Kamis, 02 Januari 2020

Ketakutan dan Perbudakan Mental



Mengapa setiap kondisi suatu masyarakat dianggap telah rusak atau tidak ideal menurut suatu ajaran agama, pemuka agama masyarakat itu biasanya akan secara masif menakut-nakuti masyarakat dengan kiamat atau akhir zaman...?. Dalam sejarah Islam, bahkan sejak awal-awal berakhirnya periode empat Khalifah, pendoktrinan kalau kiamat akan segera terjadi sudah jadi fenomena, dan itu terus berulang tiap kali masyarakat Islam mengalami kemerosotan. Di agama lainpun fenomena sejenis juga marak.


Ketakutan adalah cara termudah kita memanipulasi-mengeksploitasi orang lain. Saat kita dikuasai rasa takut, kesadaran kita melemah, pintu menuju alam bawah sadar kita terbuka, "dakwah" apapun yang masuk akan dengan mudah dipercaya dan diikuti, dipersepsikan sebagai kebenaran. Bagi yang pernah jadi praktisi pengobatan alternatif pasti tahu, pasien akan mau disuruh apa saja-membayar berapapun kalau dia sudah dikuasai rasa takut. Kiamat adalah "cerita" yang sangat menakutkan, siapapun yang percaya-hanyut dalam ceritanya, dia akan melemah mental-nalar-kesadarannya, akan kehilangan otoritas kediriannya, siap dijadikan apa saja dan untuk kepentingan siapa saja. Wajar kemudian, dari jaman ke jaman, banyak penguasa dan pemuka agama menggunakan cerita itu sebagai alat utama untuk menundukkan umat-masyarakat.


Jadi, dimengerti saja kalau orang-orang relijius KAE sekarang ini gemar sekali menakut-nakuti kita dengan kiamat, dengan Yahudi, Salibis, Syiah, Asing, Aseng, Liberal, Komunis, azab, dosa, neraka dll..., mereka ingin memanipulasi dan memperbudak kita, gitu saja, titik...

Yang Memukau, yang Membukakan



Setiap pemandangan-peristiwa alam yang tidak biasa-yang sangat indah, aneh, memukau, menggetarkan, mensyahdukan, menenangkan, mengerikan---seperti matahari terbit atau terbenam, jatuhnya meteor, komet, gerimis, petir, gerhana, hingga bencana alam itu akan membukakan pintu alam bawah sadar kita. Konsekwensinya, setiap afirmasi, pikiran atau perkataan apapun di saat itu akan dengan mudah tergurat kuat di alam bawah sadar kita, membuatnya lebih mempengaruhi persepsi kita, membuatnya lebih mudah mewujud menjadi kenyataan.


Itulah mengapa hampir semua tradisi agama, budaya, spiritual menganggap pemandangan-peristiwa itu sebagai sesuatu yang sakral, harus diheningi, dirituali, didoai atau diibadahi. Itulah mengapa orang yang hobi menjelajah, berpetualang, menantang maut, mendaki gunung, meledakkan adrenalin, pecinta alam, akan selangkah lebih maju secara mental-spiritual, mereka lebih banyak terpapar pada itu semua. Itulah mengapa orang-orang jaman dulu sering menasihati kita untuk tidak berkata yang buruk-buruk saat kita berada di hutan, gunung, pantai atau tempat-tempat yang disucikan, sebab betul, itu akan lebih mudah "didengar" jati diri kita, "menggetarkan" alam semesta ini, kaseksen bumi langit.


Nalar dan nurani (kesadaran-pengetahuan lebih tinggi) kita sebenarnya sudah sangat cukup menjadi alat memahami dunia-alam semesta ini, hanya masalah waktu saja klenik (hal-hal yang dikira ghaib) terungkap, tertelanjangi, tersaring, terdudukkan pada tempat yang semestinya. Kalau suatu klenik memang masih bisa ditelusuri akar "kebenarannya" atau dia masih membawa cukup kebaikan dibanding keburukan, klenik masih bisa diterima, diapresiasi dan ditoleransi, selebihnya-klenik yang tak punya akar kebenaran dan tak membawa cukup kebaikan, harus ditolak, harus dieliminasi...


Klenik dan Agama, Apakah ada Bedanya?



Bedanya apa orang yang percaya pohon kelor bisa mengusir setan dengan orang yang percaya pohon bidaralah yang lebih ampuh mengusirnya...?, atau, yang percaya tsunami disebabkan amukan Nyi Roro Kidul dengan yang percaya itu disebabkan azab Allah dikarenakan manusia telah berbuat salah dan dosa...?, atau, dukun yang membaca mantra untuk mengusir setan (yang katanya) menjadi penyebab sakit-masalah dengan perukyat, Ulama atau Pendeta yang membaca doa-doa relijius untuk tujuan sama...?


