Pernah dulu, tetangga satu kampung saya, gara-gara ditolak cinta, dia lantas mabuk, ngebut, kemudian mengalami kecelakaan dan meninggal dunia.
Apa yang terjadi dengan tetangga satu kampung saya itu secara esensi jelas tidak ada bedanya dengan apa yang terjadi pada banyak orang relijius di Timur Tengah (dan followernya di negri kita) sekarang yang mudah "mabuk", marah, demo, membrontak untuk kemudian meninggal dunia hanya karena sedikit berbeda pandangan dengan pemerintahnya. Nasib tragis yang sama-sama diawali dari keputusan tanpa dasar "kesadaran-makrifat", bimbingan dari hati, kemampuan mengukur apa-apa yang terbaik-maslahat.
Bagaimana tingkat "kesadaran-makrifat" kita tercermin dari reflek perilaku kita saat menghadapi situasi genting-emosional. Kesadaran tinggi akan membuat hati-alam bawah sadar kita segera mengambil alih, membimbing kita, membuat kita senantiasa ditunjukkan pada jalan yang lurus-selamat. Sementara kesadaran rendah, emosi, perasaan, hawa nafsulah yang akan mengambil alih, membuat keputusan-perilaku kita sepenuhnya spekulatif-ngawur, tak "terbimbing", kecil kemungkinannya untuk senantiasa terjaga dalam kelurusan-keselamatan.
Sayang sekali, sekarang ini, banyak orang relijius justru menunjukan tanda-tanda rendahnya kesadaran-makrifat. Itu bisa dilihat saat mereka menghadapi sedikit saja kritik, masalah, tantangan atau tekanan..., mereka sering dengan mudah menjadi hilang kendali, keputusan, kata-kata, ekspresi hingga perilakunya sama sekali tak mencerminkan "keterbimbingan".
Agama adalah "tarikat" menuju kesadaran-makrifat tapi banyak orang justru menjadikannya tarikat menuju kemabukan-kejahilan...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar