Selasa, 31 Januari 2017

Membela Agama atau Ego?




Duwit 100 perakpun tidak akan saya berikan kalau yang memintanya adalah preman atau penjahat, lebih baik duel sampai mati daripada harus memberikannya. Begitulah salah satu prinsip hidup saya waktu masih muda. Saya merasa begitu gagah, jantan, macho bahkan suci saat memegang prinsip itu apalagi saat harus membuktinya, betulan berhadapan dengan preman atau penjahat yang hendak memeras saya. Untungnya, belum pernah sekalipun saya berhadapan dengan preman nekat yang mengajak duel sampai mati, alangkah konyolnya kalau saya harus mati atau mematikan orang hanya karena duwit 100 perak.


Membela duwit 100 perakpun akan dirasakan suci jika itu sudah dikaitkan-ditautkan-dilekatkan dengan ego-syahwat-hawa nafsu kita, dijadikan wakil-lambang dari ego kita. Kita bertekad keras mempertahankannya sebenarnya bukan karena duwit 100 itu sendiri melainkan karena apa yang ada dibalik itu. Kita-ego kita-alam bawah sadar kita tersinggung, marah karena merasa direndahkan, dipandang lemah, hendak diserang, itulah alasan sebenarnya. Jangankan duwit 100, 1000 atau 10000 pun akan dengan suka rela kita berikan kalau yang memintanya adalah keluarga, teman baik kita atau siapapun yang memintanya dengan sopan, bukan dengan mengancam.


Pun demikian sebenarnya dengan mereka yang gemar mengklaim sedang membela agama, mereka begitu bersemangat, merasa suci hingga bahkan kehilangan rasionalitas, obyektifitas, proporsionalitasnya sebenarnya bukan karena demi agama itu sendiri melainkan demi ego mereka sendiri-karena mereka telah menjadikan agama sebagai lambang, ikon, wakil dari ego-syahwat-hawa nafsunya, mengganggu-mengancamnya akan dianggap-dirasakan-disikapi sebagai mengganggu-mengancam diri pribadinya. Seandainya betul mereka sedang dan ingin membela agama, harusnya yang mereka lawan sekarang adalah orang-orang yang menyalahgunakan agama demi kepentingan pribadinya, para teroris, koruptor, penipu, diktator, orang-orang yang jelas-jelas telah memanipulasi, mengeksploitasi, "merampok" dan "memperkosa" agama....

Sabtu, 28 Januari 2017

Antara Agama, Sains dan Spiritualitas




Kebenaran hanya milik dua golongan manusia : Saintis-Akalis dan Spiritualis-Hatiis. Saintis memahami yang benar-nyata, kebenaran yang tampak, terukur, terbuktikan, kebenaran lahir..., sementara Spiritualis memahami yang benar-baik-maslahat bagi manusia, kebenaran batin.


Tingkat "saintisitas" seseorang bisa dilihat dari seberapa tinggi akal-logika-pendidikannya, sementara tingkat spiritualisitas seseorang bisa dilihat dari seberapa mampu dia mengheningkan diri-mengendalikan ego-hawa nafsunya. Di mata sains, jelas agama itu bukan kebenaran, sementara di mata persepsi spiritual, agama adalah kebenaran sepanjang persepsi spiritual-kedalaman-keheningan hatinya menilai itu membawa kebaikan-kemaslahatan bagi individu, masyarakat, bangsa dan umat manusia secara keseluruhan.


Agama tidak akan bisa sepakat dengan sains, karena memang sumber, "ruh", dasar berpijak dan tujuannya sangat berbeda. Agama itu "seni" sedang sains itu "matematika", agama itu "emosi" sedang sains itu "logika", agama itu otak kanan sementara sains itu otak kiri. Karena kenyataan itu, ikhlaslah untuk tidak berusaha menyatukan-menghubung-hubungkan antara keduanya.


Agama datang dari spiritualitas dan hanya bisa dijaga "kebenarannya" melalui spiritualitas pula. Tanpa ditopang spiritualitas, agama akan segera kehilangan kebenarannya, kehilangan fungsi-kemampuannya menunjukkan apa-apa yang terbaik-termaslahat bagi umat manusia hanya dengan sedikit perubahan waktu, tempat atau kondisi. Wajar saja, agama akan menjadi terlepas ikatannya dengan realitas faktual alam semesta, cermin sifat dan kehendak hidup-hakiki Tuhan, membuat agama jatuh menjadi hanya sebagai tahayyul yang menuntut dihidupi, bukan menghidupi, menuntut didudukkan sebagai kebenaran, bukan memancarkan kebenaran.