Tidak ada alias sami mawon. Klenik, tahayyul, bid'ah, syirik memiliki esensi sama, pengingkaran terhadap esensi, realitas, fakta, kenyataan atau kebenaran hakiki..., intinya, mengada-adakan sesuatu yang tidak ada, menghubung-hubungkan sesuatu yang tidak ada hubungannya. Bungkus, baju atau label takkan bisa merubah esensi..., mau dilabeli syar'i, halal, barokah atau apapun, klenik tetap saja klenik, sesuatu yang timbul dari kebodohan sekaligus membawa pada kebodohan.


Setan ada di diri kita, ego-pikiran kita, mengusirnya ya cukup dengan belajar mengenali sekaligus menguasai ego-pikiran kita. Bayangan akan setan sebagaimana dipercaya wong-wong relijius KAE---yang katanya bisa mewujud jadi gendruwo, pocong hingga kuntilanak, yang katanya bisa bikin puyeng hingga gak bisa NGACENG, sudah pasti ngawur. Tsunami itu fenomena alam biasa, sunatullah, sama seperti terbit dan terbenamnya matahari, tidak ada kaitannya dengan perilaku buruk manusia atau hal-hal ghaib, bahkan jika seisi planet ini beriman dan beramal soleh semua, tsunami akan tetap terjadi. Sakit ya ke dokter, bukan ke dukun atau perukyat..., itu "laku" teraman kita terhindar dari klenik, tahayyul, bid'ah, syirik..., sebab dokterlah yang memiliki pengetahuan paling luas dan terbukti tentang dunia persakitan.


Masalahnya sekarang, banyak orang yang sebenarnya hidupnya dikuasai klenik, tahayyul, bid'ah, syirik, tapi sama sekali tak menyadarinya, bahkan merasa sedang melawan itu semua, merasa ada di jalan yang benar, merasa akidah dan tauhidnya paling murni, yang lain rusak dan salah semua. Lucu sebenarnya, klenik menghakimi klenik..., masih mending klenik lokal, bagaimanapun lebih sering bisa dinalar maksud hakikinya, dia tidak pernah menghakimi apalagi memaksa orang lain mempercayainya...

Selasa, 31 Desember 2019

Meraga Sukma, Benarkah Pengalaman Benar?



Para pendiri agama biasanya mengklaim dirinya telah terbang ke langit, melihat surga dan neraka, bertemu dengan malaikat, Tuhan atau dewa-dewa..., betulkah...?


Yang mereka alami mungkin hanya meraga sukma atau astral projection. Meraga sukma adalah pengalaman dramatis, jika kita gagal menjaga nalar, kekritisan, keskeptisan dan terutama-ego kita, kita pasti akan hanyut dalam pesonanya, mengira itu pengalaman nyata, mengira kita telah ada di puncak tertinggi kebenaran, padahal yang terjadi sebaliknya, kita ada di dasar jurang kesesatan, kita telah gagal menahan godaan.


Saat meraga sukma, kita bisa terbang ke manapun kita mau, ke Mekah, ke Paris hingga ke kutub atau puncak Himalaya, kita juga bisa terbang ke masa lalu atau masa depan, hingga bahkan terbang ke langit ke tujuh, bertemu dengan malaikat, bidadari, Tuhan atau dewa-dewa..., kalau saya dulu siech, sukanya terbang ke rumah cah KAE, cintaku manisku raja tegaku, melihat bagaimana dia tidur... ^^ Pertanyaannya, apakah apa yang kita lihat saat meraga sukma itu sesuatu yang nyata...?.  Awalnya saya siech mengira itu nyata, tapi setelah berkali-kali mengalami berikut mengamatinya dengan seksama, sekarang saya menyimpulkan, apa yang kita lihat saat meraga sukma hanyalah ilusi-halusinasi yang timbul dari memori, pikiran, imajinasi, konsep yang sebelumnya sudah tertanam di otak kita-alam bawah sadar kita. Tandanya, kita tidak akan mungkin bisa meraga sukma ke tempat yang belum pernah kita kenal, baik nama ataupun gambaran visualnya. Jika kita belum pernah mendengar nama kota "Novosibirsk" berikut melihat bagaimana pemandangan kotanya, kita takkan bisa meraga sukma ke sana. Pun jika kita tidak mengenal konsep tentang langit berikut isinya, tidak mungkin kita bisa "plesiran" ke sana-bertemu para malaikat, dewa-dewa atau bidadari, melihat surga atau neraka, mendapat wahyu, ditunjuk jadi Nabi dan lain-lain.


