat hikmah-kekuatan dibalik penderitaan, cobaan atau masalah itu...