Masalahnya sekarang, banyak orang yang sebenarnya bukan Saintis bukan pula Spiritualis tapi gemar sekali mengklaim kebenaran..., inilah musibah yang sebenarnya, masyarakat sedang "dipaksa" menyerahkan urusan yang secara hakikat bukan pada ahlinya..., masyarakat sedang dijerumuskan, dijahilkan, dimaksiatkan bahkan diazabkan atas nama Tuhan dan agama...

Jumat, 20 Januari 2017

Maksiat Hakikat




Eropa atau Amerika yang sering dipandang tidak relijius belum tentu lebih mungkin tertimpa azab akibat maksiat daripada Timur Tengah biarpun secara lahir tampak relijius.


Maksiat hakikatnya adalah pikiran, perkataan dan perbuatan apapun yang melemahkan kesadaran atau makrifat kita sehingga membuat kita gagal memahami sasmita-kehendak hakiki Tuhan-alam semesta..., gagal memahami pikiran, perkataan dan sikap-perilaku-perbuatan yang secara hakikat maslahat-dikehendaki Tuhan-alam semesta, gagal memahami arah dan perilaku lingkungan-alam sekitar kita. Keadaan yang membuat kita gagal pula mencegah datangnya mudarat-keburukan, musibah atau azab. Maksiat adalah perkara esensi yang bisa muncul-terekspresi-termanifestasi dalam "baju" apapun, apa yang ditunjukkan agama hanya contoh kecil-terbatas saja.


Boleh saja orang Eropa atau Amerika di mata ajaran agama tampak sangat tercela-hidup dalam kemaksiatan, tapi kalau di sisi lain mereka ternyata lebih adil, dermawan, jujur, sabar, ramah, empatik, logis dalam berfikir atau ekspresi kesadaran tinggi akal-hati lainnya, mereka tetap akan lebih rendah kemungkinannya tertimpa azab, mereka tetap lebih mungkin memahami "jalan" yang lurus, jalan yang selaras dengan kehendak Tuhan-alam semesta. Sebaliknya, boleh saja penduduk Timur Tengah sangat relijius-taat beragama tapi kalau nyatanya ketaatan mereka hanya sebatas di fisik-tidak memicu naiknya kesadaran-makrifat, malah memicu "kemaksiatan-ketidaksadaran" yang lebih besar, mereka akan tetap lebih berpeluang tertimpa azab, ibarat anak bermain di tepi jurang, mereka dalam intaian bahaya besar bagaimanapun yakinnya mereka akan keselamatannya.


"Maksiat bersembunyi dibalik taat" (Asy-Syadzily). Justru banyak orang sekarang yang ketaatannya terhadap agama malah memicu kemaksiatan yang jauh lebih besar, membuat mereka "mabuk", kehilangan hati-akal sehatnya, menjadi lebih egois, keras, binal, sombong, pemarah, mau menang dan benar sendiri, tergelapkan ketaatan-relijiusitas mereka. Seperti kata pepatah "mburu uceng kelangan deleg", "nyari jarum kapak hilang", itulah yang terjadi, ingin dekat dengan Tuhan-menghindari maksiat-dosa tapi malah memicu maksiat-dosa yang jauh lebih besar..., menjauhkan dari Tuhan, yang lebih akan memicu datangnya azab...

Senin, 09 Januari 2017

Semar




Semar, menurut kepercayaan orang Jawa tradisional adalah pamomong, pengayom, pembimbing, "gembala" orang (tanah) Jawa. Dia dianggap sebagai Dewa yang akan datang kembali ke tanah Jawa 500 tahun setelah keruntuhan Majapahit, membawa kembali tanah  Jawa ke era kegemilangannya.


Dalam cerita wayang kulit purwa, Semar digambarkan sebagai pamomong-punakawan Pandawa. Secara lahiriyah dia adalah rakyat biasa tapi secara batiniah adalah Dewa-Batara Ismaya. Dia bertugas membimbing-mengarahkan Pandawa pada kebenaran, kebaikan, keberuntungan, kebijaksanaan, kekuatan dan kejayaannya. Puncaknya adalah membawa Pandawa pada kemenangannya saat terjadi perang baratayuda melawan Kurawa.


Sebenarnya para pandita atau ulama Kurawa sudah berkali-kali mendapat "sasmita" agar Kurawa menjadikan Semar sebagai pamomongnya juga supaya Kurawa bisa menjadi sehebat Pandawa. Sasmita itupun sudah berusaha diwujudkan, Kurawa meminta agar Semar bersedia "ngemong" Kurawa tapi ujung-ujungnya Kurawa selalu gagal memenuhi syarat-syarat yang diajukan Semar sehingga Semarpun akhirnya pergi, enggan mengemongnya. Hanya pada awal-awal saja Kurawa mampu memenuhinya, selebihnya, Kurawa kembali ke watak aslinya. Syarat itu biasanya agar Kurawa bersedia mengikuti apapun nasihatnya utamanya nasihat agar Kurawa mau meninggalkan watak angkaranya, sebaliknya, lebih mengedepankan watak utama, "berbudi bawa laksana, asih tresna ring kawula dasih", belajar mengekang ego-hawa nafsunya.


Semar sejatinya adalah lambang-personifikasi energi-memori-khodam, "wahyu", kawruh, kebijaksanaan, pencerahan atau ma'rifat, penyatuan kawula dengan "Gusti", diri sejati-hatinya. Dia hanya akan mau "masuk" pada orang yang memiliki getaran pikiran-hati-energi selaras, orang-orang yang bersedia menjalankan "tapa brata" dalam segala bentuknya-meninggalkan ego-watak angkara, prasangka, amarah, iri, dengki, keserakahan..., bersedia melakukan tapa nyepi-mengheningkan diri dan tapa ngrame-berbuat baik pada sesama. Dia adalah esensi, tidak bisa dipaksa-ditipu-diundang hanya dengan "baju", klaim atau ritual lahiriyah.


Ada sementara pandangan kalau Semar itu memusuhi Islam. Pandangan yang sebenarnya kurang tepat. Pandangan itu muncul saat runtuhnya Majapahit akibat serangan kerajaan Islam Demak. Pandangan itu bisa dimengerti, wajar mengingat pada saat itu Islam lebih menampilkan diri dalam wajah yang egois, politis, ekspansionis, oportunis terhadap Majapahit-Brawijaya, "momongan" Semar, perilaku yang jauh dari semangat pengetahuan-pencerahan-ma'rifat, kebijaksanaan. Lebih tepat kalau Semar itu memusuhi egoisme-angkara murka dan kegelapan-kebodohan dan itu bisa dibalut dengan agama apapun. Seandainya Majapahit-Brawijaya jatuh karena serangan bangsa Eropa, tentu Kristenlah yang akan dijadikan "lambang" musuh.


Sekarang banyak orang berperilaku seperti Kurawa-egois-penuh angkara tapi mengharap diemong Semar-mengharap mendapatkan pengetahuan, kebijaksanaan, keselamatan, keberuntungan, kekuatan dan kejayaan. Mereka biasanya menampilkan diri sebagai sosok baik dan agamis persis seperti yang dinasihatkan Semar pada Kurawa tapi itu sebenarnya hanya pura-pura, keterpaksaan, kamuflase, "baju",  pada akhirnya, watak angkara mereka tetap akan terlihat-menyeruak, tidak akan tahan berlama-lama dalam kepura-puraan. Mengharap bernasib seperti Pandawa tapi berperilaku seperti Kurawa adalah sesuatu yang konyol, sia-sia, mimpi, delusi, halusinasi, onani...

Selasa, 03 Januari 2017

Otak Kita, Kanvas Lukis Kita




Sekali kita bisa naik sepeda, seumur hidup kita akan bisa menaikinya. Memori tentang cara naik sepeda tergurat kuat di otak kita, mengubah struktur kimia bahkan fisik otak kita. Tidak kita sadari tapi sangat mempengaruhi.


Pun demikian jika kita menanamkan  suatu pemikiran, perasaan, pandangan, prasangka, harapan, perkataan atau kebiasaan, tidak peduli itu baik atau buruk, benar atau salah, semua akan berakibat sama, mengubah struktur fisik-kimia otak kita, memberi efek "tirai-candu", mempengaruhi cara-persepsi dan reaksi kita saat memandang dunia, susah sekali untuk dinetralkan kembali. Kemampuan menetralkan kembali terkait erat dengan dicapainya kebijaksanaan, ma'rifat-pencerahan atau kesadaran penuh.


Beruntunglah mereka yang sedari kecil otaknya hanya ditanami cinta, empati, prasangka-kebiasaan baik, kesabaran, penghormatan, kerendah-hatian, keikhlasan, rasionalitas serta hal-hal non egoistik lainnya.., peluang mereka untuk menjadi bijak-tercerahkan-ma'rifat akan lebih besar, mereka telah membuka "tutup" cangkir pengetahuan mereka. Celakalah mereka yang sebaliknya, sedari kecil otaknya hanya ditanami amarah, ketakutan, kebencian, prasangka-kebiasaan buruk, kesombongan, mitos atau tahayyul dan hal-hal egoistik-non rasional lainnya, mereka telah menciptakan arak-candu dan tirai-benteng di akal-hati mereka, menghalangi mereka dari peluang memahami esensi kebenaran-kebaikan, membuat hidup mereka terus ada di alam "mimpi", mabuk secara hakikat...