Kamis, 28 September 2017

Mukjizat Cinta


Saat saya masih tinggal di perantauan, ibu saya itu dulu selalu tahu kondisi saya, apakah saya sedang berbahagia atau sedih, sehat atau sakit, bertuah atau bermasalah. Para Nabi, Wali atau orang suci biasanya akan tahu kondisi umat, pengikut atau masyarakatnya puluhan atau bahkan ribuan tahun sesudah masa hidupnya.

Kekuatan cinta akan menembus dimensi ruang dan waktu, menghubungkan orang-orang yang terpisah ribuan mil, ribuan tahun serta ribuan anak tangga kedudukan..., menghubungkan antar masa, antar manusia, antar makhluk hingga bahkan, antara kawula dengan Gustinya..., membuat yang sulit jadi mudah, tinggi jadi rendah, sesat jadi benar, buruk jadi baik.

Aku memeluk agama cinta, cinta adalah agama dan imanku (Rumi). Tepat sekali kata-kata Sufi besar ini. Sebab tanpa cinta, tidak akan ada kekuatan, pengetahuan, keterhubungan, penyatuan, empati..., syarat utama memahami spirit-kehendak obyek yang kita cintai. Agama apapun akan jatuh menjadi klenik, tahayyul atau berhala..., yang dihidupi hanya dari prasangka dan ego pemeluknya, bukan dari pengetahuan pemeluknya akan apa-apa yang secara hakikat benar dan baik.

Tidak akan ada relijiusitas, kecintaan suci pada kebenaran, Tuhan atau agama tanpa kesediaan kita belajar bagaimana mencintai terlebih dulu..., cinta kita hanya akan seperti cinta seorang ABG labil pada wanitanya, hanya didasari ego-hawa nafsu semata..., akibatnya pasti, sering zalim dan tertipu, merasa sedang mengasihi, melindungi, memuliakan, meninggikan wanitanya, tapi yang hakikatnya mereka lakukan justru sebaliknya, menguasai, merendahkan, mengeksploitasi, menganiaya bahkan memperkosa dan membunuhnya...

Rabu, 27 September 2017

Yang Hakiki, yang Tak Terbatasi


"NKRI harga mati", apakah terjemahan bahasa Inggrisnya...?. NKRI price dead, NKRI fixed price, NKRI un-compromized, non-negotiable, can't be disturbed...?. Tentu semua terjemahan (dalam batas tertentu) benar, tapi jelas, hanya orang Indonesia, yang mengerti bahasa, budaya dan etos orang Indonesia saja yang mengerti jiwa-arti sebenarnya dari kata-kata itu..., boleh jadi bahasa Inggris tidak memiliki padanan sempurnanya.

Apakah maksud sebenarnya dari ungkapan "manunggaling kawula lan Gusti"...?. Kesurupan Tuhan, titisan-reinkarnasi Tuhan, mengaku-menjadi Tuhan atau selarasnya sikap, pandangan, kehendak, perbuatan manusia dengan Tuhan-alam semesta...?. Boleh jadi semua "pemaknaan-terjemahan" (dalam batas tertentu) benar tapi pasti, hanya orang yang pernah merasakan pengalaman "manunggaling kawula lan Gusti" saja yang tahu maksud sebenarnya dari ungkapan itu.

Masalahnya sekarang, banyak orang yang sebenarnya baru bisa menerjemahkan-mengartikan "NKRI harga mati" sebagai "NKRI price dead" atau "manunggaling kawula lan Gusti sebagai "kesurupan Tuhan" atau "Wali" sebagai "pemimpin" atau "menghormat" sebagai "menyembah" atau "patung" sebagai "berhala" tapi sudah begitu sombongnya, merasa diri paling pintar, paling benar, paling keren, menghakimi salah "pengartian-terjemahan" lainnya. Mereka menjadi tersesat justru karena pengetahuannya, berbuat maksiat karena iman dan ibadahnya.

"Your milk is very big, make me dizzy seven round"..., kata teman saya dulu saat merayu seorang wanita..., sebenarnya saya ingin tertawa plus meluruskannya mendengar rayuannya itu, tapi begitu melihat kepedean dan ketanpa-dosaan dia mengatakan itu, akhirnya tidak tega, dia baru sedikit belajar bahasa Inggris, biarlah dia sedikit merasa keren karena itu... ^^

Jumat, 15 September 2017

Delusi Cinta, Delusi Iman


Pulang dari acara selamatan kelahiran anak ke-dua wanita yang pernah kugilai sekaligus gawe wirang. Wanita yang pernah membuatku jadi pembicaraan orang sekampung, kondang edan. Kukira akan terjadi hal-hal emosional-tak terduga-ngisin-isini tapi ternyata tidak, segalanya berlangsung datar dan alami, tanpa ada kekikukan, salah tingkah apalagi gejolak perasaan yang membuncah, alhamdulillah.

