Minggu, 24 November 2019

Antara Kebencian dan Pengetahuan




Jika kita sungguh-sungguh mencintai seseorang, kita juga pasti akan mencintai keluarganya, teman-temannya, kampung halamannya, etnisnya, budayanya, bahasanya..., kita ingin "manunggal" dengannya-menjadi seperti dia, kita akan menjadi peniru-pembelajar sangat efektif.


Sebaliknya dengan membenci. Kita tidak mungkin membenci suatu kaum tanpa ikut juga membenci semua hal terkait dengannya termasuk hal-hal baik atau positifnya. Kita tidak mungkin membenci Yahudi, Nasrani, Barat, China, Jepang, Korea, tanpa membenci kemajuan, kekayaan, kepandaian, keberadaban, kedisiplinan, kerja keras. Alam bawah sadar kita itu hebat tetapi lugu, dia memiliki algoritma seperti komputer, matematis sekali, sedikit saja salah menulis "script", sering akan dimaknai sangat berbeda bahkan berbalik dengan yang kita kira atau harapkan. "Ya Tuhan, berilah hamba yang putih, MONTOK, penurut"..., jreeeng, tiba-tiba seekor sapi mendekati anda! ^^ Begitulah kira-kira contoh yang akan terjadi jika kita gagal memberi "input" yang tepat kepada alam bawah sadar kita.


Sayangnya, yang dibenci orang-orang relijius sekarang sering justru adalah kaum-kaum yang maju, kaya, pandai, beradab, disiplin, pekerja keras.., mereka dibenci hanya karena tidak seagama. Secara mental-spiritual itu sebenarnya sama saja membenci-menolak kekayaan, kemajuan, kepandaian dan keberadaban datang dalam hidup mereka, membuat mereka kesulitan belajar secara cepat dan efektif menggapai itu semua. Untuk apa di dunia kaya, maju, pandai, kalau di akhirat dibakar di neraka...?, begitu biasanya mereka menghibur diri..., ya sudah kalau gitu, asal ikhlas saja kalau melihat orang lain kaya, maju, pandai..., jangan ngiri, jangan benci, jangan marah!.


Jepang waktu dikalahkan Amerika bukannya lalu membenci dan mendendam tapi malah "memasrahkan" diri, belajar. Hanya dalam beberapa puluh tahun, Jepang sudah menyamai Amerika. Membenci itu sah-sah saja asal didasari pengetahuan, bukan hanya didasari prasangka, angan-angan, hawa nafsu, klenik dan tahayyul..., sebab ada konsekwensi luas yang harus kita bayar dari membenci, salah perhitungan, membenci-memusuhi orang lain akan bermakna membenci-memusuhi diri kita sendiri...



Sabtu, 23 November 2019

Yang Dipuja, Yang Membentuk Jiwa




Jika engkau belum mengenal Tuhanmu, cukuplah engkau berprasangka baik kepadanya (Rumi). Tepat sekali kata-kata sang Sufi ini. Itulah jalan tengah teradil dan tercerdas bagaimana harusnya "default" kita memandang Tuhan.


Sebab siapa yang kita sembah, puja, idolakan, panuti, tidak peduli itu obyek nyata atau fantasi, dialah yang akhirnya akan membentuk siapa diri kita-karakter kita, yang akan membagi vibrasinya dengan kita, yang akan kita manunggali. Jika kita mewirid-mempercayai Tuhan kita keras, pemarah, pembenci, pendendam, penteror, pengazab, fasis, seksis, misoginis-sebagaimana tuhannya orang-orang relijius ITU, seperti itu jugalah akhirnya kita menjadi..., pun jika kita memilih mewiridkan Tuhan sebagai yang maha sabar, pemaaf, pemurah, pengasih dan penyayang, "khodam" itu juga yang akhirnya akan "merasuki" kita, membimbing kita, membentuk "jagat" kita.


Bahkan jikapun Tuhan kita salah, Tuhan tidak terjangkau atau bahkan Tuhan tidak ada, tapi jika kita memiliki gambaran-gambaran baik-positif-non egoistik tentangnya, setidaknya itu tetap akan membawa kita pada kesadaran, pada makrifat, pada esensi jalan lurus, tidak akan ada ruginya. Sebaliknya, gambaran buruk-egoistik akan Tuhan, sudah pasti akan menjerumuskan kita pada kemabukan-ketidaksadaran, akar dari segala kejahilan, kegelapan bahkan kezaliman, esensi setan. Yang jelas, tidak mungkin Tuhan (jika benar ada) lebih memilih kemabukan daripada kesadaran, itu mengingkari sunatullah-hukum-hukum dasar alam semesta.


Enak dong kalau tuhannya sabar dan pemaaf, setiap saat kita bisa bikin dosa tanpa takut Tuhan marah..., gitu biasanya cibiran dari orang-orang relijius ITU. Kelihatan masuk akal cibirannya, tapi sebenarnya konyol, tidak nyambung, sebab jika kita mampu sabar dan memaafkan, bukan hanya kita akan mampu menghindari dosa, kita juga akan mampu mengerti apa yang sejatinya dosa dan apa yang hanya didudukkan sebagai dosa, klenik-tahayyul tentang dosa...

Jumat, 22 November 2019

Jangan Paksa Otak Kita!



Coba anda berdoa siang malam agar Dewi Persik atau TORA SUDIRO dibukakan pintu hatinya hingga mau jadi YAYANG anda.


Kemungkinan besar akhirnya anda-betul akan melihat Dewi Persik atau Tora Sudiro tampak pesam-pesem, ngguya-ngguyu, kedap-kedip di hadapan anda, terasa sangat nyata, tapi giliran mau anda NGANU, tiba-tiba saja menghilang. Saya sendiri pernah mengalami itu, pernah berdoa siang malam agar cah KAE dadi bojoku, eee..., pungkasane malah KENTIR..., bojone tonggo atau bahkan bantal guling sering jadi tampak seperti cah KAE... ^^


Otak kita tidak bisa dipaksa menghadirkan sesuatu yang esensinya tidak ada atau yang di luar kapasitasnya menghadirkan..., berusaha memaksanya menghadirkan, hanya akan membuat otak rusak atau berontak, menjadi bumerang, menipu kita, membalikkan persepsi kita, membuat kita akhirnya "edan ora konangan."


Pun juga sebenarnya dengan berusaha menghadirkan jin, malaikat atau Tuhan, itu akan memiliki dampak seperti berusaha menghadirkan Dewi Persik atau Tora Sudiro di hidup kita, bahkan jikapun betul sosok-sosok itu ada (seperti betul adanya Dewi Persik atau Tora Sudiro), yang akan hadir di hadapan kita hampir pasti hanyalah ilusi, delusi, halusinasi tentang jin, malaikat atau Tuhan, tipuan otak kita.


Agama yang BENAR hanya akan mengajarkan kita memahami apa yang sejatinya ada atau tidak ada, dan itu memiliki rangkaian "laku" yang jelas, membatasi prasangka, angan-angan, harapan, ego-hawa nafsu kita, sesuatu yang sangat tidak SEKSI. Sayangnya, bahkan agama yang sangat keras mengklaim diri sebagai kebenaran, sering justru adalah agama yang paling minim mengajarkan itu, sebaliknya, paling memicu meledaknya prasangka, angan-angan, harapan, ego-hawa nafsu pengikutnya.


Betul kata Zainuddin MZ, kebanyakan orang lebih suka makan roti walau hanya dalam mimpi daripada makan singkong padahal nyata..., lebih suka KLENIK dan TAHAYYUL asal terasa indah daripada realitas tapi pahit..., lebih suka digombalin LANANG BOYO daripada dijujurin LANANG polos dan tanpa dosa...

Rabu, 13 November 2019

Apakah Ada Agama Yang Benar?




Mengapa tidak ada satupun agama membicarakan fakta-fakta sains bahkan yang sangat sederhana seperti bumi ini bulat dan mengelilingi matahari...?.


Kesadaran lebih tinggi kita sebagai sumber datangnya agama itu tidak didesain untuk mementingkan-mengenali apa yang benar, fakta, realitas..., dia hanya didesain untuk mementingkan-mengenali apa yang benar baik-menguntungkan, yang menopang eksistensi, kecilnya bagi diri pribadi pendiri agama, pengikutnya, etnis atau bangsanya, dan besarnya, bagi umat manusia dan alam semesta secara keseluruhan. Dia bagian dari naluri paling fitrah-dasar-primitif kita, naluri untuk bertahan hidup.


Jadi, kalau ada orang berfikir atau mengklaim agamanya itu sumber sains, berselaras atau mendukung pengembangannya itu sebenarnya konyol, gak mengerti esensi (asal) agama..., atau bahkan (pendiri) agamanya yang ngawur, berani membicarakan sesuatu yang di luar jangkauan-kapasitasnya. Orang Buddha biasanya mengklaim agamanya berselaras dengan sains..., sebenarnya tidak juga, agama Buddha "hanya" tidak membicarakan sains saja.


Sains berkembang jika indra dan akal kita kuat, sementara agama sebaliknya, jika indra kita terlalu kuat-gagal dikuasai, kita terlalu rasional-berakal kuat, kita tidak akan bisa mengambil manfaat esensial-tinggi-spiritual apapun dari agama. Mengapa...?, itu akan membuat kita menjadi sulit pasrah-berserah diri, "kosong", otak kita akan selalu riuh dipenuhi masukan dan pertanyaan. Hidayah, berkah, mukjizat, karomah dan lain-lain manfaat tinggi dari agama itu datang dari keberserah-dirian, kekosongan, "kebodohan", bukan dari indra dan akal yang kuat, agama jelas bukan untuk orang-orang berakal. Orang-orang atau bangsa cerdas-berakal kuat cenderung tidak relijius atau bahkan menjadi ateis itu wajar, merekalah golongan yang paling sulit mengambil manfaat dari agama, bukan karena mereka sombong atau ingin melawan Tuhan, jangan berprasangka.


Agama itu seperti cerita Sangkuriang atau Malin Kundang, bahkan hampir pasti datang dari sumber yang sama, kesadaran lebih tinggi penciptanya. Dia diciptakan untuk "anak-anak", untuk orang berkesadaran rendah, bukan untuk orang "dewasa." Bagi yang sudah dewasa, jangan pertanyakan atau klaim kebenarannya, cukup apresiasi keindahan bahasa atau pesan moralnya. Seiring naiknya kesadaran-kedewasaan, kitapun sebenarnya berpeluang dihidayahi-diwahyui-mendapat ilham untuk membuat "cerita" senada. Jadi ingat kata-kata Jalaluddin Rumi, “Don't be satisfied with stories how things have gone with others, unfold your own myth..."

Benarkah Kita Sudah Beragama?



Hidup adalah kematian dan kematian adalah kehidupan..., syariat baru berlaku setelah kita memasuki alam kematian (Syeikh Siti Jenar).


Kalau menurut pandangan Sheikh Siti Jenar itu, bukan hanya para TERORIS itu saja yang sebenarnya masih belum beragama atau bertuhan, bahkan hampir semua orang (termasuk yang RELIJIUS, beriman dan bertakwa) juga berstatus sama. Sebab sebelum kita memasuki alam kematian, yaitu matinya (dikuasainya) indra dan ego-hawa nafsu kita, makrifat-petunjuk akan jalan lurus-dari Sang Kebenaran, "AGAMA" itu tidak akan pernah ada. Pun dengan syariat, masih hanya berstatus sebagai KLENIK dan TAHAYYUL, sebab kita masih tidak akan tahu maksud dan lingkup sebenarnya, maslahat-tidaknya. Hanya orang-orang yang sudah mencapai derajat makrifat saja yang baru bisa disebut beragama atau bertuhan. Adakah orang di majelis ITU yang sudah berstatus makrifat, tercerahkan, berkesadaran penuh, "manunggaling kawula lan Gusti?", kalau ada pasti akan langsung keluar (dari majelis ITU), malabeli dirinya dengan sebutan ULAMA saja akan sangat malu...! ^^


Mematikan (menguasai) indra dan ego itu luar biasa berat, seumur hidup kita "bertarikat" menggapainya saja belum tentu tergapai..., seumur hidup kita menghening, berzikir, tidak menikah, tidak makan daging atau bahkan tidak makan apapun saja belum tentu terkuasai apalagi yang tiap saat mengumbarnya seperti kaum ITU. Karenanya-jangankan mengklaim pemilik kebenaran, pemilik kapling surga, pemilik jatah 72 bidadari BAHENOL, kita mengklaim beragama atau bertuhan saja sebenarnya sudah menunjukkan kita sombong, TAKABUR..., kebanyakan kita masih baru sebatas bisa meng-agamakan-menuhankan klenik dan tahayyul-dongeng tentang kebenaran, angan-angan, ego-hawa nafsu kita. "Manusia adalah bangkai najis yang berperilaku congkak"..., sindiran Sheikh Siti Jenar itu tepat sekali, manusia itu tidak tahu apa-apa tapi selalu merasa tahu hanya karena "merasa" telah beragama.


Aku memeluk agama CINTA, CINTA adalah agama dan imanku (Rumi)..., sebab hanya agama yang "bertarikatkan" cinta saja yang akan membawa kita pada pengetahuan, pada agama yang sebenarnya. Aku bukan Yahudi, Nasrani, Majusi atau Muslim, sebab kebenaran hakiki itu bebas, tak bisa dikunci, tak bisa dibingkai..., dia bisa ada dimanapun, pada siapapun...