Jumat, 29 Juli 2016

Rahwana





Apa yang engkau cari akan mencarimu (Rumi).


Dalam pertunjukan wayang, sering digambarkan-sekalipun tubuh Rahwana telah musnah, sukmanya akan terus melayang-layang berusaha mencari tempat penitisan baru, orang-orang yang memiliki pikiran angkara murkalah yang akan dijadikan tempatnya menitis.


Sekilas fragmen cerita wayang ini sangat mengada-ada, bid'ah, hanya merupakan dongeng, khayalan atau tahayyul yang tidak memiliki dasar realitas atau kebenaran, tapi sebenarnya tidak. Cerita ini jelas adalah karya dari orang-orang ma'rifat yang tahu persis hakikat kebenaran, yang memiliki pandangan "lebih" dari sekedar pandangan lahir.


Pikiran ibarat magnet, dia akan menghubungkan-menarik apa dan siapapun yang masuk dalam lingkup-jangkauan-atmosfirnya. Dunia ini dipenuhi spirit, energi, khodam, program, memori, yang akan ditarik siapapun yang memiliki pikiran yang selaras-sewarna dengannya untuk kemudian mengambil alih kesadarannya. Pikiran angkara murka akan menarik sukma "Rahwana" atau "Duryudana", sementara pikiran suci dan benar akan menarik sukma "Sri Rama" atau "Yudhistira".


Banyak orang sekarang gagal mengenali karakter pikirannya sendiri, mereka mengira sedang memelihara-mengembangkan pikiran-spirit Sri Rama atau Yudhistira tapi hakikinya sebaliknya, yang dipelihara-dikembangkan adalah pikiran-spirit Rahwana atau Duryudana. Ironisnya, kegagalan mengenali pikiran itu sering dipicu justru oleh pemahaman ajaran agama. Tragedi yang sungguh menyedihkan, agama telah membuat orang begitu yakin kalau dirinya ada di jalan yang lurus-jalan Tuhan tapi hakikinya ada di jalan sesat-jalan setan.


Ask yourself..., tanyai-rasakan-kenali hatimu, sebab hanya dengan itu kita akan bisa mengenali arah pikiran kita ada dimana. Tanpa itu, kita hanya akan terus hidup dalam spekulasi, tahayyul, mimpi, angan-angan, delusi dan halusinasi, merasa ada di jalan yang benar tapi hakikinya ada di jurang kesesatan terdalam...

Rabu, 13 Juli 2016

Ketidaktahuan Membawa Ketidakhormatan




Banyak orang sekarang dengan dalih agama atau rasionalitas-kemajuan mencibir orang yang suka membawa kulit macan di dompetnya, berebut jajanan sekaten atau berebut air yang disentuh-didoakan orang-orang hebat-saleh, menganggap itu perbuatan konyol, bid'ah atau bahkan syirik.


Penghakiman yang gegabah, tanpa didasari "kawruh" sama sekali. Bagi orang yang "tahu", justru apa yang dilakukan mereka mencerminkan tingginya kecerdasan spiritual mereka, atau paling tidak, tradisi itu datang dari orang yang memiliki tingkat spiritual tinggi.


Setiap benda di dunia ini adalah "hardisk" yang akan menyimpan energi-spirit-memori apapun yang terpapar dengannya.


Saat kita membawa kulit macan, kita sedang memanggil energi-spirit-memori kewibawaan, kekuatan dan keberanian macan untuk masuk ke dalam diri kita, energi-spirit-memori itu akan lebih mudah masuk saat kita dalam keadaan meditatif baik karena disengaja ataupun tidak disengaja seperti saat kita dalam situasi terdesak. Makanan yang telah didoakan orang yang memiliki karomah tinggi pasti akan memiliki energi positif-berkah yang besar, membuat siapapun yang mengkonsumsinya menjadi lebih beraura, beruntung dan selamat. Wajar saja kemudian banyak orang rela berdesak-desakan demi mendapatkan makanan itu. Saat kita memiliki benda apapun yang terkait dengan orang-orang hebat, beruntung atau baik, kita akan memiliki akses lebih mudah terhadap energi-spirit-memori kehebatan, keberuntungan dan kebaikan orang itu-lebih mudah mengcopy-pastenya, wajar saja kemudian benda itu dihargai mahal, dianggap bertuah atau keramat.


Apa dikira mereka yang suka bergaya kearab-araban, kejepang-jepangan atau kebarat-baratan sebenarnya tidak melakukan hal yang hakikatnya sama...?, sama...!. Mereka melakukan itu jelas dalam rangka mendatangkan energi-spirit-memori etos orang Arab, Jepang atau Barat dalam diri mereka, hanya saja mungkin tidak mereka sadari. Lihat saja orang yang bergaya kearab-araban, pasti akan memiliki pribadi yang juga lebih keras dan egois seperti halnya orang Arab, itu adalah cermin telah masuknya energi-spirit-memori orang Arab ke dalam diri mereka.


Bahkan orang Barat yang notabene anti klenik, sekuler atau atheist saja juga memiliki tradisi yang sebenarnya juga sama, hanya bungkusnya saja yang dibuat lebih keren-rasional. Coba anda lihat harga barang-barang peninggalan tokoh-tokoh hebat di rumah-rumah lelang top dunia, sempak bekas putri Diana bisa dihargai ratusan juta, baju atau sandal bekas dipakai Darwin atau Columbus pasti dihargai milyaran. Mereka menghargai tinggi benda itu bukan karena benda itu sendiri melainkan fungsi dari benda itu sebagai penyimpan-penghubung dengan energi-spirit-memori dari pemilik, pemakai atau pembuat benda itu.


Selalu ada hikmah-rahasia dibalik hampir tiap-tiap adat-budaya-pemahaman agama masyarakat kita, jangan pernah mencibirnya sebelum kita tahu persis duduk perkaranya-hanya karena kita silau terhadap adat-budaya-pemahaman agama masyarakat lain...

Kebenaran Itu untuk Orang yang Kuat





Dulu, setelah saya disewiyah-wiyah orang yang sangat saya cintai, saya langsung melakukan puasa dan istikharah selama berminggu-minggu mengharap "sasmita" dari Yang Maha Tahu dia jodohku atau bukan. Harapannya, jika sasmita mengatakan dia jodohku, akan kutunggu serandane, sebaliknya, jika dia bukan jodohku, akan kuikhlaskan dia pergi.


Sasmita yang kudapat ternyata konsisten, dia bukan jodohku, tapi apakah kemudian saya menjadi ikhlas menerima sasmita yang jelas adalah kebenaran itu...?. Ternyata tidak, perlu waktu sangat lama untuk saya bisa menerimanya. Bertahun-tahun setelahnya saya tetap masih mengharapkan dia kembali, hari-hariku masih dipenuhi pikiran, harapan dan hayalan akan indahnya hidup bersama dia, mimpi-mimpiku masih terus dipenuhi bayangan-bayangan tentang dia. Ternyata, sasmita kebenaran yang kudapat, menjadi tidak berdaya-terus kuingkari saat dihadapkan pada ego-hawa nafsu saya yang terus menginginkan dia menjadi bagian dari hidupku.


Kebenaran itu untuk orang yang kuat, baik kuat mengendalikan ego-hawa nafsunya maupun kuat menerima konsekwensi dari kebenaran itu yang sering kali terasa sangat pahit. Nyatanya, mungkin saja-dalam batas tertentu, saya kuat mengendalikan ego-hawa nafsu saya dibuktikan dengan kuatnya saya melakukan "tapa brata nyadong sasmita", tapi ternyata saya masih belum cukup kuat menerima konsekwensi dari kebenaran itu.


Masalahnya, banyak orang sekarang gemar sekali mengklaim kebenaran padahal hanya sekedar untuk mengendalikan ego-hawa nafsu terdasar-amarah-lawamahnya saja tidak mau dan tidak mampu. Padahal itu jelas adalah modal paling dasar melihat-memahami kebenaran. Itu adalah "mata", sarana paling vital untuk menilai secara obyektif sesuatu itu hitam, putih, merah atau hijau. Wong belajar "melihat" saja tidak mau, tidak mampu atau bahkan takut, lantas bagaimana kalau disuruh melihat sesuatu yang pahit-sangat tidak menyenangkan...?. Kebenaran hakiki-obyektif apa yang bisa diharapkan dari orang-orang seperti itu...?.


Senin, 11 Juli 2016

Penjara Berdinding Emas




Dulu saya pernah mengalami kecanduan TV terutama acara berita kriminal dan sinetron berseri, sehari saja tidak nonton acara itu, gelisah luar biasa, terlewatkan satu seri saja dari sinetron kesukaanku, dunia serasa mau runtuh. Aktifitas penting apapun hampir pasti akan kutinggalkan kalau waktunya bersamaan dengan acara TV kesukaanku itu.


Dulu saya pernah mengalami kecanduan komputer, saking mencandunya, menyalakan komputer itu sudah jadi reflek, bangun tidur pasti langsung menyalakan komputer, pun demikian saat ada waktu senggang, hampir pasti larinya ke komputer. Saya menjadi perfeksionis parah, pokoknya kalau komputerku belum yang tercepat atau yang terkeren, belum puas, sedikit saja ditemukan ketidakberesan pada komputerku, pasti membuatku tak bisa tidur, 24 jam nonstop nongkrong di depan komputer itu sudah biasa. Saya juga mengalami paranoia parah, takut sekali komputerku terkena virus atau data-data di dalamnya hilang, belum tenang hati ini sebelum tiap Byte data di komputer di back-up.


Dulu saya pernah mengalami KECANDUAN AGAMA, hidup dalam delusi berat, dipenuhi khayalan, prasangka, fobia, paranoia, amarah dan kebencian. Saya menjadi orang yang hyper-egois, hyper-sensitif, hyper-emosional. Melihat gereja membuat tekanan darah naik, ingin sekali membakarnya, melihat babi atau anjing serasa melihat setan, ingin sekali membantainya, melihat wanita berpakaian seksi kurasakan sebagai menghina Islam, ingin sekali menghajarnya. Bahkan mereka yang tidak mau membeli dagangan saya atau menolak cinta saya, kuhakimi sebagai fasik, munafik, anti Islam, sebaik apapun orangnya. Pokoknya, orang yang tidak suka saya, tidak mau mengikuti pendapat, keinginan dan agama saya, kuanggap setan, musuh yang harus didebat habis, ditekan, dipaksa, ditindas, kalau perlu dihabisi. Banyaknya simbol-simbol Islam yang kulekatkan pada diri ini waktu itu membuatku "gila", mabuk berat, kehilangan kesadaran, nalar dan nurani, membuatku tak bisa lagi membedakan antara saya dan Islam, saya adalah Islam dan Islam adalah saya, siapa yang tidak suka saya berarti tidak suka Islam.

Sudah 14 tahunan saya hampir tidak pernah nonton TV, sudah 3 tahun ini saya tidak menyentuh komputer sama sekali, sudah 10 tahun lebih saya menjauh dari teks-doktrin agama. Ternyata tidak nonton TV, main komputer atau mabuk agama, tidak sesengsara yang saya kira. Ternyata, senikmat-nikmatnya nonton TV, main komputer atau mabuk agama, masih lebih nikmat terbebas dari "belenggu" itu semua. Hidup jadi lebih santai, lebih bebas, lebih "adil" dan lebih "manusiawi". Ternyata, kenikmatan, ketenangan, keindahan, kesyahduan, ketakutan, kegelisahan, prasangka, amarah, kebencian yang dulu begitu dramatis dirasakan, sejatinya tidak lebih dari ilusi belaka, tipuan hawa nafsu-indra-daging kita.

Sekarang saya jadi mengerti, mengapa Jalaluddin Rumi-puluhan tahun belajar teks agama langsung mengabaikannya hanya karena semalam belajar tasawuf. Sekarang saya jadi mengerti, mengapa Yesus pernah mengatakan "Lebih mudah bagi seekor unta masuk lubang jarum daripada orang kaya masuk syurga" atau Muhammad berdoa "Ya Allah, hidupkanlah aku bersama orang miskin, mati dalam keadaan miskin dan masuk syurga bersama orang miskin". Kemelekatan-kemabukan-ketidaksadaran adalah kuncinya, teks-doktrin agama dan harta jelas adalah sebab-sebab utama kemelekatan-kemabukan-ketidaksadaran.

Kemelekatan-kemabukan-ketidaksadaran adalah penjara berdinding emas, bagaimanapun tampak indahnya itu, tetap tak sebanding dengan "harga-tebusan" yang harus kita bayar yaitu berupa hilangnya kebebasan kita, "penglihatan" kita, pengetahuan kita...