Senin, 28 Januari 2019

Asal dan Tujuan Agama




Orang Yahudi tidak makan babi, orang Hindhu tidak makan sapi, orang Kristen tidak makan merpati, orang Buddha tidak makan hewan apapun. Tidak perlu dipertanyakan masuk akal-tidaknya "syariat" itu, yang biasa mengheningkan diri akan mengerti benang merah alasannya. Yang perlu dipertanyakan adalah orang-orang yang menyikapi itu sebagai aturan yang berlaku mutlak dan abadi, tidak bisa dikompromikan, mereka jelas hanya taklid, tidak mengerti asal, lingkup dan alasan suatu aturan muncul.


Agama adalah cerita atau catatan tentang "penglihatan" lebih tinggi seseorang atas apa yang diangggap akan membawa kebaikan atau keuntungan-kecilnya bagi diri pribadi orang itu, besarnya bagi masyarakat, etnis, bangsa dan umat manusia secara keseluruhan pada suatu waktu, tempat, situasi dan kondisi. Dia pada dasarnya adalah produk instink-naluri seseorang untuk mempertahankan diri yang kemudian dibingkai-dikamuflase sedemikian rupa sehingga tampak dan dirasakan sebagai sesuatu yang agung, mulia dan suci.


Apa yang baik-menguntungkan bagi seseorang, masyarakat, etnis, bangsa atau umat manusia secara keseluruhan adalah sesuatu yang "hidup", dia mudah berubah, berkembang dan berganti seiring berubahnya konteks-waktu, tempat, situasi dan kondisi yang melingkupi..., tidak bisa dikunci, diteks-kan atau didogmakan. Yang baik-menguntungkan pada suatu tempat, waktu, situasi dan kondisi belum tentu akan menjadi yang baik-menguntungkan pula di tempat, waktu, situasi dan kondisi lainnya. Sama seperti profesi atau perilaku kita, yang dipersepsikan terbaik di tempat kita tinggal saat ini belum tentu akan menjadi yang terbaik pula saat kita berpindah ke tempat lain atau bahkan esok hari-saat waktu berganti. Tidak ada agama yang bisa universal atau difundamentaliskan, semakin berusaha diuniversalkan dan difundamentaliskan, semakin tidak efektif agama, semakin sedikit kemampuannya memecahkan masalah spesifik penganutnya. Seharusnya hewan yang diharamkan atau disucikan oleh agama-agama sekarang ini bukan lagi babi, kucing, sapi atau merpati melainkan harimau, paus, badak, atau hewan terancam punah lainnya. Itu persepsi-dogma yang sudah kedaluwarsa, sudah tak lagi relevan dengan realitas apa yang baik-menguntungkan yang mesti diikuti masyarakat.


Penglihatan lebih tinggi kita (sebagai sumber agama) didesain dominan hanya untuk mengenali apa-apa yang baik-menguntungkan, intinya, yang membantu menopang-menguatkan eksistensi kita, tidak didesain mengenali apa-apa yang benar, nyata, faktual, ilmiah. Karenanya, sebenarnya tidak mungkin ada agama yang secara esensi benar, yang mungkin adalah agama yang secara esensi baik itupun lingkup dan jenisnya terbatas, hanya untuk agama "laku-tarikat" bukan agama "dogma"..., agama dogma hanya akan membawa kita pada apa yang PERNAH baik atau bahkan hanya dikira-ditahayyulkan-didongengkan baik. Seandainya penglihatan lebih tinggi kita mampu mengenali apa yang benar, sudah tentu orang-orang relijiuslah yang akan menjadi yang terdepan dalam menemukan dan mengembangkan sains, sebab merekakah yang paling akan sering terhubung dengan penglihatan lebih tingginya.


Tugas utama seorang pendiri agama atau Nabi seharusnya adalah menularkan atau mewariskan makrifatnya-mengajari pengikutnya cara-cara memahami apa yang (benar) baik-terhubung dengan penglihatan lebih tingginya, bukan malah mencekokinya dengan kebaikan menurut persepsi temporal-kontekstual-kasuistik diri pribadinya. Sebab pasti, sesaat setelah seorang pendiri agama wafat, apa yang dipersepsikan penglihatan lebih tingginya sebagai sesuatu yang baik akan dengan cepat menjadi kedaluwarsa, kehilangan keterikatannya dengan realitas kebaikan aktual, segera diperlukan pembaharu atau bahkan "Nabi" baru untuk memahami itu. Agama akan segera MATI, kehilangam fungsi hakikinya jika dia gagal melahirkan makrifat-makrifat baru di kalangan penganutnya...

