Minggu, 31 Maret 2019

Tuhan dan Hantu, Apakah Ada Bedanya?




Sudah cukup lama sebenarnya saya ini tidak percaya lagi terhadap keberadaan hantu, jin, setan dsb. Tapi tiap kali saya melewati atau mendatangi tempat-tempat yang sedari kecil dimitoskan berhantu, bulu kuduk ini masih berdiri, jantung berdegup kencang, nafas memburu, saya masih cukup susah menenangkan diri. Kenyataan yang mencerminkan sekalipun alam sadar saya sudah tak percaya lagi hantu, tapi tidak untuk alam bawah sadar saya..., klenik akan hantu masih tergurat kuat sehingga masih cukup kuat pula mempengaruhi-mengacaukan-menipu persepsi fisik-mental sadar saya, merusak otak saya.


Hantu itu sebenarnya memiliki mekanisme terbentuk-tercipta yang seratus persen sama dengan Tuhan (sebagaimana digambarkan agama-agama). Sejatinya tidak ada, dia ada semata karena kita mengimani, memprasangkakan, meng-angankan dan mengharapkan dia ada. Iman, prasangka, angan-angan, harapan adalah energi yang akan selalu berusaha menemukan jalan mewujudkannya. Sayangnya, saat itu dibiarkan atau dipaksa melampaui batas-batas realitas, kapasitas atau takdir, dia akan berontak, menjadi bumerang, bukannya akan mewujudkan apa yang kita imani, prasangkakan, angankan dan harapkan, malah hanya akan membalikkan persepsi kita sehingga seolah-olah kita merasa iman, prasangka, angan-angan, harapan kita telah terwujud atau terbukti padahal sama sekali tidak, kita hanya mengalami ilusi, delusi, halusinasi. Beriman terhadap Tuhan (sebagaimana digambarkan agama-agama) pada akhirnya akan memiliki dampak yang sama dengan beriman terhadap hantu, kerusakan otak, wajar saja, sebabnya sama, pemaksaan terhadap otak menghadirkan sesuatu yang sejatinya tidak ada.


Guru saya dulu sering mengadakan ritual atau atraksi pemanggilan hantu, dia bisa menghadirkan hantu jenis apapun, kuntilanak, gendruwo, pocong dan lain-lain. Hantu itu bisa dilihat, diajak bicara bahkan diambil gambarnya. Orang-orang awam tentu akan mengira itu hantu betulan, padahal guru saya sendiri berkata, itu hantu-hantuan, produk pikiran, siapapun bisa menghadirkan hantu jenis apapun asal mau belajar memfokuskan pikirannya. Pikiran yang terfokus akan menjadi "proyektor" yang mampu menghadirkan adegan apapun baik yang fiktif, hasil terawangan atau telepati. Hantu yang "benar" paling mungkin hanyalah memori, ide, kehendak seseorang atau suatu peristiwa yang kemudian terputar kembali oleh orang-orang yang memiliki indra sensitif. Mekanismenya sama seperti sebuah DVD, walaupun adegan di dalamnya tampak sangat hidup dan nyata, tapi hakikatnya mati-fiktif, DVD hanya memutar kembali sesuatu yang pernah hidup dan nyata, dia tidak punya otonomi, hanya bisa hidup jika ada yang menghidupkan.


Tauhid, Ketuhanan Yang Maha Esa, Bhinneka Tunggal Ika, hanya akan tergapai jika kita berhenti memberi gambaran akan Tuhan-Sang Kebenaran untuk kemudian ikhlas menerima gambaran yang diberikan olehnya. Sayangnya, agamalah yang biasanya paling intens memberi gambaran akan Tuhan. Ironis sebenarnya, mereka-agama paling berisik bicara tauhid serta paling keras mengklaimnya, tapi jalan-jalan menuju pengertian akannya, justru diingkarinya. Jelas, sejatinya mereka hanya sedang berusaha mentauhidkan klenik, angan-angan bahkan hawa nafsunya akan Tuhan, tidak jauh beda dengan yang beriman terhadap hantu..., mereka hanya sedang mentauhidkan berhala, bukan mentauhidkan Tuhan, Dharma, Sang Kebenaran...

Kamis, 28 Maret 2019

Agama dan Fobia



Teman saya seorang santri tulen-akibat bekerja di tempat dan bidang yang sangat MENANTANG, pernah suatu malam tergoda untuk JAJAN..., tapi begitu hendak dijajankan, ternyata NGANUNYA gak bisa berkutik, sudah diuprek-uprek dan dijamuni tapi panggah nglentruk, katanya... ^^ Saya sendiri suatu saat dulu-akibat disewiyah-wiyah sepada-pada, NALONGSO KEDALUWARSO, pernah berusaha menghibur diri dengan ngunjuk WEDANG GALAK. Kukira wedang galak itu enak, seger mirip Coca-Cola, hanya haram saja, tapi ternyata eee..., baru mencium aromanya, perut sudah mual, saat kupaksaan mengunjuknya, lidah dan tenggorokan saya mendadak kram, mata melotot, muka panas dan memerah, wedang galak gak bisa masuk ke perut saya, nyemprot nyembur kumuntahkan.


Apa siech penyebab dominan itu semua...?. Fobia atau paranoia akibat suatu ajaran, nilai atau kepercayaan yang diwirid atau ditanamkan terus-menerus hingga tergurat kuat di alam bawah sadar kita. Membuatnya akhirnya menguasai realitas siapa diri kita-persepsi fisik-mental kita, tanpa kita sadari. Zina dan arak dihukumi dosa besar bagi seorang Muslim, tidak bisa tidak, bagaimana iman seorang Muslim tercermin dari bagaimana reaksi fisik-mentalnya terhadap itu semua. Sayangnya, alam bawah sadar kita tidak bisa membedakan yang benar dan yang salah, yang baik dan yang buruk, yang realitas dan yang fantasi (klenik), semua yang ditanamkan di atasnya akan ditumbuhkannya. Jadi, apapun fobia yang kita alami, itu hanya mencerminkan apa yang sukses kita tanam, bukan apa yang benar, baik atau nyata..., jangan geer, merasa diberkahi, dirahmati, dihidayahi, dikuatkan Tuhan-jadi orang benar hanya karena anda gak doyan mendem, illfeel atau marah saat melihat apa yang dianggap agama anda sebagai kesalahan atau kemaksiatan, bisa jadi, fobia yang anda alami itu justru lebih merupakan AZAB yang menghalangi pandangan anda dari kebenaran, kemaslahatan dan keadilan yang lebih luas.


Yang jelas, kalau kita bisa membangun fobia terhadap anjing, babi, salib, arak, zina, patung, keris, Yahudi, Syiah, Kristen, Aseng, asing, wanita, hantu, jin, neraka, wanita, Jokowi dsb, maka kita sebenarnya juga bisa membangun fobia yang sama terhadap mencuri, korupsi, ngapusi, memfitnah, menganiaya, membunuh, berprasangka buruk, selingkuh, sewiyah-wiyah dsb. Sayangnya, banyak orang relijius sekarang justru lebih memilih mewiridkan fobia terhadap hal-hal yang hakikatnya hanya KLENIK saja atau bahkan, hanya yang menaikkan egonya..., mereka enggan mewiridkan fobia yang membantunya menurunkan ego, menaikkan kesadaran atau makrifatnya...

Sabtu, 09 Maret 2019

Berapakah Idealnya Tuhan?



Coba anda melalukan istikharah, merenung atau menghening untuk "menanyakan" atau mencari tahu profesi apa yang terbaik buat anda. Jawabannya mungkin akan sebanyak orang yang melakukan itu, bahkan antara anda dan teman terdekat, keluarga atau saudara kembar anda akan mendapat jawaban berbeda. Boleh saja secara "lahir" jawabannya sama, berdagang misalnya, tapi pasti dalam persepsi, deskripsi atau filosofi yang berbeda.


Pun demikian juga sebenarnya saat kita melakukan istikharah, merenung atau menghening untuk menanyakan-memahami sesuatu yang lebih vital semisal agama apa yang paling tepat, paling baik, paling maslahat yang harus kita peluk. Hampir pasti, "hidayah", petunjuk atau jawaban yang kita dapatkan akan sering berbeda, bisa saja secara formal-lahir tampak sama, agama X katakanlah, tapi pasti dalam persepsi, deskripsi atau pemahaman yang berbeda..., semua akan ditentukan oleh konteks-realitas obyektif kondisi pribadi masing-masing.


Kenyataan yang menunjukkan kalau setiap pribadi sebenarnya memiliki "Tuhan" sendiri-sendiri, termasuk "malaikat" dan juga "setan" sendiri, "pamomongnya" sendiri-sendiri, kata orang Jawa. Tuhan sebanyak yang mengimani, menciptakan atau menyembahnya. Mereka memiliki "kebijakan" yang juga sendiri-sendiri tentang apa-apa yang terbaik bagi masing-masing pribadi. Tidak bisa seorang pribadi dipaksa atau memaksakan diri mengikuti Tuhan, malaikat, setan, pamomong orang lain, akan sering mengalami ketidakselarasan, kekeliruan bahkan benturan keras.


Tuhan (atau agama) tidak bisa universal karena setiap pribadi itu unik dan berbeda, yang tentu menuntut "perlakuan" berbeda pula. Tugas pokok seorang pendiri agama adalah mengajari-mendorong pengikutnya menciptakan agama baru (yang lebih tepat-sempurna-kompatibel dengan diri pribadi, masyarakat, etnis, bangsa, masa, situasi dan kondisinya), bukan malah mencekokinya dengan agama yang telah dia dirikan yg pasti akan segera usang atau kedaluwarsa, merosot atau bahkan kehilangan nilai maslahatnya. Kesuksesan terbesar seorang pendiri agama bukan terletak pada banyaknya pengikut melainkan pada banyaknya pengikut yang lebih bijak dan tercerahkan daripada dirinya sendiri, pada banyaknya pengikut yang mampu menciptakan agama baru yang lebih sempurna.


Let's make our spiritual experience..., sebab pengalaman spiritual orang lain apalagi bangsa lain belum tentu "compatible" dengan diri pribadi kita, etnis kita, bangsa kita...

Agama dan Intuisi




Agama adalah "kebenaran" pada satu waktu, satu tempat, satu situasi dan kondisi, untuk satu orang, satu golongan, satu etnis atau bangsa. Ukuran benar agama adalah benar baik, maslahat atau menguntungkan, bukan benar nyata, fakta, realitas. Wajar saja, alam bawah sadar kita didesain hanya untuk menopang eksistensi kita, bukan benarnya kita.


Tidak ada agama yang memiliki kebenaran mutlak-abadi-universal sebab tidak ada orang yang mempunyai kapasitas mendirikan agama yang seperti itu. Semakin suatu agama berusaha menggapai atau mengklaim itu, akan semakin kehilangan efektifitasnya dalam membawa kebaikan bagi pemeluknya. Sebab apa yang hakikinya baik itu selalu berubah, berganti dan berkembang. Setiap orang, waktu, situasi dan kondisi, etnis atau bangsa memiliki apa yang baiknya sendiri-sendiri dan karenanya memerlukan agamanya sendiri-sendiri yang harus diciptakannya sendiri pula, tidak bisa dipaksakan mengikuti apa yang baiknya orang, waktu, situasi, kondisi, etnis atau bangsa lain.


Alam bawah sadar kita adalah tempat intuisi-spirit-program kuat-cerdas kita bersemayam dari yang paling dasar-rendah hingga yang paling tinggi-mulia. Mana intuisi-spirit-program yang akhirnya akan "mengemong", membimbing, menghidayahi, menguasai, mendominasi "jagat" kita tergantung dimana ego kita diletakkan. Kalau ego kita diletakkan di titik terendah-kita sangat egois, intuisi-spirit-program dasar-rendah-reptilianlah yang akan mengemong, menguasai, membimbimbing, menghidayahi, menguasai, mendominasi jagat kita. Kita akan menjadi orang yang sangat oportunistik dan pragmatis, yang hidup hanya untuk kepentingan diri, kelompok atau golongan kita saja. Karakter kita itu akan terbawa hingga bahkan saat kita menjalani "laku" spiritual, "penglihatan-penglihatan" yang akan kita dapat akan menjadi sangat liar, tidak ada pembatasnya. Pernah mendengar cerita orang jaman dulu mendapat wangsit untuk membunuh sekian banyak orang demi meraih kekuasaan atau kekayaan...?, itulah contoh nyatanya.


Agama pada dasarnya adalah satu bentuk bimbingan atau hidayah dari intuisi-spirit-program bawah sadar pendirinya. Karenanya, karakter dasar suatu agama mencerminkan dimana sebenarnya ego pendirinya diletakkan. Kalau suatu agama dominan hanya berbicara melayani kepentingan ekonomi, politik, budaya atau bahkan jenis kelamin diri pribadi, etnis atau bangsa pendirinya-bukan kepentingan umat manusia dan alam semesta secara keseluruhan, jelas agama itu hanya datang dari intuisi-spirit-program rendah-dasar pendirinya, bukan datang dari intuisi tinggi, jati diri atau "Gusti" yang bersemayam dalam diri pendirinya. Agama itu didirikan semata untuk menopang kebutuhan pendirinya untuk eksis. Tuhan hanya dijadikan atas nama atau kamuflase saja, dia sebenarnya hanya mendapat bimbingan atau wahyu dari intuisi-spirit-program sumber yang oleh banyak agama dan budaya dipersepsikan atau digambarkan sebagai setan...

Sabtu, 02 Maret 2019

Mimpi dan Wahyu



Pernah dalam keadaan khusuk berdoa, saya didatangi sosok ghaib yang kemudian memberi saya bantuan dan petunjuk. Awalnya saya mengira itu bantuan dan petunjuk dari dimensi atau alam lain tapi setelah beberapa kali mengalami dan kuamati pola-polanya, saya akhirnya mengambil kesimpulan, itu hanya mimpi saja-terlepas bantuan dan petunjuk itu benar dan terbukti.


Wahyu, wangsit, hidayah adalah mimpi yang terbawa atau terseret ke alam sadar kita..., kita sudah terjaga tapi mimpi kita masih terus berlanjut. Akibatnya, kita akan mengira dan merasa mimpi itu sebagai sesuatu yang nyata-benar, terasa sangat dramatis, padahal pada dasarnya itu hanya halusinasi saja. Bagi mereka yang lemah atau egois, pasti akan hanyut dalam arah mimpi itu, mempercayai begitu saja apalagi jika mimpi itu ternyata menguntungkan bagi ego-egonya.


Mimpi dominan berasal dari angan-angan, harapan, obsesi kita, intinya, dari ego atau hawa nafsu kita, sedikit saja yang merupakan pesan dari kesadaran tinggi atau jati diri kita. Konsekwensinya, wahyu juga akan memiliki peluang atau tingkat kebenaran hanya setara mimpi. Hanya orang-orang yang berhasil mengendalikan angan-angan, harapan, obsesi, ego atau hawa nafsunya saja yang berpeluang mendapat mimpi-wahyu dari kesadaran tingginya, dari Sang Kebenaran, "Gusti" yang bersemayam di dalam dirinya. Tepat sekali bantahan temanku dulu saat kuminta sedikit menghormati seorang Ulama, "kalau kita masih sama-sama doyan duwit dan wanita, kita masih sama, gak usahlah merasa lebih suci atau mulia." Dulu saya marah besar dengan bantahannya itu, menganggap itu konyol, tidak ada dasar dalil atau tuntunannya, PENIStaan terhadap Ulama, tapi sekarang saya mengakui, bantahannya itu benar secara esensi. Kezuhudan atau asketisme adalah satu-satunya "laku-tarikat" menggapai wahyu yang benar (secara universal), tidak ada artinya gelar atau jubah Ulama kalau nyatanya hidupnya masih dikuasai hawa nafsu, itu akan jadi pemblokir utama penglihatannya akan kebenaran.


Wahyu (sebagaimana mimpi) tidak datang dari sosok di luar diri kita, dia datang dari dalam diri kita sendiri, "pamomong" kita, amarah, lawamah, sufiyah dan mutmainah kita..., berhentilah menganggap itu sesuatu yang ajaib, berhati-hatilah dengan orang yang mengklaim mendapat wahyu, kemungkinan besar dia tertipu sekaligus menipu....