Pengalaman meraga sukma itu mirip dengan pengalaman mendapat wangsit, hidayah, mukjizat atau karomah, pada dasarnya hanya mimpi, angan-angan, ilusi, halusinasi yang direspons tubuh dan otak kita sebagai sesuatu yang nyata. Bisa saja saat meraga sukma kita bertemu dengan Sheikh Abdul Qadir Jaelani, dia kemudian membagi karomah kadigdayaanya pada kita, dan setelahnya, kita betul jadi digdaya..., atau bagi yang beragama lain, bisa saja saat meraga sukma bertemu dengan Yesus, Buddha atau Wisnu yang kemudian memberi berkat atau mukjizat kesembuhan, dan setelahnya, anda sembuh betulan. Bagi yang terpesona dan hanyut, setelah terpapar pada pengalaman ajaib itu, tentu akan bertambah imannya, memberi kesaksian dimana-mana, bahkan rela mati demi apa yang dikiranya kebenaran itu.


Manusia terlahir dengan naluri-kebutuhan dasar untuk eksis, bukan untuk benar. Sayangnya, eksistensi itu seringkali harus ditopang dengan kesalahan demi kesalahan, kebohongan demi kebohongan. Menjadi benar itu sulit dan berat, salah satu konsekwensinya, akan membuat alam bawah sadar kita kesulitan membantu mewujudkan keinginan-keinginan egoistik kita-membantu menopang eksistensi ragawi kita. Jika kebenaran adalah hal penting (di mata ego kita), agama tidak akan pernah muncul di dunia ini.


Pilih mana, anda sembuh sakitnya, hidup bergelimang harta, tahta dan wanita-karena anda percaya akan keampuhan keris kyai kologupito (status anda sesat), atau anda tak mendapat apa-apa karena anda tidak mempercayainya (status anda benar)...?. Keris kyai kologupito adalah gambaran dari klenik (apapun bentuknya termasuk klenik yang mengklaim bukan klenik ^^)..., salah, sesat, bohong, tapi seringkali menguntungkan, membuat orang sulit lepas darinya...

Sabtu, 07 Desember 2019

Ujung Pasti Menghakimi




Semakin intens kita memandang orang lain salah, sesat, dosa, kafir, semakin mungkin akhirnya itu meledak menjadi tindak kekerasan, hanya dengan sedikit pemicu.


Alam bawah sadar kita itu selalu jujur dan konsekwen, dia selalu menumbuhkan apapun yang ditanam di atasnya, tidak peduli itu benar atau salah, baik atau buruk. Penghakiman orang lain salah, sesat, dosa, kafir, akan dimaknainya sebagai "wirid-afirmasi" untuk MERUBAH..., caranya, tentu-kecilnya dengan dakwah, jika itu tidak berhasil, dengan tekanan, intimidasi, hingga akhirnya, dengan paksaan, penindasan bahkan dengan membunuh.


Jadi, mengharapkan toleransi dari umat yang ajaran agamanya dari ujung ke ujung menghakimi orang lain salah, sesat, dosa, kafir itu sebenarnya sulit. Sebab pasti, makin relijius mereka, NAFSU ingin merubah orang lainnya akan semakin kuat, mereka akan semakin egois, semakin "jahat" secara esensi. Mungkin saja nafsu itu bisa ditekan "kenampakannya", disamarkan, tapi saat menghadapi situasi sulit, terpojok atau tertekan, itu tetap akan dengan mudah meledak, takkan terkuasai..., mereka adalah bahaya laten yang sebenarnya. Lihat konflik Ambon atau konflik agama lainnya..., yang awalnya masyarakat tampak baik dan toleran, dalam sekejap mata berubah menjadi saling bunuh, itu sebenarnya adalah tuaian dari apa yang ditanam sejak lama sebelum konflik itu terjadi, tuaian dari "wirid" "akulah yang benar".


Agama sering mengajarkan pengikutnya untuk tidak sombong, tapi agama selalu memicu pengikutnya merasa benar, yang lain salah. Ironis sebenarnya, sebab klaim-perasaan benar sendiri adalah bentuk kesombongan tertinggi. Kesombongan adalah "pesan" kepada kesadaran lebih tinggi kita kalau kita sudah tahu, tidak perlu "pasokan" pengetahuan lagi..., jelas, kesombongan adalah akar dari segala kejahilan dan kezaliman.


Hidup adalah pilihan, kalau kita bisa memilih menanam sesuatu yang buahnya adalah kesadaran dan pengetahuan, adalah konyol kalau kita lebih memilih menanam sesuatu yang buahnya adalah kemabukan dan kejahilan. Mungkinkah ada Tuhan yang lebih menyukai kemabukan dan kejahilan daripada kesadaran dan pengetahuan...?, bahkan jika betul ada, aku takkan mau menyembahnya...