Rabu, 27 Juni 2018

Mencintai Cinta, Mencintai Pengetahuan


Banyak orang relijius sekarang sangat membenci cinta, menganggap itu bertentangan dengan kehendak Tuhan. Mereka berusaha membatasi cintanya hanya untuk orang yang seagama, semazhab atau sekelompok, yang di luar itu harus dibenci, dikerasi dan dimusuhi. Mereka mengira dengan itu diri-kelompoknya akan dirahmati Tuhan, menjadi kuat, membuat orang atau kelompok lain takut dan tunduk.


Harapan yang sia-sia, delusional. Sebab bahkan untuk mengubah atau menundukkan musuh-orang lain, diperlukan cinta. Cinta akan menumbuhkan keterhubungan, empati dan makrifat-pengetahuan termasuk makrifat atas jalan-jalan termudah untuk merubah atau menundukkan orang lain. Tanpa cinta, kita akan buta, tak tahu jalan, tak terbimbing..., berfikir dan berbuat hanya atas dasar taklid dan spekulasi.


Memang, cinta akhirnya akan menyisakan sangat sedikit dari hasrat kita untuk mengubah atau menundukkan orang lain. Kita akan mengerti kalau sebagian besar yang kita kira sebagai hal yang perlu dirubah atau ditundukkan hanyalah "fiksi" belaka. "Penemuan-pengetahuan" yang pasti bertentangan dengan akidah banyak di antara kita (yang beragama NGANU) yang (umumnya) menuntut membenci, memaksa dan menindas. Tapi bagi orang-orang yang mampu berfikir, justru itulah alat pengukur sempurna apakah akidah kita itu benar atau salah, datang dari sang kebenaran atau hanya datang dari prasangka, kebodohan dan ego-hawa nafsu-setan kita saja.


Kebencian pada cinta itu ibarat "mburu uceng kelangan deleg". Mungkin dengan itu dalam jangka pendek ego-ego kita akan terpenuhi..., tapi dalam jangka panjang pasti tidak, kita akan jatuh menjadi makhluk bodoh dan zalim, gagal beradab dan berakal, gagal tahu, gagal terbimbing pada kebenaran, kemuliaan dan kekuatannya.


Cintailah cinta, betul kata Ahmad NGANU..., tapi saya ragu apakah dia tahu maksud hakiki lirik indah lagunya itu... ^^

Senin, 25 Juni 2018

Antara Iman, Syirik dan Sihir


Semua penganut agama, disadari ataupun tidak, diakui ataupun tidak, hampir pasti justru adalah pelaku syirik dan sihir yang utama-terbanyak..., pasti menyembah berhala bahkan termasuk yang mengkaim sangat anti berhala, pasti yang paling gemar menyihir orang melalui doa, kata-kata, prasangka dan laknatannya. Wajar saja, sebab iman sendiri adalah sumber utama kesyirikan sekaligus pemicu utama bangkitnya energi sihir.


Syirik itu nikmat, memudahkan dan mencandu..., bayangkan, cukup menyembah batu, kuburan, gunung, pohon, lautan, habib atau bahkan botol saja, hajat-hajat kita bisa terpenuhi. Orang-orang bodoh, egois dan lemah akan sulit lepas dari jeratan pesonanya. Pun dengan sihir, itu adalah cara mudah memanipulasi, menguasai dan memperbudak orang lain..., orang relijius jelas adalah yang paling akan memiliki kekuatan sihir, jika mereka gagal mengendalikan egonya, akan juga yang paling mudah terjerumus memanfaatkannya.


Memangnya anda tahu arah energi spiritual anda saat berdoa atau beribadah sehingga dengan pede bahkan angkuhnya mengklaim tidak berbuat syirik atau sihir...?. Tidak menyembah patung, jimat, keris, kuburan, tapi kalau energi spiritual anda saat berdoa mengarah ke tempat ibadah, kitab suci, pakaian keagamaan, sorban, jenggot, simbol-simbol keagamaan, tokoh-tokoh keagamaan, ya tetap saja status anda syirik secara hakikat. Tidak menggunakan boneka sihir, buhul-buhul, sempak atau rambut orang tapi kalau nyatanya energi spiritual anda diarahkan pada kecelakaan orang lain melalui doa buruk atau laknatan anda, status anda tetaplah tukang sihir.


Syirik adalah mengingkari realitas, fakta, kebenaran hakiki..., mengimani FIKSI, sesuatu yang pada dasarnya tidak ada, yang (rasa) adanya hanya timbul dari penimbunan energi prasangka-spiritual kita saja. Bahkan suka berpenampilan relijius saja sudah syirik atau minimal mengarah pada kesyirikan..., lama-lama itu akan terasa keramat dan barokah. Sihir adalah berusaha menguasai atau mencelakakan orang lain dengan menggunakan energi pikiran-spiritual kita apapun metode atau caranya, bahkan termasuk dengan yang menggunakan simbol-simbol agama.