Jumat, 18 Januari 2019

Mengenali Ego, Mengenali Setan



Marahnya anda saat agama anda dikritisi atau dinista, bukanlah pertanda ghirah keagamaan anda kuat apalagi pertanda agama yang anda imani itu benar. Itu hanya pertanda apa yang anda imani itu telah melekat-menyatu dengan diri pribadi anda, menjadi ikon-lambang-wakil EGO-hawa nafsu anda. Akibatnya, serangan sekecil apapun terhadap agama anda itu akan dipandang pikiran-alam bawah sadar anda sebagai serangan terhadap diri pribadi anda. Jangankan agama, rokok sebatang bisa membuat anda menjadi pembunuh kalau itu sudah sedemikian melekat pada diri pribadi anda.


EGO adalah sumber dominan spirit-kehendak yang oleh banyak agama atau budaya sering disebut sebagai SETAN. Bahkan belajar spiritualpun tidak akan ada gunanya jika ego kita dibiarkan tinggi, tidak menjadikan pengendalian atasnya sebagai "laku-tarikat" utama. Lihat tuch, banyak orang terjerumus, merasa dan mengklaim menjadi Nabi, Wali, orang suci bahkan titisan Tuhan justru saat sedang ghirah-ghirahnya mendekatkan diri pada Tuhan. "Laku" yang harusnya membawanya pada kesadaran-pencerahan-pengetahuan, malah membuatnya BERDELUSI-BERHALUSINASI hebat, egonya mewujud menjadi sosok-sosok yang dikira sebagai malaikat, Tuhan atau dewa-dewa..., yang kemudian (dikira) memberinya wahyu, menunjuknya menjadi Nabi, Wali, orang suci atau tempatnya Tuhan-dewa menitis..., mereka tertipu-terjerumus ego-obsesinya sendiri, dikira diberkahi dan dirahmati Tuhan padahal hanya diberkahi-dirahmati egonya sendiri. Jadi ingat dulu saat saya sedang bermeditasi-berzikir khusuk, saya "mimpi" didatangi saudara saya yang sudah meninggal dunia, dia menasehati saya agar belajar-memeluk agama X kalau semua masalah hidup saya ingin berakhir. Mungkin betul jika "wahyu" itu saya jalankan, semua masalah hidup saya akan berakhir, tapi perkara agama X itu benar atau tidak, jelas adalah masalah lain. Pernah juga saat sakit keras, saya "mimpi" didatangi orang berpakaian serba putih, seorang Wali, dia tersenyum ramah, tanpa bicara sepatah katapun kemudian mengusap punggung saya, hawa hangat mengalir, tubuh saya bergetar hebat, saya terbangun, saya yang sudah sekarat tiba-tiba sembuh. Saudara saya dan seorang Wali yang mendatangi saya itu tentu hanyalah sosok perwujudan dari ego saya, bukan sosok di luar diri saya, karena saya menyayangi-menghormati merekalah akhirnya mereka mewujud menjadi "dewa" dalam hidup saya, kalau yang saya sayangi-kagumi-hormati-puja adalah Yesus, Wisnu, Buddha atau yang lainnya, tentu mereka itulah yang akan "mendewai" hidup saya..., Muslim tidak pernah bertemu (wujud) Nabi dan Tuhannya jelas karena mereka tidak punya bayangan akan itu, tentu ini akibat terlarangnya Muslim menggambarkan-mematungkan wujud mereka.


Ego hanya memberi petunjuk-kekuatan mencapai apa yang kita inginkan, dia hanyalah penopang eksistensi fisik-duniawi kita, bukan memberi kita pemahaman akan apa yang benar (secara universal)..., jangan pernah merasa atau mengklaim diri kita benar jika nyatanya kita masih sangat terobsesi pada uang, kekuasaan, wanita, pujian, bahkan surga, masih hidup dikuasai ego kita...!

Iman dan Tuhan



Tuhan, bagaimanapun rumit dan heboh teorinya (menurut agama atau budaya) realitas kehadirannya (dalam diri manusia) tetaplah 100% ciptaan manusia.


Tuhan menjadi ada-hadir karena manusia mengimaninya, memprasangkakannya, mengharapkannya, mengimajinasikan dia ada. Dia obyek yang pada dasarnya tidak ada, atau lebih tepatnya, tidak bisa disosokkan-dijangkau, sekali dia dirasakan ada, bersosok atau bisa dijangkau, sejak saat itulah sebenarnya kita telah terjatuh dalam fiksi-delusi akan Tuhan, kita telah menciptakan berhala tak berwujud yang kemudian diberi label "Tuhan."


Iman, prasangka, harapan, imajinasi adalah energi yang akan mampu menciptakan realitas-realitas baru (sekalipun seringkali semu-virtual) di otak kita termasuk menciptakan realitas "sosok" yang disebut Tuhan. Konsekwensinya, kekuatan Tuhan akan menjadi sepenuhnya tergantung pada kekuatan iman, prasangka, harapan, imajinasi kita-manusia.


Tidak ada gunanya kita berdoa atau bahkan melaknat orang kalau nyatanya kita gagal membangun-mewiridkan iman, prasangka, harapan, imajinasi akan kekuatan-kekuasaan Tuhan hingga ke keseluruhan diri-lapisan kesadaran kita, sel-sel di tubuh kita-jika kita masih fokus pada dogma, perasaan, ego-hawa nafsu kita saat memahami-mewiridkan Tuhan. Kapasitas kita hanya akan bisa mewujudkan keinginan-keinginan kita melalui fisik kita, bukan melalui kekuatan-kekuatan "Ilahiah" kita.


Orang-orang FPI, HTI, Alqaeda, ISIS, Boko Haram, Wahabi dll, tidak akan bisa membuat orang diberkahi atau diazab "Allah" karena doa-doa atau laknatannya, kalau memberkahi atau mengazabnya langsung melalui tangannya malah bisa. Mereka tak punya cukup "tarikat" menciptakan Tuhan ditandai dengan tingginya ego mereka, terlalu dogmatis-lahiriyahnya cara beragama mereka. Sebaliknya seorang Wali atau pertapa suci, tanpa berkata atau berdoa apapun, semua keinginan-pikirannya akan dengan mudah merubah realitas diri seseorang dan alam semesta ini, tapi sekali lagi, itu bukan karena kekuatan-berkah Tuhan melainkan karena kekuatan-berkah dari dirinya sendiri.


Alam semesta ini adalah gambaran sempurna akan Tuhan yang sebenarnya, dia netral, percaya diri, kuat dan otonom. Dia hanya "menitipkan" pola-pola, hukum-hukum-kehendak dasarnya. Jangan serakah mengharapkan dia mewujudkan diri menjadi sosok yang sesuai selera kita. Agama yang benar akan fokus mengajarkan cara memahami pola-pola, hukum-hukum-kehendak dasar itu, bukan malah sibuk menciptakan tahayyul-tahayyul ngawur tentang Tuhan dan kehendaknya, yang wajib dipercaya penganutnya.


Tuhan-alam semesta ini tidak mengazab atau memberkahi manusia, azab dan berkah sepenuhnya diciptakan-akibat dari ulah manusia. Kalau ada orang atau agama menggambarkan Tuhan sebagai sosok pengazab, itu pasti Tuhan palsu, berhala, Tuhan yang diciptakan hanya dari iman, harapan, imajinasi-angan-angan bahkan hawa nafsu belaka. Gempa bumi, tsunami, gunung meletus atau peristiwa alam lain itu bukanlah azab (apalagi karena manusia banyak melakukan maksiat), itu sunatullah, peristiwa alam biasa. Itu berubah menjadi bencana semata karena manusia gagal memahami-menyelaraskan diri dengan pola-pola, hukum-hukum-kehendak dasar alam semesta. Bahkan jika orang di seluruh dunia beriman dan berdoa agar bencana itu tak terjadi, tidak akan bisa mencegahnya terjadi.


Jauh lebih baik bagi kita untuk belajar memahami berikut menyesuaikan diri dengan pola-pola, hukum-hukum-kehendak dasar alam semesta ini, bukan malah memaksanya mengikuti kehendak kita melalui penciptaan sosok Tuhan. Kalau kita tidak ingin tertimpa bencana ya jangan tinggal di tempat yang rawan bencana, bukan dengan berdoa agar itu tak terjadi, akan sia-sia saja...

Minggu, 13 Januari 2019

Jangan Bunuh Fitrah Kita!




Salah satu fitrah (naluri dasar-bawaan) kita-manusia adalah mengerti apa-apa yang hakikinya baik-maslahat, kecilnya bagi diri pribadi kita, besarnya bagi umat manusia-alam semesta secara keseluruhan. Bagi yang masih awam, fitrah itu bisa diakses melalui "laku" spiritual, istikharah juga sebenarnya adalah "laku" mengakses itu-meminta hidayah atau petunjuk dari Sang Fitrah, Sang Kebenaran, kesadaran tinggi kita, jati diri kita, super ego kita, tentang sesuatu yang hakikinya terbaik-paling maslahat bagi diri kita.


