Rabu, 27 Februari 2019

Iman dan Kebenaran, Mungkinkah Selaras?



Dulu, waktu saya masih beriman wong KAE adalah jodohku, saya ini kerapkali mendengar dia mengucapkan salam sambil mengetuk pintu rumahku, tapi setelah kujawab dan pintu kubukakan, ternyata tidak ada siapa-siapa..., pernah melihat dia berjalan di antara keramaian pasar, tapi setelah kupanggil dan kudekati, ternyata bukan dia..., pernah juga melihatnya pesam-pesem kedap-kedip ngguya-ngguyu di depanku, tapi setelah kukedipkan mata, dia tiba-tiba menghilang tanpa bekas.


Agama, di satu sisi mengklaim sebagai kebenaran mutlak tapi di sisi lain justru menjadikan iman sebagai tuntutan utama. Itu adalah sesuatu yang janggal, ironis, kontradiktif, sarkastis. Sebab justru imanlah penghalang terbesar kita dari memahami kebenaran. Tidak mungkin kebenaran hakiki dipahami dengan mewirid atau membesarkan sesuatu yang harga atau tebusannya jelas adalah melemah, tertutup dan bahkan matinya sumber daya utama kita memahami kebenaran, akal dan hati kita. Yang dituntut agama seharusnya "laku" penguasaan ego sebab jika ego terkuasai, kebenaran akan tampak, tanpa perlu klaim, indoktrinasi, janji surga atau ancaman neraka. Tuntutan akan iman hanya mencerminkan lemahnya dasar suatu klaim kebenaran sehingga harus ditopang dengan dilemahkannya kemampuan pemercayanya memahaminya, tidak lebih dari itu.


Iman adalah energi yang POLOS dan TANPA DOSA, tidak bisa membedakan yang benar dan yang salah, yang baik dan yang buruk, apapun yang diimani-ditanamkan akan berusaha direalitaskan-diwujudkannya tanpa syarat. Mengimani Tuhan sebagai yang maha kuasa akan memiliki dampak mental-spiritual yang sama dengan mengimani BOTOL atau batu cincin dengan maha yang sama..., mengimami Tuhan sebagai yang maha ASYIK tidak lebih rendah daripada mengimaninya sebagai yang maha agung, maha perkasa, maha keras, maha tinggi  maha mulia dan sebagainya.


Memang, jika iman dibatasi-diarahkan hanya untuk sesuatu yang masih dalam jangkauan fakta-realitas, potensi, bakat atau kekuatan kita, iman akan menjadi berkah, akan sangat membantu kita mencapai apa-apa yang kita inginkan. Tapi saat iman diarahkan-dipaksa untuk mengimani sesuatu yang di luar itu, semisal mengimani klenik atau tahayyul (termasuk di dalamnya klenik-tahayyul agama dan Tuhan), iman akan menjadi azab, kutukan, bumerang, akan memberontak dan menipu, dia bukannya akan membawa kita pada kebenaran yang sesungguhnya melainkan hanya akan membuat apapun terasa dan tampak sebagai kebenaran termasuk kesesatan atau kejahatan terkeji sekalipun..., dia bukannya akan membantu mewujudkan apa-apa yang kita inginkan malah justru menciptakan ilusi-perasaan kalau kita telah mencapai apa-apa yang kita inginkan, membuat otak kita rusak, mengalami  delusi dan halusinasi hebat. Pernah melihat orang yang ngaku-ngaku Nabi, Wali, Sheikh, Ustad, Mujahid dll...?, atau pernah melihat orang mengaku mencium bau wangi dari tubuh teroris, melihatnya dimandikan malaikat atau bidadari..?, itulah contoh dramatis akibat dari kegagalan orang menjaga, mengarahkan atau membatasi imannya.


Untung saya dulu cuman mengimani wong KAE adalah jodohku, coba seandainya saya mengimani diri saya pantas menjadi Nabi atau Wali (akibat rajinnya beribadah), mungkin saya akan didatangi malaikat, memberi saya wahyu, menunjuk menjadi Nabi atau Wali.., saya kemudian meminta seluruh umat manusia mengimani dan mengikuti saya, kalau enggak mau, akan saya ancam tak ceburin ke neraka...! :D




Sabtu, 23 Februari 2019

Tuhan, Menciptakan atau Diciptakan?



Ego atau hawa nafsu tidaklah didesain sebagai alat untuk memahami atau mengenali hakikat kebenaran. Orang-orang egois bagaimanapun relijiusnya tidak akan mungkin sampai pada kebenaran bagaimanapun keras mereka merasa dan mengklaim itu. Mereka hanya akan sampai pada ilusi-delusi-halusinasi akan kebenaran. Ego hanya didesain untuk menopang eksistensi fisik-ragawi-duniawi kita-memberi petunjuk dan kekuatan kita untuk mewujudkan apa-apa yang kita inginkan, dia hanya membawa kita pada apa yang paling nikmat, menguntungkan dan menyenangkan.

