Dulu, setelah saya disewiyah-wiyah orang yang sangat saya cintai, saya langsung melakukan puasa dan istikharah selama berminggu-minggu mengharap "sasmita" dari Yang Maha Tahu dia jodohku atau bukan. Harapannya, jika sasmita mengatakan dia jodohku, akan kutunggu serandane, sebaliknya, jika dia bukan jodohku, akan kuikhlaskan dia pergi.
Sasmita yang kudapat ternyata konsisten, dia bukan jodohku, tapi apakah kemudian saya menjadi ikhlas menerima sasmita yang jelas adalah kebenaran itu...?. Ternyata tidak, perlu waktu sangat lama untuk saya bisa menerimanya. Bertahun-tahun setelahnya saya tetap masih mengharapkan dia kembali, hari-hariku masih dipenuhi pikiran, harapan dan hayalan akan indahnya hidup bersama dia, mimpi-mimpiku masih terus dipenuhi bayangan-bayangan tentang dia. Ternyata, sasmita kebenaran yang kudapat, menjadi tidak berdaya-terus kuingkari saat dihadapkan pada ego-hawa nafsu saya yang terus menginginkan dia menjadi bagian dari hidupku.
Kebenaran itu untuk orang yang kuat, baik kuat mengendalikan ego-hawa nafsunya maupun kuat menerima konsekwensi dari kebenaran itu yang sering kali terasa sangat pahit. Nyatanya, mungkin saja-dalam batas tertentu, saya kuat mengendalikan ego-hawa nafsu saya dibuktikan dengan kuatnya saya melakukan "tapa brata nyadong sasmita", tapi ternyata saya masih belum cukup kuat menerima konsekwensi dari kebenaran itu.
Masalahnya, banyak orang sekarang gemar sekali mengklaim kebenaran padahal hanya sekedar untuk mengendalikan ego-hawa nafsu terdasar-amarah-lawamahnya saja tidak mau dan tidak mampu. Padahal itu jelas adalah modal paling dasar melihat-memahami kebenaran. Itu adalah "mata", sarana paling vital untuk menilai secara obyektif sesuatu itu hitam, putih, merah atau hijau. Wong belajar "melihat" saja tidak mau, tidak mampu atau bahkan takut, lantas bagaimana kalau disuruh melihat sesuatu yang pahit-sangat tidak menyenangkan...?. Kebenaran hakiki-obyektif apa yang bisa diharapkan dari orang-orang seperti itu...?.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar