Minggu, 30 Juli 2017

Obsesi dan Ilusi


Beberapa hari yang lalu, saat saya terbangun dari meditasi, saya melihat sesosok wanita pesam-pesem di depan saya, saya pelototin sosok itu, kutabok-tabok muka saya, kukedip-kedipkan mata saya untuk meyakinkan itu bukan hanya ilusi..., beberapa saat sosok itu tidak juga hilang, sampai kemudian, sosok wanita itu secepat kilat hilang tanpa jejak.

Bagi mereka yang percaya klenik atau tahayyul, mungkin sosok wanita itu akan dikira sebagai makhluk yang datang dari alam ghaib. Tapi bagi saya tidak, itu tak lebih dari mimpi yang terbawa hingga ke alam sadar, mewujud menjadi "pertunjukan film 4 dimensi", tampak sangat nyata terhampar di depan mata, tapi hakikinya palsu, hanya ilusi.

Pengalaman saya itu sebenarnya sama dengan pengalaman mereka yang mengklaim melihat jin, setan, hantu, malaikat, dewa-dewa, Bunda Maria, Nabi, Tuhan dll. Ilusi yang timbul dari mimpi-obsesi..., karena obsesi saya adalah wong KAE, tentu yang hadir dalam ilusi saya adalah juga wong KAE..., coba seandainya obsesi saya adalah menjadi Nabi, tentu saya akan "mimpi" melihat malaikat atau Tuhan hadir di depan saya... ^^

Mimpi, angan-angan, obsesi, iman, harapan, memang memberi kita limpahan energi, tapi energi itu ibarat api, jika gagal dikendalikan, justru itu akan "membakar" diri kita sendiri, merusak otak kita, membuatnya "terpaksa" menjadi "penipu", menghadirkan hal-hal palsu demi memenuhi mimpi, angan-angan,obsesi, iman atau harapan tak terkendali-melampaui batas-batas takdir-hukum alam kita...

Senin, 24 Juli 2017

Yang Terbimbing, yang Selamat


Waktu SMA dulu, saya pernah belajar silat. Silat ini cukup unik, tidak pakai teori, jurus, latihan apa lagi ritual aneh-aneh. Pokoknya begitu "diisi" atau diijazahi Sang Guru, langsung bisa, hanya perlu sedikit doa, konsentrasi dan gerakan tubuh untuk "memanggil" ilmu silat ini.

Sang Guru hanya mensyaratkan agar murid bersedia menghindari "molimo" dan sering berpuasa sunah setelah diwirid ilmu itu. Sang Guru juga mengatakan, tugas Guru hanya membukakan-mengaktifkan apa yang sudah dimiliki murid, jangan terlalu dikultuskan. Semua orang sudah punya semua jenis ilmu yang bisa diaktifkan sewaktu-waktu, baik oleh diri sendiri ataupun dengan bantuan seorang Guru.

Saat ilmu itu berhasil dipanggil, tubuh akan terasa sangat ringan, reflek atau naluri untuk menghindar dari serangan lawan dan menyerang balik titik kelemahan lawan menjadi sangat kuat, seolah ada kekuatan yang terus "membimbing" agar tubuh senantiasa mengambil langkah cepat, tepat dan efisien agar selamat dan menang. Mirip taichi gerakannya, "mengalir", santai dan lembut, tidak memerlukan banyak tenaga tapi efektif dalam melindungi diri-melumpuhkan lawan.

Ilmu silat itu, bagaimanapun adalah satu cermin-gambaran akan efek dari kesadaran, keterbimbingan, pencerahan, keterhubungan dengan diri sejati kita, "sedulur papat lima pancer" kita. Kita menjadi dipahamkan atau apa-apa yang terbaik bagi kita. Pikiran, perkataan dan gerakan kita menjadi terarah, terukur dan terbimbing, efektif dan efisien, tidak ngawur dan beringas, hanya mengandalkan kuatnya semangat dan tenaga seperti halnya orang mabuk. Sedemikian efektif dan efisiennya, bahkan, tenaga lawanpun bisa digunakan untuk melemahkan atau menyerang balik lawan sendiri.