Salah satu produk terbesar dan terdramatis ego kita-manusia adalah sosok Tuhan atau dewa-dewa, sulit bagi ego kita menolak pesonanya. Dia sejatinya tidak (benar) ada, dia menjadi ada semata karena kita mewiridkan-mengafirmasikan dia ada. Wirid-afirmasi yang kita lakukan terus-menerus itu pada akhirnya akan membentuk-menciptakan "khodam", spirit, vibrasi, memori atau energi "ketuhanan" yang deskripsi, sifat-sifat, kehendak berikut kekuatannya sepenuhnya bergantung pada iman, angan-angan, kebutuhan, keinginan atau budaya kita-pewirid atau pengafirmasinya. Bagi masyarakat Jawa yang agraris, sangat wajar kemudian muncul Dewi Sri (dewi padi) sebagai sesembahan terpenting, memang itulah yang paling dibutuhkan orang Jawa..., bagi masyarakat primitif yang senang berperang, dewa peranglah yang pasti akan muncul dan dominan dipuja..., pun dengan masyarakat yang terobsesi dengan kekayaan atau kemakmuran, dewa kekayaanlah yang akan menjadi rajanya para dewa. Dalam batas tertentu, semua kepercayaaan itu (mungkin) baik dan menguntungkan asal ditempatkan pada konteks-latar belakang yang benar-sesuai. Menjadi salah besar kalau ada orang Jawa malah memuja Tuhan yang secara esensi jelas adalah dewa perang atau ada orang Arab malah memuja Dewi Sri. Bagaimanapun, karena kepercayaan pada sosok-sosok itu adalah produk ego, tetaplah akan sangat sulit bahkan tidak mungkin bisa diverifikasi kebenarannya, yang bisa diharapkan darinya paling tinggi hanya sebatas kebaikan atau kemaslahatan saja.

Tuhan seperti apa yang kita ciptakan-percaya-sembah pada akhirnya akan membentuk siapa diri kita, dialah yang akan "manunggal" dengan diri kita, membimbing dan merahmati kita. Kalau kita bisa memilih menciptakan-mempercayai-menyembah Tuhan sebagai sosok yang maha pengasih dan penyayang, sabar, lembut, pemaaf, baik hati dan tidak sombong, Tuhan yang sesuai dengan kebutuhan-kondisi spesifik kita, adalah suatu kekonyolan, kejahilan dan kezaliman besar kalau kita justru ngotot memilih-menciptakan-mempercayai-menyembah Tuhan sebagai sosok egois, fasis, seksis, bengis, keras, pemarah, pembenci, pendendam, pengazab, Tuhan antah berantah sebagaimana Tuhannya wong-wong soleh KAE...

Minggu, 03 Februari 2019

Antara Jimat dan Agama, Apakah Ada Bedanya?




Saya dulu pernah hanya bisa merasa tenang, aman dan damai jika kemana-mana membawa jimat/rajah pemberian seorang Kyai panutan saya..., pernah juga merasakan itu jika sudah melaksanakan semua perintah atau syariat agama..., bahkan pernah juga merasakan itu hanya dengan menyawang mesem-gemuyune wong KAE.


Pertanyaannya, apakah ketenangan, rasa aman dan damai saya itu dulu bersumber dari sesuatu yang secara esensi nyata-benar-terbukti-obyektif...?. Dengan berat hati sekaligus keberanian tinggi sekarang saya menyimpulkan, pasti tidak...!. Ketenangan, rasa aman dan damai saya itu semata timbul karena saya telah berhasil memanipulasi pikiran saya, menjadikan sesuatu yang sebenarnya tidak punya nilai apa-apa menjadi tampak dan terasa sangat bernilai, karena saya telah berhasil menciptakan "berhala" di otak-pikiran saya berikut kemampuan-kekuatan berhala itu melindungi-merahmati-memberkahi-membimbing hidup saya.


Seperti itulah sebenarnya prinsip dasar semua agama bekerja. Semua agama hakikatnya memiliki "wirid-afirmasi" menciptakan berikut menyembah berhala ciptaannya itu-bahkan termasuk agama yang paling keras mengklaim anti berhala. Sebab tanpa menciptakan-menyembah berhala, agama menjadi tidak praktis bahkan tidak akan ada gunanya, akan segera ditinggalkan penganutnya. Semakin kuat "rasa" manfaat atau kebenaran yang kita dapatkan dari agama, semakin kuatlah sebenarnya berhala yang berhasil kita ciptakan dan percaya. Jimat saya itu dulu jadi bahan tertawaan dan hinaan teman-teman saya, tapi bagi saya, terasa begitu agung dan suci, saya yakin sekali, teman-teman sayalah yang bodoh, saya yang pintar, mengerti ilmu hikmah. Agama yang yang sedang anda sucikan dan agungkan sekarang pastilah akan dipandang orang lain (yang tak seagama) seperti halnya jimat yang saya percaya dulu, cuman jadi bahan tertwaan dan ejekan, berhentilah egois, berhentilah mabuk, mulailah belajar berempati...!.


Berhala adalah sesuatu yang hakikatnya tidak ada tapi diada-adakan. Alam bawah sadar kita tidak bisa membedakan antara sesuatu yang nyata-obyektif ada dengan yang tidak ada, sesuatu yang tidak adapun akan dipersepsikan ada (dan maha kuasa) jika dipercaya dan ditanamkan terus-menerus dia ada (dan berkuasa). Selama suatu agama masih menjadikan iman sebagai tuntutan utama, selama itu pula agama itu sebenarnya masih mengajak pengikutnya menciptakan berikut menyembah berhala, masih mengajarkan klenik atau tahayyul, bukan mengajarkan bagaimana cara memahami hakikat kebenaran


Keliru besar kalau yang disebut berhala hanyalah patung, kuburan, jimat, Wali, Habib, gunung, lautan..., justru berhala yang ada pikiran kita, berhala tak berwujudlah yang paling kuat, paling sulit dikenali sekaligus dihindari, sayangnya, berhala itulah yang justru paling ingin dibentuk dan disembah kebanyakan agama. Tanpa membersihkan berhala di pikiran kita, tauhid atau dharma, kebenaran yang tunggal tidak akan mungkin bisa dipahami...