Kamis, 31 Mei 2018

Kekerasan dan Jalan Lurus


Semakin kita terhubung dengan hati-kesadaran-pengetahuan-kekuatan lebih tinggi kita, semakin kecil kemungkinan dan kecendrungan kita untuk memilih kekerasan sebagai "akidah", gaya hidup, cara utama kita mencapai tujuan-tujuan hidup kita termasuk tujuan-tujuan keagamaan kita. Kita hanya akan mau menggunakan kekerasan jika lahir-batin kita, nalar-hati kita mengetahui itu memang jalan yang efektif, bermaslahat lebih besar dan sudah tidak ada jalan lain yang bisa digunakan.


Kekerasan apapun dasar dan tujuannya tetaplah datang dari ego-hawa nafsu-setan kita. Sebagaimana sesuatu yang datang dari ego lainnya, dia tentu harus ditebus dengan harga yang teramat mahal yaitu berupa diturunkan atau direndahkannya standar-batasan moral kita-dibungkam dan bahkan dibunuhnya nalar dan hati kita. Tujuannya jelas, supaya ego kita menjadi lebih leluasa dalam menghasut dan mengeksploitasi, meminta "restu" fisik-emosi, alam bawah sadar kita-naluri rendah-primitif kita dalam membantu terpenuhinya kehendak-kehendaknya. Hanya dengan direndahkan-diturunkan standar-batasan moral kita, potensi kekuatan fisik-emosi, alam bawah sadar kita-naluri rendah-primitif kita yang kuat tapi "buta" itu akan sepenuhnya bangkit dan meledak, mau menjadi "budak" kita.


Praktik atau budaya kekerasan lahir dari minim atau sempitnya range pengetahuan dan sumber daya yang dimiliki seseorang atau suatu masyarakat, lahir dari kejahilan dan kelemahan yang ditambah dengan tingginya ego-rendahnya moral. Dia menandakan kalau seseorang atau suatu masyarakat itu miskin jalan, bimbingan dan kekuatan sehingga membuatnya menjadi sangat kaku sekaligus spekukatif, terpaku hanya pada satu jalan, tidak memiliki alternatif jalan lain saat berusaha mewujudkan keinginan-keinginannya. 


Bagaimana tingkat kebenaran suatu agama jelas tercermin dari bagaimana cara agama itu menyikapi atau menghukumi kekerasan (dan hal-hal egoistik lainnya). Agama yang benar, baik dan tinggi tidak akan mungkin mengajarkan itu. Semakin minim agama mengajarkan, menghasut, atau merestui kekerasan, tidak peduli bagaimanapun tidak masuk akal ajarannya, agama itu pada akhirnya akan semakin mendekatkan pemeluknya pada jalan lurus, pada tauhid hakiki, pada kebenaran, pada pengetahuan, pada kekuatan, pada makrifat, pada pencerahan, pada Tuhan, pada surga...

Sabtu, 12 Mei 2018

Kenisbian Dogma



Melakukan atau tidak melakukan sesuatu, percaya atau tidak percaya sesuatu semata atas dasar janji surga dan ancaman neraka itu ironis..., akan memicu umat terus taklid-jumud, sulit membuatnya menjadi sadar-makrifat, memahami akar, alasan, hikmah dibalik janji dan ancaman itu..., sulit membuatnya mengerti apa yang harus dilakukan dan dipercaya dalam lingkup yang lebih luas dan rumit.


Apa yang harus dilakukan atau tidak dilakukan, dipercaya atau tidak dipercaya oleh masyarakat itu hidup, berubah dan berkembang, mengalir mengikuti konteks-latar belakang, tempat, waktu, situasi dan kondisi, tidak bisa dikunci dengan dogma. Konsekwensinya, agama seharusnya tidak berpusat pada dogma-teks melainkan berpusat pada "laku-tarikat". Agama yang berpusat pada dogma secara teknis-logika akan berakhir saat hidup pendirinya juga berakhir. Wajar saja, dogma seindah atau sesempurna apapun tidak akan mampu mengikuti "aliran" apa yang harus dilakukan dan tidak dilakukan, dipercaya dan tidak dipercaya..., itu memerlukan pembaharu dari waktu ke waktu, tempat ke tempat, situasi-kondisi ke situasi-kondisi, orang yang terus menjaga komunikasinya dengan Tuhan-alam semesta.


Agama yang (relatif) akan terjaga kebenaran-kemaslahatannya itu seperti perguruan silat atau sekolah modern, kebanggaan terbesarnya adalah saat murid menjadi lebih hebat dari pendiri atau guru-gurunya..., saat murid menemukan ide-ide, penemuan-penemuan atau ilmu-ilmu baru yang lebih hebat atau sempurna..., bukan malah menjadikan pendiri atau guru-gurunya sebagai ujung-batas ilmu, melebihinya dianggap ancaman, bid'ah atau sesat, menjadi dimusuhi.


Dan itu bisa dilihat dari fokus atau sisi dominan apa yang diajarkan agama. Jika agama lebih fokus-dominan mengajarkan-menunjukkan akar-sumber darimana asal agama berasal atau dengan kata lain, menunjukkan cara menciptakan (ajaran) agama, bukan malah mengunci-memaksa pengikut hanya mengcopy-paste ajaran (agama) yang sudah ada..., maka kebenaran agama itu akan (relatif) terjaga dari waktu ke waktu...

Kamis, 03 Mei 2018

Konsekwensi Hakiki Obsesi



Jika kita sangat terobsesi dengan seorang wanita, kita istikharah, berdoa, bertafakur atau menyepi berbulan-bulanpun tidak akan menghasilkan "sasmita", petunjuk atau pertanda yang benar tentang wanita itu. Hanya sasmita yang mendukung obsesi kita itu saja yang akan tampak dan terperhatikan. Sasmita-informasi buruk apapun tentang dia akan terblokir atau terabaikan, tidak dianggap, tidak akan membuat kita mempertimbangkannya.


Pun saat kita sangat terobsesi dengan surga, agama atau Tuhan, kita akan mabuk bahkan gila, kehilangan sebagian kesadaran kita. Kita tidak akan lagi mampu menangkap-menerima-memahami-mengikuti secara adil dan obyektif-proporsional sasmita atau petunjuk akan hakikat kebenaran dan kebaikan. Nalar kita melumpuh, hati menutup dan mati, takkan mampu lagi membimbing-menghidayahi kita lagi. Kita akan takut dan memusuhi bayangan, pamomong, jati diri bahkan Tuhan (yang benar) kita sendiri. Obsesi kita akan segera berubah menjadi "Tuhan" yang disembah dan diikuti, disadari ataupun tidak, diakui ataupun tidak. Kita akan mengira mendapat petunjuk Tuhan, Tuhan ada di pihak kita padahal hakikinya sebaliknya, kita hanya sedang mendapat petunjuk dari dan ada di pihak obsesi, ego, hawa nafsu atau setan kita.


Obsesi adalah bagian dari (upaya) ego atau hawa nafsu memperjuangkan kepentingannya, dia hanya memberi kita limpahan energi atau kekuatan (sugestif-emosional), tidak lebih dari itu. Sayangnya, dia memberi itu semua tidak gratis, harus dibeli dengan harga yang teramat mahal yaitu dengan mati dan terbungkamnya kecerewetan, kasih sayang, pengetahuan sisi-sisi tinggi kemanusiaan kita, nalar dan hati kita, pembimbing-penasihat hebat kita. Kenyataan yang akan membuat hidup kita mudah dan sering jatuh dalam tahayyul, spekulasi dan egoisme-pragmatisme-oportunisme ekstrim. Obsesi harus dikendalikan apalagi jika itu menyangkut sisi-sisi paling vital dari hidup-kemanusiaan kita, menyangkut lurus-tidaknya, baik-tidaknya hidup kita dan umat manusia secara keseluruhan.


Tidak ada gunanya istikharah jika kita masih terobsesi pada kecantikan, keseksian, ketampanan, kekayaan, kekuasaan. Istikharah hanya akan menjadi budak pendukung-pembenar obsesi kita itu saja. Pun juga, tidak ada gunanya kita berusaha mencari kebenaran jika kita masih terobsesi pada surga, agama atau Tuhan. Kebenaran akan tersimpangkan, terbajak dan terkudeta, hanya akan menjadi mimpi, ilusi, delusi bahkan halusinasi..., sekedar memenuhi-menyenangkan selera obsesi kita saja...