Sayangnya, fitrah-sumber daya "tinggi" kemanusiaan kita itu sering kali justru dikerdilan, disunat bahkan dibungkam dan dibunuh diri kita sendiri. Ego kita, agama kita, budaya kita, atau hal-hal sangat melekat-primordial pada diri kita lainnyalah yang mengkerdilkan, menyunat, membungkam dan membunuhnya. Akibatnya tragis, daya jangkau fitrah itu menjadi sangat terbatas bahkan kehilangan kemampuan sepenuhnya dalam menghidayahi-membimbing kita pada jalan lurus-kebaikan..., dia menjadi-hanya bisa menghidayahi-membimbing kita untuk sesuatu yang selaras dengan hal-hal yang sedari awal sudah terlanjur sangat melekat pada diri kita itu, yang lainnya, yang di luar itu, kebenaran, kebaikan dan pengetahuan yang maha luas, terhalang.


Sekarang ironis, banyak orang yang jelas-jelas sangat egois dan fanatik dalam beragama tapi justru paling berisik bicara tentang hidayah atau hijrah-petunjuk-bimbingan dari Sang Fitrah. Padahal hampir tidak mungkin kita akan mendapat hidayah (dari Sang Fitrah-Kebenaran) selagi kita masih sangat egois dan fanatik. Kita hanya akan mendapat delusi atau halusinasi, hidayah dari diri kesadaran rendah kita-hawa nafsu kita..., dan itu, nilainya sama dengan hidayah yang didapat orang-orang primitif jaman dulu saat mencari kekayaan atau kekuasaan, hidayah yang LIAR, seperti hidayah untuk merampok, menipu atau membunuh. Sekiranya orang-orang egois dan fanatik itu betul dapat hidayah, hampir pasti, hidayahnya adalah dalam bentuk perintah ganti mazhab atau bahkan ganti agama, sama seperti saya dulu, lagi khusuk-khusuknya zikir malah dapat hidayah untuk ganti agama...

Rabu, 02 Januari 2019

Yang Pasrah, yang Tercerahkan



Jika kita bermeditasi (misal di sebuah gua atau di bawah pohon besar) dengan niat bertemu gendruwo, hampir pasti, pada akhirnya kita akan bertemu gendruwo betulan, kepercayaan, obsesi dan imajinasi kita itu akan mewujud menjadi ilusi-halusinasi, gendruwo akan hadir dan terasa-tampak sangat nyata di depan mata..., bahkan jika kepercayaan, obsesi dan imajinasi kita sudah masuk kategori kelas berat, kita bisa mengajaknya berbicara hingga mengambil gambarnya. Sebaliknya, jika kita bermeditasi dengan ikhlas, diniati semata mengosongkan-menenangkan-mengheningkan diri, hanya "kabar-kabar" dan "penglihatan-penglihatan" yang benarlah yang akan datang, kita akan terhindar dari ilusi, delusi atau halusinasi, gendruwo, jin, malaikat atau makhluk-makhluk ghaib apapun takkan pernah hadir-tampak, karena itu memang sejatinya tidak eksis-ada.

Banyak orang berfikir, keserakahan (baca: kefanatikan) dalam beragama itu sesuatu yang baik dan dianjurkan padahal sebenarnya tidak, itu justru sumber dari segala sumber kesesatan dan kegelapan. Keserakahan hanya memberi kita energi untuk menghadirkan-mewujudkan apa yang kita serakahi, sayangnya, energi itu tidak gratis, harus ditebus dengan harga yang teramat mahal yaitu menjadi terbatasnya fungsi-daya nalar dan nurani kita. Apalagi jika serakahnya menyangkut agama atau hal-hal tak terjangkau-terukur lainnya, fatal, membuat kita menjadi liar, seliar ego dan imajinasi kita..., membuat kita kehilangan "penglihatan" atas luasnya dunia terutama penglihatan atas apa yang hakikatnya benar-baik..., membuat kita menjadi "berkacamata kuda", hanya mampu melihat "gendruwo", sebatas apa yang sedari awal kita percaya-ingini-obsesikan, tidak lebih dari itu..., bahkan membuat kita gila, mengalami skizofrenia, kehilangan sepenuhnya kesadaran kita.

Agama adalah tempatnya kepasrahan-penyerahan diri..., sebab hanya dengan itu, "kabar-kabar", "penglihatan-penglihatan" tentang jalan lurus akan dibukakan. Kita tidak mungkin bisa pasrah-berserah diri sepenuhnya jika sedari awal sudah punya prasangka-definisi sendiri tentang apa itu kebenaran..., prasangka-definisi tentang kebenaran kita itu akan menjadi tirai, filter, benteng yang membatasi bahkan memblokir datangnya kebenaran yang sejati...