Satu-satunya cara menghindari syirik ea menghapus ketergantungan rasa keagamaan kita pada benda, tempat, orang atau "cerita", menggunakan hanya hati kita saat beragama. Jika perasaan kita saat memakai jins atau topi sama dengan saat kita memakai sarung atau sorban, beribadah di masjid sama dengan di gereja, melihat orang Arab sama dengan melihat orang China, melihat babi sama dengan melihat onta, saat itulah kita mulai terhindar dari kesyirikan, mulai adil-obyektif dalam melihat dunia, tanpa terlalu melibatkan rasa dan prasangka kita. Sementara menghindari sihir, cukup dengan mengendalikan ego, menghindari pikiran, perkataan, prasangka dan doa buruk, kebencian.


Lha wong melihat padang pasir, pohon kurma, onta atau orang Arab aja njerit-njerit histeris kok ngaku tidak syirik, ente hanya memindahkan yang menjadi obyek kesyirikan saja Bro...!. Lha wong melihat Jokowi aja benci setengah dewa kok ngaku anti sihir, kebencianmu itu sama saja sedang mengirim "paku" atau "silet" ke tubuh Jokowi...!

Sabtu, 23 Juni 2018

Antara Obsesi, Kemelekatan dan Jalan Lurus



Apa bedanya Ibrahim yang mendapat wahyu mengorbankan anaknya agar bisa dekat dengan Tuhannya, orang Jawa jaman dulu mendapat wangsit menumbalkan anaknya demi mendapat kekayaan atau orang Indian Amerika mendapat petunjuk untuk menjadikan anaknya sebagai sesaji ritual tolak balak...?.


Sebenarnya hampir tidak ada, mereka sama-sama obsesif akan satu hal dan (maaf) sama-sama memiliki standar moral yang rendah. Gak perlu marah lagh bagi yang kadung memujanya, menganggapnya suci tanpa cela ^^


(Karakter) petunjuk yang didapat saat kita menjalani praktik-praktik mistik mencerminkan apa yang paling menjadi obsesi kita, bagaimana tingkat moralitas kita dan apa yang paling mungkin menjadi alat meledakkan energi agar obsesi kita itu bisa terwujud.


Anak adalah hal yang paling "melekat" pada diri umumnya orang. Diperlukan energi besar untuk melepaskan kemelekatan pada anak, tega-mampu mengorbankan anak akan berarti bangkitnya energi yang berguna untuk membantu mewujudkan apa yang menjadi obsesi seseorang. Tapi pasti, kalau sedari awal standar moral kita tinggi, obsesi terkendali, tidak mungkin kita akan mendapat petunjuk hal-hal yang merugikan siapapun saat menjalani praktik-praktik mistik termasuk petunjuk untuk mengorbankan anak. Petunjuk akan terfilter, hanya pelaku mistik yang egois-obsesif yang akan berpeluang mendapat petunjuk liar, tanpa batasan dan kendali, oportunistik.


Sedikit bedanya, Ibrahim sadar sebelum terlambat, nuraninya berontak-menolong-membimbing sebelum ego-obsesinya itu berhasil menjerumuskannya, sama seperti Werkudara yang segera ditolong nurani atau jati dirinya sebelum mati tenggelam di lautan kerena obsesinya akan "ilmu kasampurnan".


Kemelekatan-ego lahiriyah adalah penghalang utama kita dari pengetahuan, itulah sebenarnya yang hendak dilawan agama dari jaman ke jaman. Bagaimanapun absurdnya ritual mengorbankan anak, itu juga dalam rangka melepas sebuah kemelekatan. Orang-orang Katolik, Hindu, Buddha atau Sufi lebih memilih hidup asketik, sangat zuhud, mengasingkan diri bahkan selibat, jelas itu adalah satu upaya (tarikat) membatasi apa yang boleh melekat pada diri mereka.


Tepat sekali kata Yesus, "lebih mudah bagi onta masuk lubang jarum daripada orang kaya masuk surga" dan doa Muhammad, "Ya Allah, hidupkan aku dalam keadaan miskin, matikan aku dalam keadaan miskin, dan masukkan aku ke dalam surga bersama orang-orang miskin". Yang diinginkan Yesus dan Muhammad tentu adalah dibatasinya kemelekatan pada harta, tidak menjadikan harta sebagai obsesi-aqidah-tauhid, penentu utama pemikiran, perilaku, standar moral, bahagia tidaknya seseorang. Sebab memang, selama kita masih sangat melekat-cinta pada dunia-ego, harta, tahta, wanita, etnis, bangsa bahkan surga..., pengetahuan akan kebenaran-jalan lurus-jalan menuju surga pasti akan terblokir...

Jumat, 22 Juni 2018

Betulkah Kita Beriman?



Kalau kita betul beriman tapi kemudian melakukan hal yang buruk-buruk, yang bertentangan dengan prinsip dasar iman kita, pasti, kita akan ditimpa azab seumur-umur, akan dikutuk dan diserang alam bawah sadar kita sendiri..., akan terjadi pertentangan dahsyat di dalam diri kita, yang pasti menguras nalar, energi dan konsentrasi kita.


Jadi, kalau ada orang beriman yang hobi korupsi, marah-marah, ngamukan, berbohong atau memfitnah tapi kok tampak baik-baik saja, kemungkinannya hanya ada dua, dia mengimani sesuatu yang salah atau dia sebenarnya tidak cukup beriman, imannya hanya sebatas di mulut-perasaan-klaim-tampilan saja, tidak sampai ke hati-alam bawah sadarnya atau bahkan dia munafik, pura-pura beriman saja.


Apa yang sungguh-sungguh kita imani akan membentuk pola energi-hukum-realitas diri yang sulit dimanipulasi, ditipu, disembunyikan.


Saya ini orang yang tak bisa bersandiwara, tak bisa romantis dan serius. Kalau saya bersandiwara, ETOK-ETOK romantis, galau atau galak misalnya, pasti, saya akan ngakak sendiri, atau kalau enggak, orang yang melihat saya yang akan ngakak. Pernah saya dulu berupaya ngromantisi wong KAE, eee..., bukannya de'e terbuai dan jatuh ke pelukan malah ngakak guling-guling..., ora luwes blas jarene nggonku belagak jadi LANANG SEJATI... ^^ Pernah saya dulu etok-etok NGGALAKI junior saya, eee..., setelah sukses, dianya tampak culun plus ketakutan parah, malah sayanya yang nyemprot nyembur gak bisa menahan tawa melihat lucu itu :D


Seperti itulah kira-kira dampak dari mengingkari realitas yang terbentuk dari iman..., berfikir, melihat atau berbuat sesuatu yang pada dasarnya tak sejalan dengan spirit-energi-vibrasi iman kita, sama saja sedang menyerang diri kita sendiri. Aa Gym kalau ditunjukkin keris, salib atau patung, kesenggol anjing atau babi, bisa kejang-kejang terserang stroke dia, bukan Allah yang menyebabkan itu, tapi dirinya sendiri, alam bawah sadarnya, imannya..., pun demikian dengan saya jika melihat janur kuning melengkung neng ngarep umahe wong manis KAE, salah kedaden bisa dadi wong EDAN anyaran kie hiks..., bukan edan karena diazab Allah tapi edan karena diazab keyakinan-harapan-obsesi saya sendiri...

Kamis, 21 Juni 2018

Tiada Tauhid Tanpa Makrifat



Kalau memang betul Ilah atau sesembahan kita itu eksis, nyata, dapat dijangkau, bukan sekedar FIKSI, mitos, dongeng atau angan-angan, siapapun yang menyembahnya, dari agama dan budaya manapun, akan memiliki dampak mental-spiritual yang sama. Akan terjadi penyelarasan vibrasi, spirit, kehendak..., akan terjadi "manunggaling kawula lan Gusti", penyatuan persepsi antara yang disembah dan yang menyembah dan antara sesama para penyembah.


Kenyataannya, banyak orang relijius sekarang mengklaim sangat keras kalau sesembahan mereka itu paling benar-eksis-otentik tapi bukti berkata lain. Bahkan masih dalam satu agama atau sekte saja, dampak mental-spiritual penyembahannya ibarat langit dan bumi. Yang satu makin relijius-makin rajin menyembah Tuhannya, menjadi makin egois, keras dan bengis..., sementara yang lain sebaliknya, makin lembut, baik hati dan tidak sombong. Yang satu (contoh: Front Pembela NGANU) saat berdoa memuji kebesaran Tuhan, spirit yang datang jelas adalah spirit ego-setan yang melumpuhkan kesadaran hingga titik terendahnya..., sementara yang lain (contoh: kaum Sufi), saat berdoa untuk lafal dan hal yang sama, dampaknya sebaliknya, melemahnya ego, menguatnya nurani, jati dirinya, menaikkan kesadaran atau makrifatnya. Kenyataan yang mencerminkan (sebagian besar) dari mereka sebenarnya hanya sedang menyembah Tuhan FIKSI, hanya menyembah nama, cerita, prasangka bahkan hawa nafsunya akan Tuhan, berhala tanpa wujud, bukan menyembah esensinya, senyatanya Tuhan.


(Jimat) kulit macan itu dibawa siapapun dan beragama apapun akan memiliki dampak spiritual yang sama, berpeluang mendatangkan khodam atau spirit-kekuatan macan saat "ditirakati" atau pemiliknya sedang dalam posisi sangat terdesak atau terancam. Pun demikian seharusnya Tuhan (yang nyata-benar), tauhid yang murni..., itu bukanlah perkara simbol, teori atau dogma melainkan perkara spirit-realitas yang harus digapai melalui pengamatan dan pengalaman, tarikat. Dia harusnya dipersepsikan sama oleh siapapun, dia harusnya menyatukan, bukan memicu perpecahan. Sheikh Siti Jenar, Mansyur Al-Hallaj, Jalaluddin Rumi atau orang tercerahkan manapun dan dari tradisi agama apapun pasti memiliki persepsi yang sama tentang kebenaran atau Tuhan, akan "berbhinneka tunggal ika, tan hana darma mangrwa". Merekalah yang tauhidnya paling murni, Tuhannya esa, bukan hanya sekedar diklaim atau didudukkan sebagai murni dan esa...