Pulang dari acara selamatan kelahiran anak ke-dua wanita yang pernah kugilai sekaligus gawe wirang. Wanita yang pernah membuatku jadi pembicaraan orang sekampung, kondang edan. Kukira akan terjadi hal-hal emosional-tak terduga-ngisin-isini tapi ternyata tidak, segalanya berlangsung datar dan alami, tanpa ada kekikukan, salah tingkah apalagi gejolak perasaan yang membuncah, alhamdulillah.
Dulu, segala hal dari dia tampak begitu indah, seksi, menarik, menggetarkan..., suaranya, senyumnya, gaya bicaranya, perilakunya, kakinya, pinggulnya, susunya, pipinya, jidatnya..., sungguh telah membuatku mabuk kepayang, wuyung, kasmaran..., kehilangan sebagian kesadaranku. Tapi sekarang, segalanya telah berubah, segala hal dari dia, sudah tak mampu "bicara" apa-apa lagi..., bukan karena dia sudah banyak berubah, tak secantik dulu lagi, bukan pula karena aku sudah ada yang lain..., tapi semata karena aku telah sadar, dia memang tidaklah seindah, secantik, seseksi, sebaik dan semenarik yang dulu aku kira..., ditambah lagi, bukanlah hakku lagi untuk terus memelihara kegilaan itu sekarang. Cinta yang dulu kurasakan begitu dramatis, sekarang terlihat lucu.
Kenyataan sama terjadi pada pengalaman relijiusitas saya, dulu, saat masih menjadi orang relijius, segala hal terkait agama saya itu selalu tampak indah, membuatku tertarik, bersemangat bahkan mabuk dan gila. Mendengar orang membaca kitab suci atau terjemahannya, hati bergetar..., melihat orang berkata atau berpenampilan relijius, langsung percaya tanpa banyak bertanya..., bahkan hanya melihat foto tempat ibadah, padang pasir, unta, tulisan atau orang Arab hingga pohon kurma, iman bertambah, merasa lebih dekat dengan agama dan Tuhan. Buruknya, kecintaan saya pada agama saya itu diikuti kebencian saya pada (penganut) agama lain, mengalami prasangka dan fobia berat terhadap segala simbol, orang, etnis, budaya, negara dan hal apapun yang terkait dengan agama lain. Iman yang dulu kukira benar dan suci, sekarang membuatku malu sendiri.
Iman (tanpa kawruh) itu seperti cinta (buta), memabukkan, hanya memberi kita perasaan syahdu-dramatis, limpahan energi, motivasi, sugesti..., tidak memberi kita keadilan, kebenaran, obyektivitas, "kesadaran". Kalau yang kita inginkan adalah cinta dan iman yang suci, tulus, ikhlas, benar, lurus, mencerahkan..., tidak ada jalan lain, kita harus mengawalinya dengan belajar mengenali obyek yang kita cintai sekuat hati, tanpa melibatkan rasa, harapan, prasangka, emosi, atau ego-hawa nafsu...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar