Rabu, 08 Agustus 2018

Kebenaran Itu Sulit, Jangan Dianggap Mudah!


Sekarang banyak orang berfikir dan berharap menjadi benar, diberkahi, masuk surga hanya dengan rajin mengikuti pengajian atau ceramah agama. Yang gemar diikutipun ustad-ustad yang tidak jelas status keilmuan dan kesadaran atau makrifatnya. Biasanya mereka-ustad itu hanya memahami teks atau tafsir agama, itupun sebatas yang dari sekte yang dipegangnya saja..., mereka hanya memahami sisi paling dangkal sekaligus berbahaya dari agama.


Ironis sebenarnya, bagaimanapun itu cermin masyarakat kita semakin SERAKAH saja dalam beragama, terjangkit "virus" kapitalisme, pragmatisme, praktisisme dan bahkan oportunisme dalam beragama..., maunya mendapat banyak tapi upaya yang bersedia mereka jalani sedikit saja. Mereka sedang membohongi diri, mewiridkan perasaan gembira, benar dan tenang untuk sesuatu yang tidak ada sebab atau alasan hakikinya, mirip dengan mereka yang mencari perasaan itu dari rokok, alkohol atau narkotik. Serakah hanya memberi kita energi-kekuatan, sebaliknya, itu akan melemahkan mental-spiritual, nalar-nurani kita..., membuat kita mudah menjadi zalim, tersesat, dibohongi, dihasut, dihipnotis, diindoktrinasi, dieksploitasi dan diperbudak tanpa sedikitpun kita sadari.


Tidak ada yang mudah dari (memahami) kebenaran, keberkahan, surga. Itu tetap harus digapai melalui "laku-tarikat" yang "berdarah-darah" membelenggu-mengorbankan seluruh ego-ego fisik-material-duniawi kita, "ngolah roso mbanting rogo", "mati sajroning urip"..., tidak bisa dibeli dan diwakilkan dengan apapun. Siapapun leluhur kita, tinggal dimanapun, berbangsa dan beragama apapun, berapapun uang yang kita miliki, kita tetap harus menghinakan, merendahkan, melemahkan, memasrahkan, memiskinkan dan menyengsarakan diri untuk menggapai itu semua. Inilah sisi paling demokratis dari hidup manusia, raja atau rakyat jelata harus melakukan hal yang sama untuk "membeli" sesuatu yang sama.


Tidak ada artinya merasa atau mengklaim telah mendapat hidayah atau berhijrah kalau nyatanya ego atau hawa nafsu kita masih begitu tinggi, masih sangat emosional, penuh prasangka, kebencian, iri hati, hedonik, binal..., itu menandakan kita masih kurang "laku", hidayah dan hijrah kita hanya delusi-halusinasi. Kita masih ada di tempat yang sama bahkan mungkin mundur ke belakang. Kita hanya mendapat hidayah dari ego, "setan" kita, bukan dari sang kebenaran. Status kita masih sama dengan orang-orang jaman dulu yang mendapat "hidayah-wahyu" untuk membunuh anak, tetangga atau musuhnya demi mendekatkan diri dengan Tuhan, mendapat kekayaan atau kekuasaan...

Kamis, 02 Agustus 2018

Kecanduan Agama, Berkah atau Azab?


Merasa gembira, bahagia, tenang dan damai karena telah (taat-fanatik) beragama itu tidak menunjukkan kalau anda atau agama yang anda anut itu benar melainkan semata menunjukkan anda telah mengalami adiksi atau KECANDUAN, telah mengalami perubahan, kekacauan dan ketidakseimbangan struktur fisik-kimia otak-tubuh anda.


Itu nilainya sama dengan mereka yang merasa gembira, bahagia, tenang dan damai karena hasratnya untuk merokok, minum alkohol, berjudi, bermain game, membuka media sosial atau bahkan yang lebih ekstrim--memfitnah, menghasut, menindas atau membunuh seperti yang terjadi pada banyak orang relijius sekarang telah terpenuhi. Jangan salah, seorang perokok berat bisa merasa lebih gembira, bahagia, tenang, damai bahkan syahdu atau "spiritual" daripada orang relijius manapun saat hasrat mereka akan rokok terpenuhi, sebaliknya akan "sakau", mengalami sakit-penderitaan keras jika itu tidak atau belum terpenuhi. 


Adiksi (termasuk fobia, trauma, paranoia) adalah penghalang besar kita dari memahami realitas-hakikat kebenaran, berlaku adil-proporsional-obyektif. Sayangnya, hampir semua agama justru memicu itu atau bahkan menjadikan itu "wirid" yang wajib dan berusaha terus ditanamkan. Itu membuat umumnya penganut agama menjadi ringkih, mudah terjerumus pada kebodohan dan kezaliman, mudah terhipnotis, tertipu, termanipulasi dan terbudak, atau sebaliknya menghipnotis, menipu, memanipulasi dan memperbudak. Mereka menjadi tidak seimbang dalam merespon-menyikapi dunia, yang kecil dan remeh akan tampak besar dan penting, sebaliknya, yang besar-penting justru menjadi tampak kecil-remeh. Teman saya lebih suka menghabiskan uangnya untuk membeli rokok daripada makanan, tetangga saya berkali-kali ditipu orang yang penampilan dan gaya bicaranya tampak relijius.


Seorang perokok berat ditunjukkan sebanyak apapun data bahaya rokok pasti akan menyangkalnya keras. Tahu baginya takkan memicu untuk sadar dan mengikuti (apa yang diketahuinya itu). Saya dulu punya teman seorang dokter tapi perokok berat, saat kukritisi kebiasaannya itu, dia menjawab, "saya tahu betul resiko-bahaya merokok dan saya siap menanggungnya jika itu menimpa saya". Pun demikian dengan orang yang sudah kecanduan agama, kebenaran bagi mereka hanya sebatas perasaan dan klaim, hakikatnya merekalah justru penolak terkuat kebenaran. Mereka pasti tahu kalau banyak sekali bagian dari ajaran agama mereka yang tidak sesuai dengan nalar dan nurani mereka, tapi berhubung itu sudah ditanamkan begitu kuat, sudah sampai pada tahap merubah struktur fisik-kimia otak-tubuh, mereka tidak kuasa meninggalkannya.


Mencandulah hanya pada sesuatu yang secara hakiki memang baik bagi diri kita dan umat manusia secara keseluruhan, pada kebenaran. Dan untuk bisa memahami-menggapai itu, kita harus ikhlas melepaskan seluruh kecanduan kita pada yang lain termasuk kecanduan terhadap agama...

Perang dan Jalan Tuhan



Pandawa mengalami keraguan hebat saat perang Mahabarata hendak dimulai, mereka tidak tega harus berbunuh-bunuhan dengan saudara dan guru-gurunya sendiri, jiwa panditanya terus memberontak. Baru setelah dinasihati dan dihasut habis-habisan oleh Kresna, pelindungnya, jiwa ksatria Pandawa tergugah. Pandawa adalah ksatria yang harus kukuh memenuhi kewajibannya sebagai ksatria, tidak boleh terlalu melibatkan rasa dan hati, begitu nasihat utama Kresna.


Pandawa adalah "ksatria pinandita", nyatanya toh mereka tetap harus melepas "baju" panditanya saat berperang untuk kemudian sepenuhnya menjadi ksatria. Tidak ada perang di jalan Tuhan atau perang suci sebab saat kita berperang, semua jalan Tuhan sudah tidak mungkin bisa dilihat lagi, kita terlepas dari keterhubungan dengannya. Orang kalau masih bertuhan saat berperang, pasti akan kalah bahkan sekedar memulai berperang saja tidak akan mau, seperti Pandawa saat hendak memulai perang baratayuda. Semua perang bahkan perang dalam rangka membela diri atau membela kebenaran membutuhkan setan sebagai "bahan bakar" agar energi kita menjadi fokus dan maksimal, tidak ada yang melemahkan, mengganggu dan membajak termasuk (suara-suara) Tuhan.


Perang adalah tugas dan kewajiban para "ksatria" yang menjadikan pembangunan kekuatan (otot) sebagai "wirid" atau "tarikat" utama, bukan kewajiban para "pandita" atau ulama yang menjadikan keterhubungan dengan kebenaran (hati-Tuhan) sebagai tarikat utama. Kewajiban para pandita adalah perang melawan ego atau hawa nafsunya, dirinya sendiri termasuk perang terhadap hasrat atau keinginan diri untuk berperang (secara fisik), bukan malah sebaliknya, menjadi penghasut utama perang.


Pilih salah satu saja kalau ingin kesempurnaan, menjadi pandita (orang benar) atau ksatria (orang kuat), jangan kemaruk mau dua-duanya, bajunya pandita-ulama-relijius tapi haus perang. Itu hanya menunjukkan kita tengah berbohong, menipu masyarakat, mengatasnamakan Tuhan untuk sesuatu yang jelas adalah "seruling" setan...