Orang Yahudi tidak makan babi, orang Hindhu tidak makan sapi, orang Kristen tidak makan merpati, orang Buddha tidak makan hewan apapun. Tidak perlu dipertanyakan masuk akal-tidaknya "syariat" itu, yang biasa mengheningkan diri akan mengerti benang merah alasannya. Yang perlu dipertanyakan adalah orang-orang yang menyikapi itu sebagai aturan yang berlaku mutlak dan abadi, tidak bisa dikompromikan, mereka jelas hanya taklid, tidak mengerti asal, lingkup dan alasan suatu aturan muncul.
Agama adalah cerita atau catatan tentang "penglihatan" lebih tinggi seseorang atas apa yang diangggap akan membawa kebaikan atau keuntungan-kecilnya bagi diri pribadi orang itu, besarnya bagi masyarakat, etnis, bangsa dan umat manusia secara keseluruhan pada suatu waktu, tempat, situasi dan kondisi. Dia pada dasarnya adalah produk instink-naluri seseorang untuk mempertahankan diri yang kemudian dibingkai-dikamuflase sedemikian rupa sehingga tampak dan dirasakan sebagai sesuatu yang agung, mulia dan suci.
Apa yang baik-menguntungkan bagi seseorang, masyarakat, etnis, bangsa atau umat manusia secara keseluruhan adalah sesuatu yang "hidup", dia mudah berubah, berkembang dan berganti seiring berubahnya konteks-waktu, tempat, situasi dan kondisi yang melingkupi..., tidak bisa dikunci, diteks-kan atau didogmakan. Yang baik-menguntungkan pada suatu tempat, waktu, situasi dan kondisi belum tentu akan menjadi yang baik-menguntungkan pula di tempat, waktu, situasi dan kondisi lainnya. Sama seperti profesi atau perilaku kita, yang dipersepsikan terbaik di tempat kita tinggal saat ini belum tentu akan menjadi yang terbaik pula saat kita berpindah ke tempat lain atau bahkan esok hari-saat waktu berganti. Tidak ada agama yang bisa universal atau difundamentaliskan, semakin berusaha diuniversalkan dan difundamentaliskan, semakin tidak efektif agama, semakin sedikit kemampuannya memecahkan masalah spesifik penganutnya. Seharusnya hewan yang diharamkan atau disucikan oleh agama-agama sekarang ini bukan lagi babi, kucing, sapi atau merpati melainkan harimau, paus, badak, atau hewan terancam punah lainnya. Itu persepsi-dogma yang sudah kedaluwarsa, sudah tak lagi relevan dengan realitas apa yang baik-menguntungkan yang mesti diikuti masyarakat.
Penglihatan lebih tinggi kita (sebagai sumber agama) didesain dominan hanya untuk mengenali apa-apa yang baik-menguntungkan, intinya, yang membantu menopang-menguatkan eksistensi kita, tidak didesain mengenali apa-apa yang benar, nyata, faktual, ilmiah. Karenanya, sebenarnya tidak mungkin ada agama yang secara esensi benar, yang mungkin adalah agama yang secara esensi baik itupun lingkup dan jenisnya terbatas, hanya untuk agama "laku-tarikat" bukan agama "dogma"..., agama dogma hanya akan membawa kita pada apa yang PERNAH baik atau bahkan hanya dikira-ditahayyulkan-didongengkan baik. Seandainya penglihatan lebih tinggi kita mampu mengenali apa yang benar, sudah tentu orang-orang relijiuslah yang akan menjadi yang terdepan dalam menemukan dan mengembangkan sains, sebab merekakah yang paling akan sering terhubung dengan penglihatan lebih tingginya.
Tugas utama seorang pendiri agama atau Nabi seharusnya adalah menularkan atau mewariskan makrifatnya-mengajari pengikutnya cara-cara memahami apa yang (benar) baik-terhubung dengan penglihatan lebih tingginya, bukan malah mencekokinya dengan kebaikan menurut persepsi temporal-kontekstual-kasuistik diri pribadinya. Sebab pasti, sesaat setelah seorang pendiri agama wafat, apa yang dipersepsikan penglihatan lebih tingginya sebagai sesuatu yang baik akan dengan cepat menjadi kedaluwarsa, kehilangan keterikatannya dengan realitas kebaikan aktual, segera diperlukan pembaharu atau bahkan "Nabi" baru untuk memahami itu. Agama akan segera MATI, kehilangam fungsi hakikinya jika dia gagal melahirkan makrifat-makrifat baru di kalangan penganutnya...