Sayangnya, banyak orang relijius sekarang justru terlihat sangat jauh dari kesadaran, keterbimbingan, pencerahan, keterhubungan, itu terlihat saat mereka menghadapi sedikit saja persoalan atau tantangan. Mereka seperti orang mabuk saat berkelahi, ngawur, beringas, hanya mengandalkan tenaga dan semangat, tanpa jurus, tanpa strategi..., akibatnya, mereka mudah sekali "ditelikung", semudah banteng ganas ditelikung matador..., semangat dan energi besar mereka menjadi sia-sia, kalau tidak malah membunuh mereka sendiri...

Sabtu, 22 Juli 2017

Yang Sadar, yang Terbimbing


Pernah dulu, tetangga satu kampung saya, gara-gara ditolak cinta, dia lantas mabuk, ngebut, kemudian mengalami kecelakaan dan meninggal dunia.

Apa yang terjadi dengan tetangga satu kampung saya itu secara esensi jelas tidak ada bedanya dengan apa yang terjadi pada banyak orang relijius di Timur Tengah (dan followernya di negri kita) sekarang yang mudah "mabuk", marah, demo, membrontak untuk kemudian meninggal dunia hanya karena sedikit berbeda pandangan dengan pemerintahnya. Nasib tragis yang sama-sama diawali dari keputusan tanpa dasar "kesadaran-makrifat", bimbingan dari hati, kemampuan mengukur apa-apa yang terbaik-maslahat.

Bagaimana tingkat "kesadaran-makrifat" kita tercermin dari reflek perilaku kita saat menghadapi situasi genting-emosional. Kesadaran tinggi akan membuat hati-alam bawah sadar kita segera mengambil alih, membimbing kita, membuat kita senantiasa ditunjukkan pada jalan yang lurus-selamat. Sementara kesadaran rendah, emosi, perasaan, hawa nafsulah yang akan mengambil alih, membuat keputusan-perilaku kita sepenuhnya spekulatif-ngawur, tak "terbimbing", kecil kemungkinannya untuk senantiasa terjaga dalam kelurusan-keselamatan.

Sayang sekali, sekarang ini, banyak orang relijius justru menunjukan tanda-tanda rendahnya kesadaran-makrifat. Itu bisa dilihat saat mereka menghadapi sedikit saja kritik, masalah, tantangan atau tekanan..., mereka sering dengan mudah menjadi hilang kendali, keputusan, kata-kata, ekspresi hingga perilakunya sama sekali tak mencerminkan "keterbimbingan".

Agama adalah "tarikat" menuju kesadaran-makrifat tapi banyak orang justru menjadikannya tarikat menuju kemabukan-kejahilan...

Sabtu, 08 Juli 2017

Tirai Penghalang Kesadaran


Dunia spiritual, tasawuf atau meditasi adalah cermin, proyeksi sempurna konsekwensi-akibat dari pemikiran dan perilaku kita di alam "nyata".

Jika kita gagal mengendalikan ego atau keserakahan kita, spiritualitas akan menghasilkan ide, ilham, petunjuk atau wangsit yang cenderung hanya menguntungkan diri kita-merugikan orang lain, berbohong, mencuri, memfitnah, menghasut, menipu, mencuri, korupsi bahkan membunuh. Lihat perilaku banyak politisi atau pebisnis kita sekarang, akibat gagalnya mengendalikan ego-keserakahannya, sadar atau tidak disadari, mereka selalu mengarah pada perilaku-perilaku egois-jahat itu.

Jika kita gagal mengendalikan prasangka atau angan-angan kita, spiritualitas hanya akan mengantarkan kita pada "virtual reality". Kita akan sering berilusi, berdelusi hingga berhalusinasi, merasa melihat makhluk halus, jin, setan, malaikat bahkan Tuhan. Kita ditipu otak kita sendiri akibat dipaksakannya dia menghadirkan sesuatu yang sebenarnya tidak ada. Lihat perilaku banyak agamawan kita sekarang, akibat gagalnya mengendalikan prasangka-angan-angannya, mereka mabuk, terbelenggu ilusi, delusi, halusinasi kalau dirinya benar-ada di jalan Tuhan..., terus terteror "hantu" virtual bernama Syiah, Yahudi, Komunis, Liberalisme, Sekulerisme.

Jika kita gagal mengendalikan fisik-indra kita termasuk di dalamnya emosi kita, amarah, kebencian, ketakutan, dendam, iri hati, birahi..., kita akan gagal berserah diri. Spiritualitas tanpa keberserah-dirian, kekhusukan, hanya akan menghasilkan kelelahan bahkan kerusakan fisik, sama dengan puasa atau ibadah lain yang tidak ikhlas..., tidak akan membuat kita terhubung-terselaras dengan diri sejati kita, hati kita, alam semesta, Tuhan kita, tempatnya pengetahuan, kebenaran kebaikan-kemaslahatan. Kenyataan yang akan membuat ide dan perilaku kita tak "terbimbing", hanya atas dasar spekulasi, emosi bahkan tahayyul.

Ego-keserakahan, prasangka-angan-angan, fisik-indra kita adalah penghalang utama kita dari "kesadaran-makrifat". Jika itu gagal dikuasai, jangankan uang, wanita atau kekuasaan, bahkan agama atau spiritualitaspun akan mengantarkan kita pada kesesatan, kerusakan dan kehancuran...


Sabtu, 01 Juli 2017

Berburu Kuntilanak


Waktu remaja dulu, saya memiliki hobi yang cukup unik sekaligus menantang, mungkin kalau jaman sekarang disebut "mbolang", hanya saja, yang ini lebih ekstrim. Mbolang saya itu adalah menjelajah ladang-ladang, hutan-hutan, bukit-bukit, cekdam-cekdam, sungai-sungai hingga tempat-tempat yang dikeramatkan, kuburan, tempat angker, tempat yang dimitoskan berhantu, intinya tempat yang memicu membanjirnya adrenalin. Karena hobi saya itu, terluka, jatuh ke jurang, tersesat, hanyut di sungai hingga bahkan tenggelampun pernah kualami. Yang jelas, walau hobi itu penuh resiko, tapi sensasinya tiada tara, nyandu banget pokoknya, lelah, sakit hingga amarah orang tua yang sering ditimbulkannya, menjadi tampak kecil, tidak pernah membuatku kapok.

Jalan-jalan menikmati segarnya udara sambil menatap indahnya lembah dan gunung-gunung, membuatku merasa damai. Tidur di alam terbuka bermandikan cahaya bulan, diselingi hembusan angin dingin dan tetesan embun yang tiba-tiba membasahi kulit, terasa begitu nikmat. Menyaksikan terbitnya mentari dengan warna-warnanya yang indah dan dramatis, membawa nuansa spiritual-kesyahduan tersendiri. Berani menyeberangi sungai yang menggelegak karena banjir, mendaki tebing terjal, berenang melintasi cekdam yang luas, mendatangi tempat yang dianggap angker, sungguh membawa kebanggaan luar biasa, membuat perasaan jantan, kuat, macho datang menyeruak. Mbolangku terasa tambah semangat dan "gila" saat ada cewek ikut serta terutama yang sedang saya taksir, dada seketika mengembang bak pahlawan, keberanian dan kekuatan menjadi berlipat-lipat, seolah hendak kutunjukkan padanya, akulah Lanang Sejati, lanang yang siap menjadi pelindungmu dari kerasnya dunia ^^ #Preeet

Dulu siech, tidak ada banyak hikmah atau pelajaran yang tampak terlihat dari hobi saya itu, hanya rasa senang dan bangga saja yang dominan kutangkap, yang jadi motivasi utama. Tapi kini, satu demi satu hikmah itu tampak. Salah satunya hikmah yang bisa saya ambil saat suatu malam mbolang "berburu" kuntilanak.

Waktu itu malam jum'at kliwon, musim kemarau, hawanya dingin menusuk tulang, langit cerah dengan bulan yang tampak cemerlang. Seperti biasa, ide mbolang dengan tema "uji nyali" kami muncul. Kali ini, sasaran mbolang kami adalah tempat yang dimitoskan dihuni kuntilanak. Tempat itu ada di perbatasan kampung tetangga, jaraknya sekitar 4 km dari kampung saya, cukup jauh dari pemukiman penduduk, wujudnya sebuah gerbang masuk kampung yang tampak tidak terawat, di sekitarnya penuh pepohonan yang rimbun dan ladang-ladang. Sekilas tempat ini tampak biasa saja, tidak ada cukup kesan angker, tapi banyaknya kesaksian orang melihat kuntilanak di tempat itu, cukup menciutkan nyali juga. Konon kabarnya, kuntilanak itu setiap akan muncul akan didahului hembusan angin berbau wangi kembang kantil.

Dengan "krodong" sarung, sekitar jam 9 malam kami berangkat, sejam lebih kemudian sampai. Beberapa puluh meter menjelang sampai, rombongan kami yang tadinya ngrumpi cekikikan sepanjang jalan, tiba-tiba jadi diam membisu, hening, hanya suara serangga malam yang terdengar. Bagaimanapun berusaha berani, sulit bagi kami menutupi perasaan takut, terlihat dari langkah kami yang tadinya santai saja menjadi tampak lebih gegas, saya sendiri, jantung berdegup kencang, bulu kuduk merinding, keringat dingin mengucur. Beberapa puluh meter setelah melewati "markas kuntilanak" itu, kami kaget, tiba-tiba salah satu teman kami tampak gemetar, mata melotot, nafas tersengal, wajah pucat dan omongan gagap. Setelah kami tanyai, dia mengaku katanya tadi mencium wangi kembang kantil dan melihat bayangan putih. Lucu juga, teman saya itu paling relijius di antara kami, berjenggot dan kemana-mana berkopyah, dia mengaku punya doa dan jimat penangkal jin tapi kok sebegitu takutnya ama (jin) kuntilanak. Kalaupun betul dia melihat kuntilanak, harusnya tidak setakut itu, justru sebaliknya, diajak ngobrol kek..., atau diusir saja dengan doa dan jimat yang katanya dipunyai! :D

Pertanyaannya, apakah betul teman saya itu nyata mencium wangi kembang kantil untuk kemudian melihat kuntilanak...?. Saya yakin 100% pasti tidak, dia hanya sedang berhalusinasi akibat ketakutan dan prasangka kuatnya akan keberadaan-kemunculan kuntilanak. Sama kasusnya dengan mereka yang mengaku mencium bau wangi dari tubuh teroris atau melihatnya (tubuh itu) dimandikan bidadari. Sama juga dengan orang sinting yang melihat tumpukan koran bekas tampak sebagai gepokan uang. Mereka mabuk bahkan gila, mengalami kerusakan parah fungsi otak akibat kegagalan mengendalikan prasangka, harapan, ketakutan, angan-angan, obsesi, hawa nafsunya sendiri. Mereka orang-orang yang pada dasarnya lemah, mudah tertipu dan terjajah (bahkan oleh pikiran, prasangka, angan-angannya sendiri) sekalipun secara fisik, kata-kata dan imannya tampak kuat.

Apa yang dialami teman saya itu dulu sebenarnya sama dengan yang dialami banyak orang relijius sekarang, mengalami ilusi, delusi bahkan halusinasi  hebat. Bedanya, hantu yang "dilihat" teman saya itu cuma kuntilanak, sementara "hantu" yang dilihat banyak orang relijius sekarang itu berujud Yahudi, Syiah, Kristen, Asing, Aseng, Komunis, Jokowi..., namanya juga hantu, dimanapun ya pasti sama, tidak nyata, dibesar-besarkan...!.