Dulu, segala hal dari dia tampak begitu indah, seksi, menarik, menggetarkan..., suaranya, senyumnya, gaya bicaranya, perilakunya, kakinya, pinggulnya, susunya, pipinya, jidatnya..., sungguh telah membuatku mabuk kepayang, wuyung, kasmaran..., kehilangan sebagian kesadaranku. Tapi sekarang, segalanya telah berubah, segala hal dari dia, sudah tak mampu "bicara" apa-apa lagi..., bukan karena dia sudah banyak berubah, tak secantik dulu lagi, bukan pula karena aku sudah ada yang lain..., tapi semata karena aku telah sadar, dia memang tidaklah seindah, secantik, seseksi, sebaik dan semenarik yang dulu aku kira..., ditambah lagi, bukanlah hakku lagi untuk terus memelihara kegilaan itu sekarang. Cinta yang dulu kurasakan begitu dramatis, sekarang terlihat lucu.

Kenyataan sama terjadi pada pengalaman relijiusitas saya, dulu, saat masih menjadi orang relijius, segala hal terkait agama saya itu selalu tampak indah, membuatku tertarik, bersemangat bahkan mabuk dan gila. Mendengar orang membaca kitab suci atau terjemahannya, hati bergetar..., melihat orang berkata atau berpenampilan relijius, langsung percaya tanpa banyak bertanya..., bahkan hanya melihat foto tempat ibadah, padang pasir, unta, tulisan atau orang Arab hingga pohon kurma, iman bertambah, merasa lebih dekat dengan agama dan Tuhan. Buruknya, kecintaan saya pada agama saya itu diikuti kebencian saya pada (penganut) agama lain, mengalami prasangka dan fobia berat terhadap segala simbol, orang, etnis, budaya, negara dan hal apapun yang terkait dengan agama lain. Iman yang dulu kukira benar dan suci, sekarang membuatku malu sendiri.

Iman (tanpa kawruh) itu seperti cinta (buta), memabukkan, hanya memberi kita  perasaan syahdu-dramatis, limpahan energi, motivasi, sugesti..., tidak memberi kita keadilan, kebenaran, obyektivitas, "kesadaran". Kalau yang kita inginkan adalah cinta dan iman yang suci, tulus, ikhlas, benar, lurus, mencerahkan..., tidak ada jalan lain, kita harus mengawalinya dengan belajar mengenali obyek yang kita cintai sekuat hati, tanpa melibatkan rasa, harapan, prasangka, emosi, atau ego-hawa nafsu...

Rabu, 06 September 2017

Konsekwensi Cinta


Saat kita mencintai seorang wanita, sahabat atau idola, kita pasti akan juga mencintai karakternya, gaya bicaranya, kebiasaannya, hobinya hingga bahkan bahasa, seni, budaya dan keluarga atau orang-orang yang datang dari kampungnya, intinya, segala hal yang terkait dengannya langsung atau tidak.

Pun demikian seharusnya saat kita mencintai Allah, semua hal yang terkait dengannya, ciptaannya, kehendak-kehendak dan hukum-hukum dasarnya, akan juga kita cintai. Kita akan menjadi "makrifat" sekaligus "rahmatan lil'alamin"..., menjadi melihat-tahu apa-apa yang terbaik, yang akan menjadi berkat dan rahmat bagi alam semesta..., bukti terbenar, ternyata dan teragung dari cinta kepada Allah.

Sayangnya, sekarang ini, banyak orang merasa dan mengklaim mencintai Allah tapi pikiran dan perilakunya "jauh panggang dari api", tidak nyambung dengan perasaan dan klaimnya itu..., katanya mencintai Allah tapi bahkan kehendak-kehendak terdasarnya tidak berusaha dan tidak mampu mereka kenali..., jelas, mereka hanya sedang mencintai prasangka, tahayyul, dongeng, dogma, teori akan Allah..., atau bahkan, mereka hanya sedang mencintai pembawa atau pencipta itu semua.

Saat dulu saya mencintai seorang wanita, segala yang terkait dengannya menjadi tampak sangat menarik..., hanya perlu beberapa bulan saja untuk saya bisa mengenali dirinya, menguasai bahasanya, mengenali tempat asal dan budayanya..., kelihatan berlebihan, tapi bagaimanapun, itu adalah cermin sempurna bagaimana seharusnya cinta berkonsekwensi..., bagaimana seharusnya kita mencintai Allah...