Kamis, 29 Agustus 2019

Yang Benar, yang Menyatu



Ada 300 juta lebih Dewa dipuja di India. Bagi mereka yang sudah terdoktrin monoteisme, tentu akan menganggap itu aneh bahkan konyol, tapi bagi yang sedikit saja mengerti spiritualitas, itu wajar saja, bahkan masih kurang, idealnya Tuhan atau Dewa itu sejumlah orang yang mempercayainya, kalau ada 1 milyar penduduk India yang mempercayainya, sejumlah itu pula harusnya jumlah Dewanya. Sebab setiap orang terlahir unik, memiliki karakter, idealisme dan keinginan-egonya sendiri-sendiri sehingga memerlukan Dewanya sendiri-sendiri pula.


Bahkan yang menganut monoteisme, sebenarnya itu hanya (bisa) sebatas teori dan klaim, kenyataannya, hampir tidak mungkin dipraktekkan kecuali bagi orang yang sudah memiliki kesadaran penuh, tercerahkan atau makrifat. Prasangka dan ego-hawa nafsu akan segera mengambil alih gambaran-definisi tentang Tuhan, ujung akhirnya tetap akan sama, Tuhan sejumlah orang yang mempercayainya, nama tidak akan ada banyak artinya, tidak akan cukup membantu "menemukan" sekaligus menyatukan. Tuhannya orang Yahudi, Kristen dan Islam itu berbeda meskipun sama-sama satu. Bahkan Tuhannya orang Sunni, Syiah, NU dan Muhammadiahpun juga berbeda sekalipun memiliki nama yang sama. Tanda sekelompok orang atau umat itu bertuhan sama adalah menyelaras atau menyatunya vibrasi. Jika itu terjadi, orang pasti akan malu membesar-besarkan kulit, baju, simbol, organisasi..., akan malu menyebut dirinya Sunni, Syiah, NU atau Muhammadiyah..., atau dalam lingkup yang lebih luas-kebenaran yang lebih universal-tinggi, bahkan akan malu menyebut dirinya Yahudi, Kristen, Islam. Wajar saja, menyatunya vibrasi akan berarti tidak akan terlihatnya lagi perbedaan yang perlu ditonjolkan apalagi dipertentangkan. Tuhan, Sang Kebenaran, Dharma, Sang Maha Esa akan tampak seperti matahari, umat, budaya dan bangsa manapun akan mempersepsikannya sama-satu dan benar, matahari itu hangat dan terang.


Aku bukanlah orang Nasrani, Aku bukanlah orang Yahudi, Aku bukanlah orang Majusi, dan Aku bukanlah orang Islam. Keluarlah, lampaui gagasan sempitmu tentang benar dan salah. Sehingga kita dapat bertemu pada suatu ruang murni tanpa dibatasi berbagai prasangka atau pikiran yang gelisah... (Rumi)

Selasa, 20 Agustus 2019

Antara Jin dan Hawa Nafsu



Ada setan/jin yang takut pada salib, ada yang takut pada ayat kursi, pohon bidara atau buah kurma, ada juga yang takutnya pada swastika, simbol yin dan yang, pohon kelor atau bawang putih..., saya sendiri dulu punya jimat anti setan/jin berupa rajah bertuliskan huruf Arab yang entah apa artinya. Manakah yang benar...?. Semua benar dan semua salah tergantung bagaimana kita mempersepsikannya.


Yang jelas, itu kenyataan yang mencerminkan kalau setan/jin itu sebenarnya 100 persen ciptaan (pikiran) manusia (bahkan termasuk Tuhan). Karena dia ciptaan manusia, suka-suka saja orang menggambarkan karakternya berikut apa yang menjadi penangkalnya. Jangan heran kalau kemudian sering sesuatu yang didefinisikan-dideteksi sebagai Tuhan atau Dewa oleh sekelompok umat justru didefinisikan-dideteksi sebagai setan/jin oleh kelompok umat lain.


Pikiran (yang tak terkendali) itu bagian dari ego-hawa nafsu. Ego-hawa nafsu adalah spirit sumber yang dalam banyak tradisi spiritual, budaya dan agama sering mewujud-disebut setan atau jin. Percaya pada setan/jin bahkan termasuk Tuhan (sebagai sosok) jelas menandakan kita tertipu ego-hawa nafsu-setan kita sendiri, kita sudah terjerumus pada klenik/takhayyul, bid'ah dan syirik secara esensi. Sayangnya, justru orang-orang relijiuslah yang biasanya sangat mudah percaya ITU. Tragis sebenarnya, mereka sangat keras mengklaim anti klenik/takhayyul, bid'ah dan syirik, tapi justru menjadi yang terdepan terjebak dalam pusarannya. Ateis bisa jadi justru tauhidnya lebih murni, mereka berpeluang lebih makrifat ditandai lebih mampunya mereka menjaga pikirannya dari berprasangka termasuk dalam memahami-mempersepsikan kebenaran. Tauhid adalah darma, kebenaran yang satu. Mengada-adakan sesuatu yang tidak ada jelas lebih sesat bahkan beresiko bahaya daripada menganggap tidak ada sesuatu yang tidak bisa dibuktikannya. Lebih baik mana, percaya Tuhan yang keras, pemarah, pembenci, pendendam, pengazab, egois, fasis, seksis, misoginis daripada tidak percaya Tuhan sama sekali...?


Setan/jin dan Tuhan-kalaupun dia ada, dia sosok tak terjangkau, jangan serakah ingin menjangkaunya, keserakahan hanya akan membuat ego-hawa nafsu-setan kita akhirnya mengambil alih gambaran-definisi tentangnya, itu adalah puncak dari kesyirikan, berhala...


Minggu, 04 Agustus 2019

Ego, Agama, dan Jalan Lurus



Orang-orang jaman dulu saat bertapa mencari kekayaan atau kekuasaan, konon kabarnya banyak yang mendapat wangsit untuk mencuri, menggarong, meniduri bojone tonggo atau bahkan membunuh sebagai syarat agar cita-citanya itu terkabul. Cerita itu benar, bisa dinapak tilas, diulangi atau dibuktikan siapapun juga.


Dimana ego kita dominan berada,  menentukan bagaimana wujud ilham, hidayah, petunjuk atau wangsit saat kita menjalani "laku" spritual. Jika ego kita berada di titik sangat rendah, ilham, hidayah, petunjuk atau wangsit yang akan kita terima-memang akan memiliki lingkup sangat luas, tapi juga sangat liar..., amalan, ritual atau perbuatan apapun yang akan membangkitkan cakra (kekuatan batin) atau membantu secara langsung terwujudnya keinginan kita, akan dengan segera mewujud menjadi ilham, wahyu, hidayah atau wangsit, tidak peduli itu baik atau buruk, benar atau salah. Masuk Islamnya Dedi Corbuzier atau masuk Kristennya Salmafina, kemungkinan tertinggi hanya mencerminkan-didorong apa yang menjadi ego dominan mereka-agama apa yang dipersepsikan kekuatan bawah sadar mereka paling akan mampu mendukung-mewujudkan egonya, tidak ada kekuatan suci apapun yang mengarahkannya..., gak usah lebay dalam menyanjung atau mencelanya... ^^


Agama sejatinya adalah bentuk paling dasar-sederhana dari "laku" spiritual, karenanya, dia juga terikat pada "hukum kesevibrasian" itu. Dimana ego dominan seseorang diletakkan, menentukan-kecilnya bagaimana dia menafsirkan ajaran agama atau besarnya-menentukan hidayah-petunjuk agama apa yang harus dipeluknya. Abu Bakar Al-Baghdadi dan Jalaluddin Rumi itu sama-sama Muslim, sama-sama berpegang pada Qur'an dan Sunnah, tapi mengapa pikiran dan perilaku mereka bisa sangat berbeda, bagai langit dan bumi, setan dan malaikat...? Yang membedakan mereka tentu adalah tingkat penguasaan ego mereka. Orang yang egonya terkendali, akan menemukan kebaikan pada agama serusak apapun, sebaliknya, yang tak terkendali, agama sebaik apapun tetap hanya akan membawanya pada kerusakan.


Tidak ada agama tanpa pengendalian ego, bukanlah agama kalau tak membawa pada pengendalian ego. Sebab esensi jalan lurus itu hanya ada pada pengendalian ego..., bukan yang lain...