Senin, 09 Januari 2017

Semar




Semar, menurut kepercayaan orang Jawa tradisional adalah pamomong, pengayom, pembimbing, "gembala" orang (tanah) Jawa. Dia dianggap sebagai Dewa yang akan datang kembali ke tanah Jawa 500 tahun setelah keruntuhan Majapahit, membawa kembali tanah  Jawa ke era kegemilangannya.


Dalam cerita wayang kulit purwa, Semar digambarkan sebagai pamomong-punakawan Pandawa. Secara lahiriyah dia adalah rakyat biasa tapi secara batiniah adalah Dewa-Batara Ismaya. Dia bertugas membimbing-mengarahkan Pandawa pada kebenaran, kebaikan, keberuntungan, kebijaksanaan, kekuatan dan kejayaannya. Puncaknya adalah membawa Pandawa pada kemenangannya saat terjadi perang baratayuda melawan Kurawa.


Sebenarnya para pandita atau ulama Kurawa sudah berkali-kali mendapat "sasmita" agar Kurawa menjadikan Semar sebagai pamomongnya juga supaya Kurawa bisa menjadi sehebat Pandawa. Sasmita itupun sudah berusaha diwujudkan, Kurawa meminta agar Semar bersedia "ngemong" Kurawa tapi ujung-ujungnya Kurawa selalu gagal memenuhi syarat-syarat yang diajukan Semar sehingga Semarpun akhirnya pergi, enggan mengemongnya. Hanya pada awal-awal saja Kurawa mampu memenuhinya, selebihnya, Kurawa kembali ke watak aslinya. Syarat itu biasanya agar Kurawa bersedia mengikuti apapun nasihatnya utamanya nasihat agar Kurawa mau meninggalkan watak angkaranya, sebaliknya, lebih mengedepankan watak utama, "berbudi bawa laksana, asih tresna ring kawula dasih", belajar mengekang ego-hawa nafsunya.


Semar sejatinya adalah lambang-personifikasi energi-memori-khodam, "wahyu", kawruh, kebijaksanaan, pencerahan atau ma'rifat, penyatuan kawula dengan "Gusti", diri sejati-hatinya. Dia hanya akan mau "masuk" pada orang yang memiliki getaran pikiran-hati-energi selaras, orang-orang yang bersedia menjalankan "tapa brata" dalam segala bentuknya-meninggalkan ego-watak angkara, prasangka, amarah, iri, dengki, keserakahan..., bersedia melakukan tapa nyepi-mengheningkan diri dan tapa ngrame-berbuat baik pada sesama. Dia adalah esensi, tidak bisa dipaksa-ditipu-diundang hanya dengan "baju", klaim atau ritual lahiriyah.


Ada sementara pandangan kalau Semar itu memusuhi Islam. Pandangan yang sebenarnya kurang tepat. Pandangan itu muncul saat runtuhnya Majapahit akibat serangan kerajaan Islam Demak. Pandangan itu bisa dimengerti, wajar mengingat pada saat itu Islam lebih menampilkan diri dalam wajah yang egois, politis, ekspansionis, oportunis terhadap Majapahit-Brawijaya, "momongan" Semar, perilaku yang jauh dari semangat pengetahuan-pencerahan-ma'rifat, kebijaksanaan. Lebih tepat kalau Semar itu memusuhi egoisme-angkara murka dan kegelapan-kebodohan dan itu bisa dibalut dengan agama apapun. Seandainya Majapahit-Brawijaya jatuh karena serangan bangsa Eropa, tentu Kristenlah yang akan dijadikan "lambang" musuh.


Sekarang banyak orang berperilaku seperti Kurawa-egois-penuh angkara tapi mengharap diemong Semar-mengharap mendapatkan pengetahuan, kebijaksanaan, keselamatan, keberuntungan, kekuatan dan kejayaan. Mereka biasanya menampilkan diri sebagai sosok baik dan agamis persis seperti yang dinasihatkan Semar pada Kurawa tapi itu sebenarnya hanya pura-pura, keterpaksaan, kamuflase, "baju",  pada akhirnya, watak angkara mereka tetap akan terlihat-menyeruak, tidak akan tahan berlama-lama dalam kepura-puraan. Mengharap bernasib seperti Pandawa tapi berperilaku seperti Kurawa adalah sesuatu yang konyol, sia-sia, mimpi, delusi, halusinasi, onani...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar